Aku tau kamu kecewa.
Tapi kamu tetap tertawa.
Buatku semakin bersalah.
Bisakah kamu memberi sedikit air mata?
Agar setidaknya kamu sedikit lega.
Jangan menahannya lama-lama.
Nanti kamu lelah, dan menyerah pada akhirnya.
Aku tidak bersedia.
-Kim Theo.
***
Dan di sinilah Arin. Berdiri menatap dua insan di depannya. Theo dan Hanna. Baru saja mereka kembali. Sakit. Hati Arin terasa sangat sakit melihat dua orang itu berdiri berdampingan. Arin ingin menangis sekarang juga tetapi dia tidak boleh. Theo akan ikut menangis kalau Arin menangis. Arin tidak mau melihat Theo menangis.
"Selamat datang ke rumah barumu, Hanna. Semoga kamu betah di sini," sapa Arin dengan senyum merekahnya.
Hanna membalas senyum Arin. "Terima kasih."
"Bibi Emely," panggil Theo.
"Iya, Tuan?"
"Tunjukkan kamar Hanna sekalian bawakan tasnya, ya."
"Baik, Tuan." Bibi Emely melakukan perintah Theo. "Ayo, Nona," ajaknya pada Hanna. Hanna mengikuti wanita paruh baya itu.
Sisalah Theo dan Arin. Mereka berdiri tak terlalu jauh namun juga tak terlalu dekat. Theo menatap Arin dengan—ah! Entahlah.
"Arin?" panggilnya.
"Hm?"
"Kenapa kamu gak angkat panggilan aku sekali pun?" tanya Theo langsung.
"Nah itu yang ingin aku katakan! Handphone aku hilang, sayang. Sementara empat hari ini aku menginap di rumahnya Umji. Aku lupa nomor kamu dan Umji juga gak punya nomor kamu. Makanya aku gak bisa hubungi kamu. Lihat nih! Aku punya handphone baru." Arin memamerkan ponsel berwarna putihnya. Memang ponsel baru. Arin sudah memikirkan alasan itu dari jauh-jauh hari karena Arin yakin Theo akan menanyakannya.
Theo berjalan mendekati Arin dan langsung memeluk Arin dengan erat. "Aku kangen banget sama kamu," bisiknya.
Arin membalas pelukan Theo. "Aku juga kangen."
"Aku khawatir kamu kenapa-kenapa karena gak angkat panggilan aku. Lain kali jangan begitu. Kamu kan bisa minta nomor aku dari Bibi Emely."
"Ya maaf. Gak aku ulangi lagi deh."
Theo melepaskan pelukan mereka, berganti Theo mengecup dahi Arin cukup lama.
"Ayo kita ke kamar. Kamu harus istirahat. Kamu pasti capek banget," ajak Arin.
"Iya, aku capek banget. Pijitin, ya." Theo memamerkan wajah memelasnya.
"Ugh, iya-iya." Arin mengalah. "Kalau dikasih jatah," sambungnya lalu.
***
Arin sedang memasak makan malam. Malam ini Arin ingin memasak makanan kesukaan Theo.
"Nona Jung, apa saya boleh ikut bantu?"
Arin menoleh pada Hanna yang berseru barusan. Hanna tersenyum pada Arin, Arin juga harus membalas senyum itu.
"Boleh, kalau kamu mau," jawab Arin.
"Kamu sedang membuat apa?"
"Makanan kesukaan Theo. Kamu tau cara masaknya?"
"Tentu. Apa kamu sudah buat bumbunya?"
"Ini mau aku buat."
"Kalau begitu saya akan masak menu yang lain."
"Iya."
Beberapa menit mereka fokus pada apa yang mereka kerjakan.
"Nona Jung," panggil Hanna tiba-tiba. "Apa saya boleh bertanya sesuatu?"
"Ehm, silahkan."
"Selama di sana saya mendengar banyak pertengkaran antara Pak Theo dengan Tuan Komisaris. Mohon maaf kalau saya lancang. Mereka bertengkar soal Nona Jung yang tidak bisa hamil. Kalau boleh saya tau, kenapa Nona Jung tidak bisa hamil?"
Arin tersenyum hampa tanpa menghentikan kegiatan memasaknya. "Aku pernah hamil. Saat usia kandunganku menginjak tujuh bulan, aku mengalami kecelakaan. Saat itu aku melihat salah satu anak dari Panti Asuhan keluar gerbang. Aku mengejarnya. Tau-tau ada mobil saat anak itu menyebrang jalan. Dia nyaris tertabrak. Aku langsung menariknya tetapi aku justru terjatuh dan perutku mengenai trotoar. Karena aku mengalami banyak pendarahan, bayiku gak bisa selamat. Dan mau gak mau, rahimku harus diangkat."
"Saya turut berduka cita, Nona Jung."
"Mph! Jangan panggil aku Nona Jung lagi. Ini rumah kita. Posisi kita sama. Panggil aku Arin."
"Iya, baiklah... Arin."
Arin tertawa begitu pula Hanna.
"Saya pikir kamu akan benci sama saya," ucap Hanna.
Arin meneguk ludahnya sendiri. "Gak kok," jawabnya sedikit lemah.
"Saya akan menjaga sebaik mungkin calon anak ini. Kamu juga mau menjadi ibunya?"
"Hm."
"Keluarga tidak akan pernah lengkap tanpa seorang anak. Aku akan membuat keluarga ini sempurna. Aku harap anak ini laki-laki, supaya Pak Theo semakin senang."
Saat itulah kegiatan memotong Arin terhenti. Bukan karena ia merasa tersindir tetapi tiba-tiba teringat akan perkataan Theo saat dirinya sedang hamil.
"Kamu mau punya anak apa?"
"Aku mau anak laki-laki. Supaya pahlawan kamu bertambah satu. Jadi kalau aku sibuk bekerja, dia bisa menjaga kamu menggantikan aku."
"Ide bagus, sih. Tapi aku maunya anak perempuan gimana dong?"
"Kenapa?"
"Supaya bisa aku dandanin."
"Awas loh kalau anak kita laki-laki sampai kamu dandanin juga."
"Ih, nggaklah! Aku juga gak mau anak aku bencong."
"Aku mau ke kamar mandi sebentar." Arin pamit. Wajahnya terus menunduk. Arin yakin matanya sudah memerah dan sebentar lagi akan gerimis.
Namun baru saja Arin berbalik, tubuhnya langsung bertubrukan dengan dada Theo. Theo mengangkat wajah Arin dengan kedua tangannya.
"Kamu kenapa menangis?" tanya Theo dengan lembut.
"Sayang, aku masakin ini loh. Kamu sudah lama gak makan ini, kan? Kamu duduk di meja makan aja, sebentar lagi masakannya selesai kok," alih Arin mencoba tersenyum.
"Sekretaris Jung, kenapa Arin menangis?" Kali ini Theo bertanya pada Hanna.
"Maaf, Pak. Tadi kami bercerita tentang anak. Nona Jung menceritakan tentang penyebab gugurnya calon bayi Bapak dengan Nona Jung."
Theo menarik napas dalam-dalam dan megembuskannya dengan tenang. Dihapusnya air mata Arin dengan lembut. "Kenapa harus nangis lagi sih? Aku kan sudah bilang, Tuhan lebih sayang dengan calon bayi kita jadi Dia mengambilnya. Itu bukan kecelakaan, tetapi rencana yang sudah dibuat oleh Tuhan. Jangan menangis lagi, ya." Theo memeluk istrinya itu dengan penuh kasih sayang. Tak lupa Theo mendaratkan kecupan di puncak kepala sang istri.
***
"Makanan sudah siap!!!" Arin dibantu dengan Hanna dan Bibi Emely meletak masakan hasil karya mereka di atas meja makan. "Tanpa udang!" tekan Arin.
Theo tertawa. Matanya lalu menyapu satu per satu masakan tersebut. "Pasti enak nih."
"Enak dong. Makan semuanya. Pokoknya harus habis."
"Mana yang harus aku makan lebih dulu?" tanya Theo.
"Ini!"
"Ini!"
Secara bersamaan Arin dan Hanna menyodorkan makanan yang berbeda.
"Emm, maaf, Pak. Saya pikir Bapak akan melahap daging sapi kesukaan Bapak lebih dulu," jawab Hanna yang berubah menjadi kaku.
"Itu akan saya makan nanti. Saya ingin memakan soondub—"
"Kamu benar kok, Na. Lagi-lagi aku menawarkan makanan kesukaanku pada Theo. Harusnya dia makan makanan kesukaannya dulu." Arin menyela Theo. Ia menjauhkan makanan yang Arin sodorkan—yang ingin Theo ambil barusan. Arin beralih mengambil semangkuk makanan yang Hanna sodorkan tadi. "Haejangguk adalah makanan yang tepat untuk kamu makan pertama kali, sayang."
Theo memaklumi tindakan labil istrinya ini. Pria itu tersenyum lembut sembari mengelus pipi Arin sesaat sebelum merasakan haejangguk tersebut.
"Ini lezat. Kenapa kalian hanya berdiri? Ayo dong dimakan juga," ajak Theo.
Arin dan Hanna mendengarkan perkataan Theo. Mereka duduk dan mulai ikut menyantap hasil masakan mereka sendiri.
"Oh iya, Hanna jangan panggil Theo dengan sebutan Bapak dong di rumah. Di kantor kamu memang sekretarisnya tapi kamu di sini sudah menjadi istri sahnya. Kamu nggak boleh manggil pakai embel-embel seperti itu." Arin berujar sambil mengisi piringnya.
"Saya merasa kurang sopan, Arin," sela Hanna.
"Arin benar," ucap Theo. "Jika di rumah nggak perlu manggil saya dengan hormat."
"I-iya, Pak—emm, maksud saya Theo."
***
"Sayang, aku berangkat kerja dulu, ya."
"Iya, sayang. Ini tasnya."
Theo mengecup sekilas bibir sang istri tercinta sebelum masuk ke dalam mobilnya. Pun Theo sempat melambai kepada Arin. Hanna juga ikut melambai pada Arin. Tentu saja dua orang itu berangkat bersamaan.
Arin berdiri di halaman rumahnya sampai mobil Theo benar-benar menghilang melewati pagar rumah.
Begitu Arin berbalik badan ingin masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ada mobil yang berhenti di tempat mobil Theo tadi. Arin langsung speechless. Dari lima tahun yang lalu, ia sudah mengenal mobil itu.
"BABYYYYY!!!!" Pemilik mobil itu turun bersama suara cemprengnya yang melengking.
"OH MY GOD! Sayangkuuu! Sejak kapan kamu balik ke Korea?!"
Arin bercipika-cipiki dengan wanita jangkung tersebut—Yena—sahabat terbaiknya sepanjang masa.
"Semalam sore, dong. Aku rindu banget sama kamu makanya pagi-pagi aku sudah langsung ke sini. Oh iya, aku bawa oleh-oleh dari Swiss nih. Aku yakin kamu pasti suka." Yena membuka bagasi mobilnya dan mengeluarkan beberapa paperbag dengan berbagai ukuran.
"Wahhh, untukku semua ini?"
"Enggak dong. Bagi-bagi sama Theo!"
"Oh iya, haha. Ayo masuk!" Arin menarik Yena masuk ke rumahnya.
"Theo sudah berangkat kerja, ya?"
"Barusan aja sebelum kamu datang. Memang gak kelihatan ya mobilnya tadi?"
"Nggak tuh. Kupikir masih sempat ketemu Theo."
"BIII!! AMBILKAN MINUM UNTUK Yena, YA!!" teriak Arin saat mereka sudah sampai di ruang tamu dan duduk di sofa. "Jimin mana, Juy? Kok gak diajak ke sini?"
"Oalah, dia lagi pacaran sama mitra kerja barunya."
"Lah, mitra kerja barunya kan cowok?"
"Duh, pacaran pakai tanda kutip loh, sayang. Maksudnya lagi berbisnis."
"Oh...." Arin manggut-manggut.
Fyi, Jimin dan Yena ini memang sudah menikah. Tapi sepasang kekasih ini acap kali adu cekcok bahkan dalam masalah kecil sekalipun. Namun Arin salut dengan hubungan mereka yang renggang pun tidak.
"Oh iya, ada yang mau aku ceritakan," ujar Arin dengan serius bercampur lesu.
Yena yang melihat perubahan sikap sahabatnya itu pun terkejut. "Ada apa? Apa kamu dimarahi lagi oleh ayah mertuamu?"
Arin menggeleng pelan. Meski luka itu kian terasa, Arin tetap mencoba tersenyum. "Nanti aja deh. Sekarang ceritakan bagaimana liburan kamu di Swiss."
"Kenapa gak cerita sekarang aja? Masalah apa yang membuatmu lesu seperti ini?"
"Bukan masalah serius kok."
"Kalau kamu gak cerita, aku juga gak akan cerita." Yena ngambek.
Arin menghela napas gusar. "Ya sudah, tapi kamu harus berjanji jangan marah pada Theo."
"Ini berhubungan dengannya?"
"Iya."
Yena semakin serius mendengarkan. Arin pun menjelaskan semuanya. Tentang rasa sedih yang ia pendam setelah suaminya pergi selama seminggu untuk merayakan pernikahan dengan wanita lain.