10 Suara itu

"Sefia!" Pekik Bima yang tak menyangka jika sekertarisnya itu ada di dalam rumahnya, dan lebih mengejutkan lagi Ia sedang membantu mamanya mempersiapkan makan malam.

 

"Selamat malam, Mas Bos." Sapa Sefia sambil menunduk setelah meletakkan makanan pendamping ke atas meja makan.

"Malam, kok kamu disini?" Tanya Bima sambil menarik kursi makan di samping Camel, adiknya.

"Mamah yang suruh, kenapa? Kamu ga suka? Atau kamu mau marah sama sekertaris kamu itu?" Cecar sanga mamah, membuat Bima memejamkan matanya sejenak lalu mengambil makanan yang ada di atas meja.

"Bukan begitu mah, Cuma kaget aja."

"Sef, kenapa kamu Cuma berdiri ayo duduk dekat mamah." Ucap Sandra yang membuat Bima lagi – lagi menoleh pada gadis berjilbab itu.

"Gimana kantor?" Tanya Bima sedikit cuek.

"Baik, tapi tadi siang…."

"Ya, Sefia pergi sama mama dari siang, mamah ga tahu kalau kamu justru pulang cepet. Bahkan setelah mamah sampai rumah ternyata justru kamu sudah sampai duluan." Ucap Sang Mama.

Bima hanya diam tak menjawab lagi perkataan Mamanya.

"Ini pasti kamu yang masak Sef." Kata Bratasena sambil mencomot satu bakwan udang menggunakan garpu.

Sefia mengangguk, lalu tersenyum.

Acara makan malam berjalan dengan lancar di selinggi canda tawa dari semua anggota keluarga terutama Bima dan Camel yang memang selalu berdebat dalam hal apapun.

 

Kini saatnya Sefia untuk kembali pulang ke rumahnya, rumah yang tak terlalu besar namun begitu asri karena yang punya rumah memang suka membeli tanaman untuk menghiasi rumahnya.

"Sejak kapan kamu dekat dengan keluargaku?"Tanya Bima yang saat ini tengah memegang kemudia untuk mengantarkan Sefia pulang sesuai mandat dari kedua orang tuanya.

"Sejak mas bos belum datang kemari."

Bima hanya mengangguk, lalu kembali fokus menyetir kuda besi miliknya supaya selamat sampai rumah Sefia.

"Kamu tinggal sendiri?" Tanya Bima saat mereka tiba di perumahan sederhana, walau ini kali kedua Bima mengantarkan Sefia pulang, namun Ia tak pernah tahu dengan siapa gadis itu tinggal.

"Ya, sendiri."

"Boleh aku temani?" Bima menaikkan kedua alisnya saat bola mata Sefia menatapnya tajam.

"Gitu aja marah! Becanda! Lagian siapa juga yang mau tinggal sama gadis macan kayak kamu." Canda Bima, tapi Sefia tak mengindahkan omongan bosnya itu Ia lebih memilih membuka pagar rumahnya llau masuk ke dalam halaman rumah sambil merogoh tasnya mencari kunci rumah.

Bima mengamati sekeliling halaman rumah Sefia, terdapat banyak tanaman, namun yang membuat Ia heran adalah tidak adanya tanaman bunga di halaman itu, padahal kebanyakan perempuan pasti menyukai bunga dan Bima pikir tak terkecuali dengan Sefia, tapi ternyata Ia salah. Gadisitu sama sekali tak menyukai bunga.

"Silahkan masuk."

Bima tak menjawab hanya mengikuti langkah kaki Sefia untuk masuk ke dalam rumah.

"Kamu tidak suka bunga ya?" Tanya Bima sambil mendaratkan pantatnya ke atas sofa.

"Tidak."

"kenapa?"

"Karena saya lebih menyukai bunga bank dari pada bunga tanaman." Sahut Sefia yang masih sibuk menyimpan sepataunya ke dalam rak. Sedangkan Bima terkekeh mendengar jawaban dari sekertaris konyolnya itu.

"Saya tingga masusk sebentar pak? Mau kopi?"

"Ya, seperti biasa, ga pakai sianida."

Sefia memutar bola matanya malas, lalu berbalik menatap Bima yang sedang duduk di kursi sambil nyengir menatap dirinya.

"Disini tidak ada sianida, adanya racun tikus." Sefia langsung masuk ke dalam untuk menaruh tasnya di kamar lalu membuat kopi untuk bos sintingnya.

Bima mengangga mendengar jawaban Sefia, namun detik terakhirnya dia justru tertawa kecil.

Tak beberapa lama, Sefia kembali datang dengan nampan kecil di tangannya.

"Silahkan kopinya mas."

"terima kasih."

Bima mengambil cangkir kopi di hadapannya, lalu mulai menyesapnya perlahan.

"Muantapp!"

"Mas bos ga takut itu kopi sudah saya campur dengan racun tikus?" Tanya Sefia ingin menggoda bosnya.

"Tidak, racun itu tidak akan mempan pada saya."

"Kok bisa?"

"Karena saya bukan tikus!"

Sefia tergelak, lalu tertawa yang membuat Bima menatapnya tanpa kedipan mata. Baru kali ini Bima melihat tawa lepas seorang Sefia, manis dan apa adanya.

 

'Kamu begitu seadanya, namun anehnya selalu membuat hatiku bergetar.' Batin Bima.

"Mas Bos memang bukan tikus, tapi persis seperti Singa." Ucap Sefia sambil menyeka air bening di sudut matanya.

"Singa?"

"Coba Mas Bos ngaca, tuh muka penuh jambang, persis kayak rambut singa." Sefia kembali terkekeh.

"Awas ya kamu."

Sefia masih tersenyum kecil, saat Bima menanyakan sesuatu padanya.

"Fia, apa kamu sudah mengambil keputusan menerima perjodohan kamu atau tidak?" Tanya Bima pelan.

Sefia nampak berpikir, "Kenapa memangnya Mas bos?"

"Jawab aja sih! Apa susahnya."

Sefia mencebikkan bibirnya, bos nya ini memang gampang sekali berubah suasana hatinya.

"Mungkin."

"Kok mungkin?"

"Aku tidak tahu dengan siapa aku di jodohkan, paling tidak aku akan pulang lebih dulu lalu bertanya pada kedua orang tuaku siapa laki – laki itu. Baru saya bisa ambil keputusan."

"Saya juga senasib sama kamu."

"Maksud mas bos?"

"Saya juga di jodohkan."

Sefia menatap tak percaya laki – laki yang duduk di hadapannya ini.

"Pasti dengan model ya, atau dengan anak pengusaha juga, lalu kenapa mas bos murung, masbosga suka?"

"Awalnya aku selalu menolak, sama seperti dirimu, tapi setelah aku tahu siapa gadis yang di jodohkan denganku, aku jadi berpikir ulang, meski belum bisa sepenuhnya membuat aku jatuh cinta, paling tidak aku merasa nyaman jika selalu dekat dengannya."

"Pasti wanita itu sangat cantik dan baik hati."

Bima menarik nafas panjang, "Dia manis, apa lagi kalau sedang tersenyum. Dia sederhana dan seadanya, walau aku tahu latar belakang keluarganya adalah dari keluarga pejabat." Mata Bima tak lepas memandang Sefia kala mengatakan itu.

"Jadi anak pejabat. Selamat ya mas bos, semoga mas bos bahagia dengan calon istri mas bos, dan kelak bisa menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warrohmah."

 

"Aamiin, dan aku yakin kamu juga akan bahagia, karena laki – laki yang di jodohkan denganmu pasti akan selalu berusaha membuatmu bahagia, terlepas entah rasa cinta itu sudah hadir atau belum."

Sefia hanya mengangguk kecil, "Semoga saja." Jawab Sefia sendu.

Hening. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya, mereka sama – sama sibuk dengan pikirannya masing – masing hingga suara menggelegar mengaget kan mereka berdua.

 

Jedduar!!

Spontan Bima langsung menatap keluar jendela di lihat tiba – tiba hujan turun dengan sangat deras. Namun pemandangan lain yang Ia lihat membuat laki – laki itu menyatukan kedua alisnya.

"Kamu ga apa – apa?" Tanya Bima yang melihat Sefia menutup kedua telingganya dengan wajah Ia masukkan kedalam kedua lututnya yang terlipat ke sofa.

Tak ada jawaban dari gadis itu, 'Apa dia sedang ketakutan?' Batin Bima.

Bima perlahan mendekati gadis berjilbab itu, lalu berusaha menyentuh bahunya.

"Fia…"

Tanpa Bima duga, Sefia menghambur ke pelukan Bima seiring dengan terdengarnya kembali suara petir yang menggelegar.

"Jangan pergi."

Deg

'Suara ini…'

 

 

 

avataravatar
Next chapter