***
Tujuh belas jam berlalu, kini Erick beserta keluarganya telah sampai di Bandara Internasional Paris Charles de Gaulle. Sebelumnya bandara ini dikenal dengan nama Aéroport de Paris Nord, Bandara Internasional terbesar di Perancis ini berganti nama menjadi Bandara Internasional Paris Charles de Gaulle. Bandara yang terletak di sebelah timur laut kota Paris, bandara ini merupakan salah satu bandara termodern dan tersibuk di dunia.
"Aaah, akhirnya sampai juga." Mili merentangkan kedua tangannya ke atas, meregangkan semua otot-otot yang terasa kaku akibat perjalanannya selama tujuh belas jam lamanya.
Bep, bep, sebuah mobil Audi A6 Quattro Avant mendekati Hendri, Mili dan juga Erick. Mobil dengan konfigurasi Avant yang memiliki ruang bagasi yang besar dan banyak kegunaan. Mobil Audi A6 yang memiliki mesin 2.0L empat silinder yang mempermudah untuk dikendarai. "Hi brother, apa kalian mencariku?" Seorang pria paruh baya keluar dari mobil mewah tersebut.
"Hi Mike." Hendri memeluk singkat dan menepuk pelan punggung pria yang tak lain adalah sang adik.
"Bagaimana kabarmu kak?" Mike membalas pelukan Hendri.
"Baik, bagaimana denganmu?"
"Aku juga selalu baik kak." Serunya, lalu dia melambaikan tangan kepada Mili setelah mengurai pelukannya. "Hi kakak ipar."
"Hi juga Mike." Mili tersenyum membalas sapaan Mike yang melambaikan tangan ke arahnya.
Kamudian Mike mengalihkan pandangannya ke belakang, tempat di mana Erick berada untuk menyapanya. "Hi, br...." Belum sempat Mike menyelesaikan kalimatnya, Erick sudah berlalu beranjak dari tempatnya menuju ke arah mobil.
"Sampai kapan kalian akan berdiri di situ?" ucapnya saat hendak membuka handle pintu mobil.
Mike mengerutkan kening menatap Erick. "Dia kenapa Kak?" Tanya Mike pada Hendri.
"Sudah jangan dihiraukan, orang yang lagi patah hati memang seperti itu!" Seru Hendri dengan mengangkat koper yang hendak dimasukan ke dalam bagasi mobil.
"Aku bantu Kak." Mike kemudian mengangkat barang-barang lain yang akan mereka bawa. "Erick beneran lagi patah hati? " Mike yang masih penasaran, bertanya kembali pada sang kakak.
"Hmmm. Sudah tidak usah dibahas, nanti Erick dengar." Bisik Hendri, kemudian dia melirik Erick dengan ekor matanya yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Apa kalian masih lama? " Teriak Erick dari dalam mobil, hingga membuat kedua orang yang sedang memperbincangkannya menjadi tersentak karena terkejut.
"Ti-tidak, kami sudah selesai!" Mike gelagapan menutup bagasi, kemudian dia bergegas berjalan menuju kursi pengemudi, begitu juga Hendri yang duduk di belakang kursi pengemudi bersama Mili.
Di perjalanan, ekor mata Mike melirik kearah Erick yang duduk di sebelah kursi pengemudi. Erick yang tengah sibuk mengotak atik ponsel miliknya, tidak sadar kalau ada yang sedang memperhatikan dirinya.
tut.. tut.. tut.. tut..
"Kemana sih, seharusnya di sana kan sudah pagi. Kenapa teleponnya tidak dijawab?" Keluh Erick dengan tangan terus menekan tombol untuk memangil.
"Sudahlah Er, mungkin Naira masih sibuk." Mili melihat jam tangannya yang masih menunjukan pukul tiga dini hari. "Sepertinya di sana sudah jam delapan pagi dan itu artinya, Naira sedang berada di Sekolah." Imbuhnya lagi.
Namun Erick tetap tidak menghiraukan perkataan sang mama, tangannya terus menekan tombol panggilan untuk menghubungi Naira. Tut.. tut.. tut.. tut.. Pada panggilan kedua tetap tidak ada jawabaan. Hingga pada panggilan ketiga, baru ada jawaban.
Tut, "Halo sayang, lagi di mana? Kenapa tidak menjawab paggilanku dari tadi? Apa kau sedang sibuk?" Ucap Erick langsung mencerca beberapa pertanyaaan saat paggilannya sudah terhubung.
"......... "
"Apa aku mengganggumu?" Senyum Erick yang tadinya mengembang saat panggilannya terhubung, mendadak menyurut saat mendengar jawaban dari sebereng telepon.
"......... "
"Baiklah." Erick tertunduk lesu dan meletakkan asal ponselnya saat panggilannya sudah berakhir.
"Kenapa Er?" Mili merasa ada yang aneh saat melihat Erick dengan cepat mengakhiri panggilannya.
"Nai mematikan panggilannya Ma." jawab Erick lesu. "Katanya Er membuatnya tidak konsentrasi saat belajar." Ucapnya lagi dengan kedua tangan mengusap kasar wajahnya.
"Lagian kamu juga sih, sudah tahu jam segini Naira lagi sekolah malah ditelponin terus!" Sarkas Mili dengan menggelengkan kepala namun Erick enggan untuk sekedar menanggapi, dia lebih memilih menatap jalanan melalui kaca pintu mobil.
Dua puluh lima menit berlalu, kini mobil yang ditumpangi Erick beserta keluarganya berhenti di sebuah mansion mewah yang terletak di pusat kota, lebih tepatnya di sisi Sungai Seine sebelah menara Eiffel.
"Pa, Erick duluan. Erick lelah!" Erick menurunkan kopernya dan menariknya asal dengan langkah kaki yang lesu dan tak bersemangat.
"Anak itu kenapa tidak bersemangat sama sekali, padahal dia baru saja sampai di negara kelahirannya." Hendri menggelengkan kepala, menatap punggung putranya yang semakin lama semakin menghilang memasuki area mansion.
"Kak, apa baik-baik saja jika membiarkan dia terus seperti itu?" Mike jadi prihatin saat melihat keponakannya yang seperti sudah kehilangan semangat hidupnya.
"Sudah, biarkan saja dia. Sekarang dia hanya kehilangan vitaminnya saja, nanti juga kalau obatnya sudah muncul dia pasti akan ceria lagi." Sanggah Mili. "Tapi aku harap dia tidak berbuat onar di sini. Karena kalau itu terjadi, pasti aku jadi kualahan karena pawangnya tertinggal." gumam Mili sambil berlalu membawa koper bawaannya masuk ke dalam mansion.
"Hah, pawang?" Mike mengernyit bingung dengan perkataan kakak iparnya. "Memang Erick punya pawang Kak?" Tanya Mike dengan polosnya karena masih penasaran.
"Tentu saja. Kau tahu, bahkan pawangnya sangat cantik." Ucap Hendri terkekeh, dia jadi teringat saat Erick begitu posesifnya terhadap Naira dan tidak mengijinkan siapapun untuk mendekatinya bahkan dirinya sendiri.
"Benarkah? Aku jadi penasaran dengannya." Mike ikut terkekeh,dia baru menyadari ternyata yang dimaksud dengan pawangnya adalah kekasih Erick sendiri.
***
Saat matahari sudah mulai meninggi untuk memancarkan sinarnya, terlihat seorang insan tengah tergeletak di atas ranjang belum menyadarkan diri dari alam mimpinya. Erick yang merasa terlalu lelah karena perjalanan panjangnya, tertidur sesaat setelah dia memasuki kamarnya. "Euungg." Lenguhnya pelan, dia mulai membuka kedua kelopak matanya. Sesaat setelah kesadarannya mulai terkumpul, dia mendudukkan tubuhnya dan kemudian beranjak dari tempat tidurnya menuju mamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah dua puluh menit berlalu, ia keluar hanya dengan menggunakan sehelai handuk yang sudah terlilit sempurna di pinggangnya. Saat melihat sebuah laptop di atas nakasnya, ia jadi teringat akan pujaan hatinya Naira, lalu ia menyalakan laptop itu dan berinisiatif untuk melakukan panggilan video dengan Naira, gadis yang sudah resmi menjadi kekasihnya sejak satu tahun yang lalu.
"Hei." Suara melengking Naira langsung memenuhi ruang kamar Erick, sesaat setelah panggilannya sudah terhubung.
"Hai sayang, apa kau merindukanku?" Erick yang sedari tadi terlihat tengah mendung, lesu dan tak bersemangat, mendadak berubah jadi cerah seketika. Bak pohon yang sudah lama tak tersentuh air, mendadak segar saat Air menyapunya.
"Astaga, apa yang kau lakukan?" Pekik Naira yang reflek menutup kedua matanya dengan kedua tangannya, saat ia baru saja menatap layar ponselnya.
"Apa? Aku tidak melakukan apapun." Sanggah Erick mengerutkan kedua keningnya karena bingung.
"I-ituu!" Tunjuk Naira dengan salah satu tangan masih menutupi matanya.
Perlahan Erick mengikuti arah pandang yang ditunjuk oleh Naira. "Astaga!" Pekiknya saat dia baru menyadari, kalau dia belum mengenakan baju dan masih berbalut dengan sehelai handuk. "Maaf sayang, aku lupa memakai bajuku." Ucapnya dengan menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
"Kau lupa, apa sengaja pamer tubuh di hadalanku!" Pekik Naira kesal karena Erick tidak langsung berusaha untuk menutupinya saat dia sadar.
Melihat kekesalan di wajah kekasihnya, entah kenapa di otaknya muncul ide untuk mengusili kekasihnya itu. "Kau kenapa sayang? Ini milikmu, jadi untuk apa kau menutupi matamu seperti itu?" Seru Erick menggoda kekasihnya, dia bahkan sengaja mendekatkan tubuh bidangnya ke arah kamera.
"Tutup mulutmu! Cepat pakai pakaianmu atau aku matikan panggilannya!" Hardik Naira, dia tambah kesal saat kekasihnya ini malah semakin menggodanya.
"Hahaha, baik-baiklah sayang. Kau tidak perlu membuat imut wajahmu." Erick tergelak saat melihat Naira yang memalingkan wajahnya, bahkan dia sempat melihat Naira mengerucutkan bibirnya karena sangat kesal dengan dirinya dan yang pasti hal itu selalu membuat Erick merasa gemas dengan kekasihnya ini.
"Bagaimana, apa aku sudah terlihat tampan sekarang?" Tanya Erick, beberapa saat setelah dia mengenakan pakaiannya. Pakaian santai dengan kaos putih dan celana jins pendek yang sudah melekat di tubuhnya.
"Sangat sempurna." Ucap Naira memberikan kiss jauhnya lewat virtual, dan hal itu membuat Erick lebih mengembangkan senyumnya lagi dengan sangat merekah bahkan kedua pipinya pun merona karena pujian Naira. "Hmm, Er kau dengan siapa?" Tanya Naira.
"Siapa?" Erick mengernyitkan dahinya bingung, pasalnya dia merasa sedari tadi dia hanya seorang diri di dalam kamarnya. Apa iya sekarang kekasihnya ini juga memiliki kelebihan melihat mahluk halus yang tak kasat mata? Batinnya.
"Itu." tunjuk Naira ke arah punggung Erick.
Perlahan Erick mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Naira. "Memang siapp. Astaga! Kenapa Paman mengagetkanku? Apa yang Paman lakukan di sini?" Tiba-tiba saja Pamannya Mike menunjukan wajahnya tepat di depan wajah Erick.
"Tidak ada, Paman hanya ingin lihat apa keponakan Paman sudah menemukan obatnya atau belum." Jawab Mike santai, dengan tangan mengacak-acak pucuk kepala Erick.
"Apa maksud Paman? Siapa yang butuh obat? Aku tidak sakit." Erick mengibas pelan tangan Pamannya yang mengacak-acak pucuk kepalanya layaknya anak kecil.
Mike tidak menjawab, dia bahkan hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. "Hi, apa kamu kekasih Erick? Perkenalkan, saya Pamannya Erick, panggil saja Paman Mike." Mike membungkukan badannya menatap layar laptop yang berada di hadapan Erick untuk menyapa Naira.
"Hi Paman, namaku Naira." Naira melambaikan tangan membalas sapaan Mike dengan tersenyum ramah.
Erick yang melihat kekasihnya tersenyum pada pria lain, dengan kasar merebut laptopnya yang berada di hadapan Mike. "Berhenti tersenyum kepada pria lain, atau kau akan aku hukum saat bertemu nanti." Sarkas Erick memberikan tatapan tajamnya kepada Naira.
Dam hal itu malah sukses membuat Mike tergelak, saat mendengar penuturan Erick pada kekasihnya. "Hahahaha, Paman baru tahu kalau kamu lebih posesif dari kakak." Mike melangkahkan kakinya keluar kamar, "Lebih baik aku pergi dari sini sebelum terjadi perang." gumamnya.
"Hei kau ini kenapa? Pria lain apa? Dia itu Pamanmu!" Sanggah Naira yang tak terima, karena jika Erick sudah mengatakan ingin menghukumnya pasti hal itu akan terjadi dan Naira sangat tahu hukuman seperti apa yang Erick maksud. "Untung saja dia tidak di sini." Gumam Naira.
Di luar dugaan Naira, ternyata pendengaran Erick malah lebih tajam. "Aku mendengarmu sayang!" Erick kembali memberikan tatapan elangnya pada Naira. Naira tak menjawab, ia hanya tersenyum dengan manis memperlihatkan gigi putihnya.
Layaknya sepasang kekasih pada umummnya, mereka berbincang saling bertukar cerita tentang apa saja yang mereka kerjakan sejak tadi pagi. Meski lebih banyak Erick yang bertanya tentang kegiatan apa saja yang Naira kerjakan sejak tadi pagi. Sesekali Erick tergelak dengan celotehan dan tingkah Naira yang selalu membuatnya gemas.
Senyum Erick kini merekah setelah bisa melihat wajah kekasihnya, meski dia tidak bisa meluapkan rasa rindunya secara langsung. Namun, setidaknya dia masih bisa melihat wajah kekasihnya. Hubungun jarak jauh yang menyiksa batinnya, pikir Erick. Tapi disaat-saat yang seperti ini, hanya butuh kepercayaan penuh kepada pasangan masing-masing dan komunikasi yang lancar agar hubungan tetap bisa berjalan dengan semestinya.