webnovel

2. Pria gila

"Aarrgh." Naira terkejut saat tiba-tiba saja Erick menarik tangannya hingga dia terjatuh ke dalam dekapan Erick.

"Berhenti di situ Pa, atau Papa akan tahu akibatnya!" Hardik Erick, matanya menatap sinis ke arah Hendri.

"Ck, kau berani mengancam Papamu sendiri hah?" Sanggah Hendri tak terima, tangannya beranjak menjulur untuk menarik ujung telinga Erick. 

"Aaah, ampun Pa! Bu-bukan itu maksud Erick Pa, bukankah sejak dulu Erick sudah memperingatkan Papa untuk tidak mendekati milik Erick. Ingat umur Pa, kenapa Papa selalu mengincar yang lebih muda?" Timpal Erick pada sang papa, tangannya menahan telinganya yang panas karena tarikan tangan sang papa. "Aaahh." Erangnya lagi, saat sang papa mengeratkan tarikan tangannya. 

"Kau ini! Papa mendekat untuk mengajak Mamamu pergi, bukan untuk mendekati Naira!" Hardik Hendri, dia melepaskan jewerannya lalu tangannya menarik lembut tangan istrinya. "Ayo kita pergi dari pria gila ini Ma." Hendri merengkuh mesra pinggang sang istri, sedangkan Mili menyambutnya dengan melingkarkan tangannya di pinggang sang suami.

"Hei! Apa kalian lupa, kalau pria gila ini putra kalian!" Sarkas Erick tak terima jika ia disebut pria gila.

"Hahaha. Kau tau Er, Papa penasaran siapa yang menurunkan sikap posesif itu padamu." Hendri tergelak, dia merasa gemas dengan tingkah sang anak yang selalu saja bersikap posesif pada kekasihnya.

"Menurut Papa?" Erick memicingkan kedua matanya menatap sang papa, namun yang ditatap hanya mengkat kedua bahunya.

"Aaw, sakit sayang. Kenapa kau mencubitku?" Erick merintih, mengusap-usap pinggangnya yang terasa panas karena cubitan Naira. 

"Kau ini, kenapa bicara seperti itu pada Papamu?" Sarkas Naira kesal. 

"Memang apa yang salah dengan ucapanku sayang?" Tanya Erick bingung.

"Tidak, tidak ada yang salah!" Sarkas Naira. "Aku yang salah karena mau jadi kekasih pria gila sepertimu!" Imbuhnya lagi.

"Hei! Kenapa kau mencela kekasihmu sendiri? Aku hanya ingin menjaga milikku saja, tidak lebih. Bukankah sudah aku katakan kalau kau adalah milikku dan tidak ada yang boleh menyentuhmu selain aku, tak terkecuali Papaku sendiri!" Ucap Erick penuh penekanan. 

"Terserah kau saja!" Seloroh Naira memalingkan wajahnya, dia sudah malas untuk berdebat dengan kekasih gilanya ini. 

Erick terkekeh saat melihat wajah kesal Naira, baginya kekasihnya ini terlihat sangat menggemaskan jika sedang kesal. Beberapa saat kemudian, pandangannya teralih pada bibir tipis berwarna merah chery yang sedang mengerucut itu. Bibir yang selalu menjadi candu baginya, yang entah kenapa dia selalu ingin menghisap dan melumat bibir itu. Melihat kekasihnya yang masih kesal, entah kenapa otaknya memberinya ide untuk mengusili Naira. Dengan cepat, dia meraih pinggang Naira hingga kini tubuh keduanya saling menempel tanpa jarak apapun. Naira yang merasa terlalu dekat dengan wajah Erick pun pipinya jadi merona karena gugup, hingga tanpa sadar ia lalu menutup kedua matanya.

"Hei, apa yang kau pikirakan sayang? Kenapa kau menutup matamu?" Serunya saat melihat Naira menutup kedua matanya. 

"Aaw.." Naira memekik dan mengusap keningnya saat tangan Erick berhasil menyentilnya. "A-apa? Aku tidak memikirkan apapun!" Naira gelagapan, dia melepas rangkulan tangan Erick. Dia merutuki kebodohannya saat ini, entah kenapa tubuhnya jadi merespon saat Erick mendekatinya, apalagi dengan jarak yang sedekat ini. "Ta-tadi aku hanya kelilipan saja!" Kilahnya lagi. 

Melihat tingkah Naira yang semakin menggemaskan, Erick menjadi benar-benar tidak bisa menahan hasratnya. Dia kembali merengkuh pinggang kekasihnya itu dengan tangan kanan sudah menahan tengkuk kepala Naira. Dengan cepat dia membenamkan bibirnya ke dalam bibir Naira, lalu dia melumat serta menghisap bibir ranum itu dengan sangat lembut namun menuntut.

Meski terkejut, Naira yang mendapat serangan mendadak dari kekasihnya itu tidak menolak sedikitpun. Dia bahkan menikmati permainan bibir kekasihnya yang terasa sangat lembut, yang membuat dia menjadi terhipnotis dan membalas lumatan serta hisapan yang Erick berikan.

Erick yang merasa mendapat respon itu pun semakin mencumbu mesra bibir yang selalu menjadi candunya itu. Kini keduanya saling menikmati pangutan bibir mereka untuk saling bertukar saliva, bahkan tangan Naira sudah ia kalungkan di leher Erick. Namun beberapa saat kemudian, tanpa terasa air mata Naira perlahan luruh membasahi pipinya, entah kenapa dia merasa ini adalah ciuman terakhir dengan kekasihnya. Di dalam hatinya, dia akan selalu mengigat ciuman terakhir yang Erick berikan itu karena dia tidak tahu takdir apa yang akan mereka jalani nanti. Naira juga tidak yakin bisa bertemu lagi dengan kekasihnya, bukannya tidak percaya, namun dirinya tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi di hari esok.

Meski enggan, Erick harus segera melepas pangutan bibirnya sebelum hasratnya ingin menuntut lebih. Keduanya saling menyatukan kening dengan nafas yang saling memburu akibat kehabisan oksigen. "Wah, sekarang keksihku ini sudah pandai menciumku rupanya." Goda Erick.

"Ck, Kau lupa kalau kau sendiri yang setiap hari mengajariku berciuman!" Cibik Naira yang kembali mengerucutkan bibirnya. Entah itu berupa pujian atau sindiran, yang pasti kini kedua pipinya sudah sangat merona. 

Erick terkekeh saat mengingat bagaimana rakusnya dirinya jika sedang bersama dengan Naira. Dia bahkan tidak pernah absen untuk menikmati bibir ranum itu. "Aku pasti akan sangat merindukan bibir ini." Ucapnya, tanganya mengusap lembut sisa saliva di bibir Naira. "Jaga semuanya untukku sampai aku kembali menjemputmu." Titahnya lagi yang membuat wajah Naira kembali merona karena ucapan Erick, tubuhnya bahkan mematung dan dia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dia hanya mengangguk, pertanda ia mengerti akan permintaan Erick. 

Kesedihan Naira kembali saat ia mengingat bahwa pria yang berada di hadapannya saat ini, sebentar lagi akan pergi. Tapi, dengan sekuat tenaga, dia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan Erick agar kekasihnya tidak terbebani dengan kesedihannya. "Jaga diri dirimu baik-baik di sana, jangan telat makan dan jangan suka tidur terlalu larut malam." Titahnya. 

"Hanya itu?" Tanya Erick dengan kedua alis yang saling bertautan, bingung. Dan Naira hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Kau tidak memintaku untuk menjaga hatiku?" Tanya Erick terheran dengan sikap kekasihnya, namun Naira tetap tidak bersuara dan hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya.

"Hei, kau ini sebenarnya kekasihku atau bukan?" Hardik Erick kesal, tapi Naira tetap enggan untuk bersuara. "Sepertinya aku harus memberimu hukuman lagi, agar kau ingat siapa aku ini!" Erick memicingkan kedua matanya menatap Naira.

Naira yang mendengar kata hukuman dari Erick, seketika itu pun bersuara. "Ti-tidak, tidak!" jawab Naira gugup, bahkan tanganya reflek menutup mulutnya. Dia sudah tahu betul hukuman seperti apa yang Erick maksud. 

"Lalu, kenapa kau tidak menjawab? Apa kau tidak mencintaiku? Atau dari awal cintaku memang bertepuk sebelah tangan?" Tanya Erick lagi, dia menghela nafas panjang saat Naira hanya menggelengkan kepalanya. "Baiklah, kali ini aku tidak akan memaksamu, tapi tidak untuk di lain hari!" imbuhnya lagi. 

"Er, sudah waktunya kita berangkat." Teriak Mili saat petugas boarding gate memanggil mereka untuk memastikan kesesuaian identitas, antara identitas ktp dengan identitas di boarding pass. 

"Iya Ma, sebentar lagi!" Teriak Erick yang menoleh sesaat ke arah Mili.

Erick mengalihkan pandangannya lagi ke arah Naira yang menunduk, berusaha untuk menyembunyikan air mata yang kini mulai membasahi kedua pipinya. Direngkuhnya tubuh mungil itu lalu dipeluknya dengan sangat erat. "Tenang saja sayang, tanpa kau mintapun, aku pasti akan menjaga hatiku untukmu." Erick mengurai pelukannya lalu mencium kening Naira dan mengusap lembut pucuk kepalanya. 

Dengat cepat, Naira kembali mendekap tubuh Erick dengan sangat erat. Kini, tangisnya pun pecah di dalam pelukan kekasihnya itu. Dengan susah payah Naira menahan tangisnya di hadapan Erick selama ini, namun kini itu sia-sia cara untuk meluapkan kesedihannya yang sudah tidak terbendung lagi. Baru saja dia merasakan kebahagiaan saat Erick mengungkapkan perasaannya, namun sekarang dia harus kembali kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya. "Aku akan menunggumu!" Ucap Naira ditengah-tengah isak tangisnya. 

"Tentu saja sayang, kau harus menungguku karena kau adalah milikku dan aku adalah milikmu." Perlahan Erick melepas pelukannya dan mencubit gemas pipi Naira. "Sudah jangan sedih lagi, aku akan menghubungimu setelah aku sampai." Titahnya, kemudian dia berjalan meninggalkan Naira yang masih terisak.

"Mama benar-benar iri pada mereka yang selalu terlihat sangat romantis Pa." Seloroh Mili pada suaminya yang sedari tadi selalu disuguhkan dengan adegan keromantisan putranya dengan sang kekasih. 

"Cih, apa Mama tidak sadar kalau pria yang di hadapan Mama ini juga romantis! Bahkan Papa jauh lebih romantis dari pada pria gila itu!" Sanggah Hendri. 

"Ck, bilang saja kalau Papa juga iri." Cibik Mili pada suaminya, dia berbalik dan meninggalkan suaminya pergi sedangkan Hendri terkekeh melihat tingkah sang istri yang terlihat lucu baginya. 

"Ayo Pa, kita berangkat." Ucap Erick dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Erick terus berjalan ke arah petugas boarding gate tanpa menoleh ke arah Naira yang masih terisak. Karena jika dia menoleh ke belakang, maka sudah bisa dipastikan hatinya akan kalah saat melihat Naira menangis, bahkan mungkin dia akan memilih untuk tetap tinggal. "Maaf sayang, aku janji ini adalah yang terakhir kalinya aku membuatmu menangis." Batin Erick di dalam hatinya. 

Naira terus terisak menatap kepergian kekasihnya, hingga kini tubuhnya jadi terduduk lunglai di lantai bandara. Bahkan dia menangis meraung-raung untuk meluapkan kesedihannya, tanpa menghiraukan orang-orang sekitar yang menatap heran padanya. "Aku akan menunggumu, pasti akan selalu menunggumu pulang!" Teriaknya, sebelum Erick benar-benar pergi. Kini hanya menangislah yang bisa membuat beban di hatinya sedikit berkurang, seluruh air matanya luruh dan tumpah membanjiri kedua pipinya. Naira terus menatap tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari punggung Erick yang perlahan semakin menghilang dari pandangannya. "Aku pasti menunggumu!" Ucapnya lagi di tengah-tengah isak tangisnya.

Dan tak lama kemudian, pesawat yang mereka tumpangi pun akhirnya lepas landas.

***

"Istirahatlah Er, perjalanan kita masih lama." Mili mengusap punggung Erick yang kini hanya menatap ke jendela tanpa sepatah kata, hanya air mata saja yang sewaktu-waktu mengalir menggenangi pipinya karena kesedihan yang yang coba ia tahan. Bahkan Erick kini terlihat menangis dalam diamnya.

"Pa, apa putra kita akan tetap seperti itu?" Mili merasa sedih saat melihat putranya terluka. Hatinya sakit melihat Erick yang selalu tersenyum, kini diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, apalagi sesekali Erick terlihat menghapus kedua pipinya yang basah karena air matanya. Meski Erick bukanlah putra kandungnya, tapi ia menyayanginya karena Erick tumbuh bersamanya. 

"Tenanglah ma, mungkin saat ini Erick hanya butuh waktu untuk sendiri. Dia perlu membiasakan diri tanpa Naira di sisinya." Ucap Hendri menenangkan istrinya yang tengah bersedih di dalam pelukannya. Meski hatinya juga merasa sakit melihat perubahan dari sikap putranya, setidaknya dia harus menahan kesedihnya di hadapan putranya karena itu hanya akan menambah beban bagi putranya saja. "Maaf nak, Papa telah merenggut kebahagiaanmu." Batin Hendri menatap punggung Erick.