44 Mau?

Minggu ujian mid semester sudah usai, kami belajar seperti biasa, tak ada remedial untuk nilai mid dan dalam beberapa minggu kedepan, kami akan menghadapi Ujian Akhir Semester.

Seperti yang kau tahu, aku memutuskan mendiamkan Sari dengan kebutaan akalnya pada sang pacar, begitu pula Dwi yang juga memilih diam soal hal itu. Bedanya, Dwi masih bicara dengan Sari sedangkan aku tidak. Mungkin malaikat sudah melaknat aku karena bermusuhan lebih dari 3 hari, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak senang harus di perlakukan seperti waktu lalu olehnya.

Aku tahu ini dosa, ngomongin sahabat sendiri. Tapi tak apalah, toh aku bicara ini hanya padamu, bahwa Sari beberapa waktu belakangan ini semakin menjadi, dia yang biasanya tak peduli dengan make up dan perawatan diri kini berubah jadi sering dandan, pakai parfum semerbak yang bahkan bikin nyamuk mabuk kepayang kalau terbang ke arahnya, beli tas branded dari uang SPP yang ia salah gunakan, koleksi lip gloss berbagai warna bahkan warna biru pun dia punya.

Rambut pendeknya kadang ia keriting sosis dan sudah pasti akan buyar saat terik siang sudah menyapa. Oh iya, dia juga pakai pita rambut yang selama ini selalu ia bilang jika benda itu adalah benda yang merepotkan saat dipakai. Tidak praktis. Ku taksir, dia melakukan semua itu karena ingin terlihat berbaur dengan kawan-kawan pacarnya yang sering nongkrong bareng, anak-anak gaul hypebeast yang hobi beli dan pakai barang mahal agar nampak trendi. Banyak juga diantara mereka yang pakai behel beraneka warna.

Yaaa ... aku tahu, aku paham maksudmu bahwa itu hal yang bagus jika dia berubah jadi merawat diri dan semacamnya. Tapi kalau hal itu jadi menghilangkan jati dirimu, buat apa melakukannya? Dan lagi, motivasinya melakukan semua perubahan itu adalah karena sang pacar. Bagiku, merubah diri adalah hal yang akan ku lakukan untuk diriku sendiri, demi diriku sendiri, dan yang penting aku bisa jadi nyaman dengan perubahan itu.

Setuju kan?!

Galih juga memilih untuk mendiamkan saja kelakuan Sari yang saban hari makin jadi, tak banyak komentar dari mulutnya, hanya beberapa kali ku dengar kata cemeehan yang ia lontarkan pada teman sebangku nya itu.

Aku sudah menceritakan kejadian di warung bakso mas Momon beberapa waktu lalu pada Dwi, dan katanya, ia jadi merasa kehilangan Sari yang biasanya. Ku akui, aku juga punya pikiran yang sama dengannya. Dwi juga seringkali di telpon oleh ibunya Sari kalau anak itu hingga sore hari belum juga pulang. Mau tidak mau, kami harus berbohong agar Sari tidak kena marah.

Suatu kali, dia nampak murung di bangkunya, membuat aku dan Dwi yang baru saja datang dari kantin menatapnya heran. Ternyata, dia sedang sangat bingung mencari uang pengganti bayaran SPP yang sudah 3 bulan tak ia setor. Jujur saja, kami sangat geram. Ingin ku jambak bibirnya itu biar dia sadar kalau sudah keliru, tapi kami tidak mau makin membuat segalanya jadi keruh kalau melakukannya. Maksudku, menjambak bibirnya.

Hasilnya, aku dan Dwi memutuskan patungan untuk meminjami uang padanya agar bisa bayar SPP. Dwi yang memberikan uangnya karena aku masih tak bertegur sapa dengannya. Kekanak-kanakan?! Terserahlah ....

--@@@--

"Kamu bantu dia bayar SPP?" Bimo sedang mengomeliku sebab tindakanku yang malah membuat Sari jadi tidak belajar dari kesalahannya, kata Bimo.

"Ya abis gimana dong, aku kasihan kalau sampai dia nanti gak bisa ikut ujian. Uang SPP 3 bulan kan banyak, mau dapet darimana dia ... belum lagi ibunya nanti marah."

"Bodo, siapa yang suruh dia nilep duit SPP, kamu yang nyuruh? Kenapa jadi kamu yang repot patungan buat bayarin?" kesalnya.

"Namanya juga temen Bim, gak tega kami ...."

"Baik banget sih kamu, pasti besok masuk surga ...." katanya membalikkan sindiranku tempo lalu saat salah paham pada kak Laras. Aku sedikit terkesiap, sial. Mau aku mencari pembenaran apapun, tetap saja apa yang dikatakan Bimo itu benar.

"Maaf ...." kataku lirih sambil tertunduk lesu.

"Kan sudah ku bilang biarkan saja Ray ... aku tahu pacarnya itu ngapain di belakangnya, tinggal tunggu waktu dia mewek nyesal."

"Maksudnya?"

"Pacarnya itu sering jalan dengan cewek lain."

"Ih! Tau darimana lagi kamu? Author lagi?"

"Bukan, aku sering ketemu pas lagi pergi main dengan kawanku."

"Jadi Sari di duakan?"

"Entahlah ... mungkin gitu, aku gak peduli."

"Dasar cowok dekil berengsek!" umpatku kesal, bikin Bimo terkejut.

"Astagaa, cantik banget mulutnya ya Ray ..." sambil ia menatap tajam mataku.

Aku lalu refleks mendekap mulutku sendiri, kemudian pasang tampang cengengesan padanya.

"Minta dididik lagi mulutnya kayak pas di rumahku waktu itu ... Hmm?" katanya dengan kerlingan mata menyebalkan sambil meraih pinggangku untuk mendekat padanya. Aku seketika bergidik dan menjauhkan wajahku yang masih menempel telapak tanganku di sana, sedangkan ia tetap menarikku ke pelukannya.

Ah! Aku sangat tahu maksud omongan Bimo.

Ya Tuhan, jantungku mau meledak sekarang juga, wajahku langsung memanas dan sudah pasti jadi kepiting rebus saat ini. Yang benar saja! Dia mau menciumku? Ini masih di sekolah. Dasar Bimo gila!

Saat ini kami sedang duduk di depan kolam ikan hias kecil di belakang sekolah, berdekatan dengan kantin belakang, tempat ia selalu menghabiskan waktu istirahat. Disana terdapat kolam kecil yang di buatkan bangku-bangku panjang dari campuran semen dan bata di sisi kanan-kiri kolamnya.

Meskipun letaknya di belakang, bukan berarti tempat itu sepi, anak-anak kantin belakang pun kerap duduk disana. Belakangan memang aku sudah tak lagi canggung atau takut untuk pergi ke kantin belakang, setelah kenal dengan semua penghuninya. Dan sekarang ini, bisa saja salah satu dari mereka memergoki kami disini.

Kupejamkan mata kuat-kuat, berdoa dalam hati agar tak ketahuan, ekhem ... maksudku agar Bimo tidak melakukannya saat ini juga. Tapi kemudian yang ku dengar adalah suara gelaknya yang tak henti-henti. Segera aku membuka mata.

Rupanya dia sedang menertawai aku sebab wajahku yang memerah malu. Bimo mengerjai aku lagi!

"Ish ... jangan ngerjain ah!" omelku padanya.

"Hahaha ... jangan disini, nanti aja ya." katanya.

"Iiiihh ... kok jadi kayak aku yang mau!" protesku.

"Hahahah ... jadi gak mau nih?"

"Gak!"

"Yang bener? Yakiin?" tanyanya, lebih seperti menggodaku. Bikin aku cemberut kesal, kupalingkan wajahku darinya sebagai responku atas pertanyaannya.

"Ya sudah, kalau aku gitu gak perlu lagi cium kamu, daripada dianggap maksa nanti."

Aku langsung menoleh padanya, rupanya pandangannya sedang dia arahkan padaku dengan senyum jahil sudah terkembang di wajahnya, sehingga aku tidak bisa lari lagi dari tatapannya.

Tamatlah aku, salah tingkah seketika!

"Jadi ... Mau kan?" masih dengan senyum itu.

Akh! Sial! tengsin dong aku kalau jawab iya, tapi tak bisa bohong juga untuk bilang 'gak mau'. Kenapa sih harus ditanya begini, andai saja aku bisa bilang dengan lantang di kupingnya, 'bukan cuma mau, tapi suka!' sudah pasti aku lakukan. Tapi jika itu kulakukan, mau ditaruh mana mukaku.

Kuputuskan mengangguk pelan diantara kecamuk batin yang melandaku. Dia tertawa lagi, kali ini dengan mengacak rambutku seperti biasa.

Aku malu, sumpah aku sangat malu ....

"Hahaha ... tapi jangan sering-sering ya Ray."

"Hmm? Memang kenapa?"

"Hehe ... nanti kalau kamu ketagihan gimana? Soalnya aku pasti gak bakal nolak."

"Biiimooooooooooooo ...." geramku padanya sambil memukul lengan kirinya bertubi-tubi.

"Hahahahhahahahahhaha ....." dan dia hanya tertawa. Menyebalkan!

--o0o--

"Ray! Sari berantem di warung Mbah Rimbi! Ayok cepet kesana ...." Dwi tiba-tiba menarik lenganku saat aku baru saja kembali dari toilet.

"Hah?! Apaan sih Wi? Berantem sama siapa?" tanyaku jadi ikut panik.

"Gak tau, anak sekolah lain katanya, si Ajeng barusan ngasih tau aku."

"Astagfirullah ... kenapa sih itu anak!"

Aku benar-benar kesal, sangat kesal karena Sari bikin masalah lagi. Baru beberapa hari yang lalu kami harus patungan untuk ganti uang SPP yang ia selewengkan, dan hari ini aku harus mendengar kabar tidak menyenangkan soal dia lagi.

Kalau tidak ingat kami sudah bersama dari mulai masuk sekolah dan dia sering membantuku, sudah ku pecat dia jadi teman sekarang juga.

Aku tak sempat bertanya apa-apa dan tak sempat menghubungi Bimo karena kami langsung berlari menuju warung gudeg Mbah Rimbi langganan kami, dan benar saja, disana sudah tampak ramai sekali oleh anak SMA yang berseragam berbeda dengan kami, sepertinya seragam anak Mandala.

Bergegas kami kesana menolong Sari yang sudah menangis terduduk di tanah, diantara tatapan orang-orang yang berdiri mendongak dagunya. Sangat jelas ku lihat pacar berengsek Sari diantara orang-orang itu, dan Putri. Dia juga berdiri disana, memihak pada anak sekolahnya.

"Sariii ... kamu kenapa?" ujarku dengan mata terasa buram, terlalu perih untukku melihat keadaannya yang berantakan saat ini. Dia menggeleng, isaknya semakin menjadi sambil merangsek ke pelukanku. Ku elus punggungnya yang kini jelas terasa tulang belikat miliknya menyambut telapak tanganku.

Sari benar-benar diet dengan serius rupanya, sampai terasa jelas olehku perubahan fisiknya. Aku merasa murka atas kondisi kawanku ini, apa masalah nya hingga ia harus jadi seperti ini.

Dwi ikut mendudukkan dirinya dengan lutut sebagai tumpuan di samping kami. Ikut berkaca-kaca dengan tangannya yang terus mengusap punggung kurus itu. Nampak pula emosi tersirat di kilat matanya yang menggenang.

"KALIAN SEMUA ANJING!" sentakku dengan tatapan tajam mengarah ke mereka semua, termasuk Putri dan pacar Sari disana. Aku tidak peduli.

To Be kontiniu...

avataravatar
Next chapter