43 Pacar Sari

"Raya?"

Seseorang memanggil namaku dari dalam warung bakso Mas Momon, seketika aku heran, siapa yang panggil?

Aku menoleh cepat ke arah belakang, disana duduk seorang cowok yang tak asing. Pacarnya Sari?

Aku melongo, tidak tahu harus menanggapi seperti apa karena aku tak kenal, tapi kenapa dia bisa kenal? kenapa sih aku banyak tanya.

"Eh, iya..hehe" akhirnya aku membuka suara, menanggapi sapaannya barusan. Tersadar dari rasa terkejut.

Dia duduk berhadapan dengan seorang cewek berambut sebahu yang sedang membelakangiku, tunggu! Inikan Sari...

"Sini gabung aja Ray.." katanya lagi, sok akrab.

Aku menatap pada Bimo yang tiba-tiba menarik lenganku menuju meja mereka. Ia menyuruh Sari pindah duduk di sebelah pacarnya, sedangkan aku duduk bersebelahan dengan Bimo, menghadap Sari.

Baru aku sadari, bahwa wajah Sari terlihat sebal. Mungkin karena kami duduk semeja dengannya dan mengganggu acara makan berdua mereka, atau karena tadi kami sempat berdebat di sekolah. Sumpah, aku tidak tahu harus bicara apa padanya.

"Raya sombong banget sih.." cowok dekil di sebelah Sari membuka suara, sambil menatap aku dengan tampang yang yaah..kau bisa tebaklah..

"Kalian saling kenal?" ucap Sari dengan wajah masamnya padaku.

"Iya"

"enggak"

Kami, (aku dan pacarnya Sari), menjawab bersamaan, lalu saling pandang. Dia senyum padaku seolah-olah senyumnya itu semanis es teh buatan 1967.

Aku keki. Tersenyum canggung.

"Kok gak kenal Ray? gak inget, dulu ketemu di Cafe bareng Putri?" katanya lagi.

Aku mengarahkan bola mata ke arah kanan atas, berpikir dan mengingat-ngingat kapankah peristiwa itu terjadi?

Aha! Aku ingat!

"Loh, kamu temennya Putri yang waktu itu?" tanyaku padanya. Dia jawab dengan anggukan dan senyum yang tak hilang dari bibirnya.

"Ooh...pantesan kayak gak asing," ucapku kemudian.

"Heheh...masa bisa lupa sih, udah ngobrol panjang lebar padahal waktu itu." katanya lagi.

"Aku suka pikun," jawabku sekenanya.

"Hahahahah....Raya ada-ada aja..." dia malah ketawa.

Kulirik pada Sari yang diam memperhatikan, wajahnya bertambah masam, entah apa yang sedang ia pikirkan. Dia tak salah paham kan? Jangan bilang dia pikir aku suka pada pacarnya? Oh tidak tidak...Bimo jauh lebih ganteng 1200% daripada pacar kesayangannya itu.

"Kamu juga kenal Putri, Sar?" tanyaku canggung, entah sejak kapan aku jadi segan hanya untuk bicara padanya.

"Iya, kenal," jawabnya terlihat malas bicara. Malas bicara padaku.

"Waktu kita pulang di antar kak Damar, kamu sempet ketemu Putri juga kan ya?" tanyaku lagi, mencoba tidak peduli dengan sikapnya saat ini, aku berusaha mempersempit kecanggungan antara kami.

"Hmmh.." dia hanya jawab hanya dengan gumaman dan anggukan kepala tanpa sudi melihat wajahku. Bibirku bergetar saat ingin bicara beberapa patah kata lagi, tapi aku kelu, terlalu sedih ditanggapi seperti ini oleh kawan dekat sendiri.

"Yang, tolong sambel dong." Bimo menjulurkan tangannya, menunjuk mangkok kecil berisi sambal rawit yang berada di sisi ujung meja sebelahku. Pesanan kami memang baru saja datang.

Ku raih mangkok sambal itu, lalu ku berikan pada Bimo yang kemudian tersenyum padaku sambil bilang terimakasih.

Sekarang ini, Bimo sudah tidak pakai atasan seragamnya karena sudah ia lepas, hanya kaos hitam polos dan celana sekolah. Sedangkan aku masih berseragam lengkap tapi ujung kemeja seragam sudah keluar setelah tadi guling-gulingan di kasur sejak pulang sekolah.

Pacarnya Sari, masih saja bawel mengajak aku bicara tanpa peduli situasi. Bimo hanya memperhatikan saja sedari tadi sambil menyuap bakso ke mulutnya, tidak mau ikut ngobrol. Entah kenapa dia malah mengajakku untuk gabung di meja ini, padahal dia sendiri yang bilang untuk tidak ikut campur hubungan orang.

Aku sangat paham sifat Bimo karena sudah memperhatikan sejak lama, bahwa Bimo itu orang yang tidak begitu peduli pada orang lain terutama perempuan, seringkali lupa nama mereka, dan jarang mengajak bicara duluan kalau tidak dekat, termasuk pada teman-teman akrabku, seperti Dwi atau Sari. Nama Dwi saja dia sering tak ingat, itu kenapa dia seringkali menyebut 'pacarnya Bayu' untuk pengganti nama Dwi yang sebenarnya ia lupa.

"Kok gak pernah bilang sih kalau kenal," tanya Sari tiba-tiba , aku yang sedang fokus melahap mi ayam di depanku, seketika mendongak padanya.

"Aku gak inget kalo sudah kenal Sar.." jawabku.

"Aku belum bilang memangnya?" tanya pacarnya.

"Belum!" kesalnya pada kami.

"Kamu juga gak ada niat mau ngenalin pacarmu ke aku sama Dwi Sar.." balasku pada Sari sebab sudah jengah dengan tingkahnya. Perutku auto kenyang karena dia, lidahku tidak lagi selera dengan mi ayam plus bakso dengan taburan bawang goreng di atasnya itu.

Ucapanku barusan ia balas dengan tatapan maut nyi Blorong, tajam seperti silet.

"Buat apa dikenalin lagi kalau sudah kenal." katanya setelah tatapan tajam itu.

"Kan Dwi belum kenal, memangnya kenapa kalau aku sudah kenal? Kamu cemburu hanya karena itu? Putri yang ngenalin, jangan marah sama aku" sewotku padanya.

Rasa berat menyesak di dadaku, baru kali ini Sari bicara dan bersikap seperti ini padaku. aku sedih, juga kesal. Apa cowok dekil yang baru dia kenal beberapa bulan ini benar-benar membuat dia berubah jadi seperti ini? Kenapa bisa sebuta ini akalnya? Lalu salah apa aku sampai dia semarah ini padaku?

Ah! yang benar saja, masa kami harus berantem hanya gara-gara masalah pacarnya? Sungguh tidak penting sama sekali.

Bimo meraih tanganku saat aku akan menjawab omongan Sari, kutolehkan kepalaku pada Bimo yang lalu menggeleng pelan padaku, membuat aku mengurungkan niatku mendebat kawanku satu itu.

"Makan Ray.." kata Bimo kemudian.

Aku tak menjawab, hanya menurut, melaksanakan apa yang Bimo katakan. Makan dengan tenang. Dalam kepalaku berkecamuk, tidak terima karena Sari jadi seperti orang lain.

Kami diam, tak ada seorang pun yang bicara.

Bimo hanya memandangi aku yang sedang berusaha menghabiskan makananku, karena bakso miliknya sudah tandas tinggal tersisa kuahnya saja disana.

--@@@--

"Lihat kan, gimana Sari tadi?" ujarku pada Bimo setelah kami sampai rumahku.

"Yaaa...lagi buta, diemin aja.." jawabnya.

"Tapi kesel Bim..masa segitunya, lagian masa harus berantem cuma gara-gara masalah pacarnya itu, males banget kan.." kataku masih menggebu. Hidungku kembang-kempis.

"Iya Rayaaa..kan sudah tau kalau kalian berantem untuk hal yang gak banget, ngapain diterusin? biarin ajalah..nanti kalau sudah sadar juga bakalan nangis-nangis ke kamu."

Aku tahu Bimo sangat malas membahas ini, dia tidak suka ikut campur hubungan orang lain karena dia juga benci ketika orang lain ikut campur dalam hubungan kami.

"Hmm..apa coba salahku sampai dia semarah itu sama aku?" tanyaku lirih dengan kepala tertunduk.

"Kamu gak salah, otak dia yang salah."

"Ish..kasih solusi dong,..malah ikutan ngomel"

"Kan udah tadi?"

"Kapan? yang mana?"

"Diemin aja, dia lagi buta, ntar juga bakal nangis-nangis ke kamu.."

"Itu solusi?"

"Iyalah.."

"Gak membantu ih.."

"Yasudah, aku males mikir.."

"Hiss..." hampir ku jitak kepala gantengnya itu, "Tadi juga kenapa kamu malah ikut gabung ke meja mereka coba?"

"Gak kenapa-napa, pengen tau aja pacarnya gimana."

"Hah? gimana apa maksudnya?"

"Ya gimana orangnya, kenapa sampai bisa bikin kawanmu itu lupa daratan"

"Terus terus, menurut kamu gimana?"

"Cemen"

"Hah? Kok gitu?"

"Ya pokoknya gitu..kamu gak bakal ngerti kalo aku jelasin juga. Yang jelas, tunggu aja nanti kawanmu datang padamu sambil nangisin pacarnya."

"Iih..Bimo penasaran tauuk..kamu tau dari mana dia bakal begitu?"

"Kata Author"

"Ooh.."

"Pikirin yang lebih penting aja bisa gak?"

"Apa?"

"Hmm...liburan semester mau kemana misalnya?"

"Mau ngajak aku kemana?"

"Lah ditanya malah balik nanya.."

"Hahah...aku pengen kemana yaa...." ujarku sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjukku.

"Ke pantai aja.." usul Bimo

"Males parang tritis pasti rame, panas pula."

"Siung lah.."

"Hmm? di sebelah mana tuh?"

"Deket sana juga, tapi sepi, jarang ada orang."

"Cakep gak?"

"Jempolan.."

"Hahaha..oke, nanti kita pikirkan itu. Kamu pulang gih, udh mau maghrib."

"Oke yang, aku pulang ya, pamitin ke tante."

"Oke!"

Bimo segera berlalu, aku pun masuk ke rumah dan segera mandi. Kupikir, mendiamkan Sari seperti yang Bimo katakan akan lebih baik, dan kita lihat apa benar omongan Bimo nanti.

Oh, iya! Besok bawa beras kesekolah untuk belasungkawa atas ayah kak Laras, mudah-mudahan dia tidak terlalu terpuruk. Entah bagaimana empatiku muncul pada kakak kelasku itu, padahal beberapa waktu yang lalu aku sangat membencinya, pun dengan dia yang benci aku.

avataravatar
Next chapter