webnovel

VOLDER

Volume I: Eleanor Heather menyukai hidupnya yang biasa-biasa saja. Ia menikmati pekerjaannya sebagai akuntan sambil menyelesaikan cicilan pinjaman uang kuliah dan hidup berbagi apartemen bersama sahabatnya, Lana. Hingga suatu malam, pertemuannya dengan seorang pria aneh yang tiba-tiba menyerang dan menggigit lehernya membuatnya trauma untuk keluar sendirian lagi. Tapi itu hanya titik awal perubahan hidupnya. Saat Ia bertemu Nicholas Shaw, pengacara sekaligus pemilik Law Firm yang kebetulan sedang diaudit olehnya, hidupnya berubah drastis. Banyak hal gelap dan mengerikan tentang Nicholas yang Ia sembunyikan dari dunia. Walaupun begitu Eleanor tidak bisa berhenti memikirkannya, dan Nicholas Shaw tidak ingin melepaskannya begitu saja. Volume II: Untuk yang kedua kalinya dalam hidupnya... wanita itu berhasil kabur darinya. Gregory Shaw tidak pernah berpikir Lana akan meninggalkannya lagi. Dan kali ini Ia akan memburu wanita itu, bahkan hingga ke ujung dunia sekalipun. Bahkan jika hidup atau mati taruhannya.

ceciliaccm · Fantasy
Not enough ratings
415 Chs

Chapter 11

Aku menatap kedua mata Nicholas Shaw yang kini sudah berubah dari biru tua menjadi hitam. Sama seperti warna mata Gregory saat kami bertemu pertama kali di gang itu, warna hitam pekat yang janggal. Sepasang taring muncul saat Ia membuka mulutnya, pandanganku terpaku pada bibirnya yang terbuka dan tertutup saat Ia berbicara.

Ini tidak mungkin terjadi.

Tiba-tiba Ia melangkah mendekatiku, membuat kakiku melangkah mundur dengan otomatis hingga punggungku kembali menempel pada dinding di belakangku. Hanya ada kami berdua di tempat ini, aku tidak menyadari kemana yang lainnya pergi. Kuangkat salah satu tanganku untuk mencegahnya semakin mendekat, lalu kusadari tanganku bergetar hebat... seluruh tubuhku bergetar seperti saat aku sedang menggigil kedinginan.

"Ja—jangan mendekat..."

"Eleanor..." Ia menghentikan langkahnya. Perlahan aku melihat perubahan dari dirinya. Kedua mata hitamnya sudah hampir kembali ke warna awalnya, biru tua, dan kedua taringnya sudah benar-benar menghilang.

"K—kumohon, lepaskan aku." Kataku dengan suara bergetar.

Ia berhenti di tempatnya, tiga langkah dariku, kedua tangannya berada di sisi tubuhnya. "Aku tidak bisa. Maafkan aku."

"Apa yang kau inginkan dariku?!"

Apa Ia akan membunuhku karena aku sudah mengetahui rahasia mereka?

Ia tidak menjawabku. Ia hanya berdiri di tempatnya dan memandangku dengan satu-satunya ekspresi yang ada di wajahnya saat ini, ekspresi terluka. Ia tidak seperti Nicholas Shaw yang kukenal sebelumnya. Tidak ada ekspresi dingin dan misterius di wajahnya lagi, tidak ada kesan arogan dan mengintimidasi di dalam matanya lagi... hanya ada ekspresi terluka di dalamnya. Seakan-akan Ia membuka topeng yang dikenakannya selama ini.

"Aku tidak akan pernah melukaimu, Eleanor." Ia mengunci kedua mataku dengan tatapannya.

"Lalu apa yang kau inginkan d—dariku?"

Sesaat Ia menatapku dengan putus asa, lalu salah satu tangannya bergerak menyisir rambut coklat gelapnya dengan frustasi. "Semuanya."

Aku hanya bisa menatapnya. Selama beberapa detik keheningan memenuhi dapur ini, hingga akhirnya Ia berbicara lagi. "Aku menginginkanmu."

"Apa?"

Ia menatapku selama beberapa saat, "Apa yang harus kulakukan agar kau tidak merasa takut padaku?" kedua matanya menatap tanganku yang masih sedikit bergetar. "Katakan padaku."

"A—aku ingin pulang." Dan berharap besok pagi aku akan menganggap semua ini hanya mimpi. "Aku tidak akan memberitahu siapa pun, asal kau tidak... kau tidak—"

"Melukaimu?" potongnya dengan marah, tapi tidak ada ekspresi marah di wajahnya. Kedua matanya terpejam selama beberapa detik lalu Ia mengatupkan rahangnya dengan kaku sebelum melanjutkan, "Aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Tapi aku tidak bisa melepaskanmu."

"Kumohon."

Ia hanya mengangguk dengan kaku sebelum berbalik berjalan menuju pintu, "Eric akan mengantarmu pulang, Miss Heather." Suaranya terdengar dingin, Ia tidak membalikkan badannya untuk menatapku saat berbicara. Lalu Ia pergi meninggalkanku sendirian.

***

"Ella."

Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku di dalam kegelapan.

"Ella..."

Kubuka mataku sedikit, cahaya membanjiri kamarku membuatku mengerjapkan mataku.

"Ella, kau akan terlambat. Ini sudah hampir jam 8."

Kepalaku terasa berdenyut hebat saat aku membuka mataku lagi, "Lana?" suaraku terdengar sangat serak.

"Kau harus bangun sekarang jika tidak ingin terlambat." Ia sudah memakai pakaian kerjanya dan sedang berdiri di ujung tempat tidurku, kedua tangannya dilipat di dadanya.

Kukerjapkan kedua mataku lagi beberapa kali untuk menghilangkan rasa kantukku. Saat akhirnya nyawaku sudah terkumpul, ingatan peristiwa semalam mengalir deras di dalam kepalaku membuat perutku seperti diaduk-aduk. Entah bagaimana caranya semalam aku berhasil menghindari pertanyaan Lana dan memaksa diriku untuk tidur setelah sampai di apartemen.

"Ell? Kau tidak apa-apa? Wajahmu terlihat pucat." Lana mengerutkan keningnya dengan khawatir.

Aku berusaha tersenyum padanya, "Aku tidak apa-apa... hanya sedikit pusing." Jawabku sambil turun dari tempat tidurku. Kupijat pelipisku yang masih berdenyut hebat dengan salah satu tanganku.

"Mungkin seharusnya kau istirahat hari ini, Ella. Kau terlihat sakit." Suara Lana kali ini terdengar benar-benar khawatir.

"Aku harus masuk hari ini." Untuk mengalihkan pikiranku dari peristiwa semalam. Aku berjalan ke kamar mandiku, meninggalkan Lana di kamarku. Lima belas menit kemudian aku sudah berada di mobil Lana, Ia menawarkan untuk mengantarku pagi ini setelah berusaha meyakinkanku sekali lagi untuk tidak masuk kerja.

"Ella—"

"Aku hanya sedikit tidak enak badan, Lana." Potongku sebelum Ia bertanya tentang acara semalam. Lana hanya melirikku sebentar sebelum mengangguk, Ia tidak berbicara lagi sepanjang sisa perjalanan.

***

Vârcolac. Vendalla. Vorvolakas. Vrykolatios. Vampyr. Vampire.

Vampire.

Kata itu terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Aku bukan termasuk orang yang percaya pada legenda atau hal-hal seperti ini, tapi setelah semalam... aku tidak tahu lagi. Kedua mataku masih memandang layar komputer kantorku sejak satu jam terakhir, semua hal yang ada di internet mulai dari mitos hingga legenda kuno tentang vampire sangat berbeda dari apa yang kulihat semalam.

Sejauh ini yang kubaca tentang Vampire adalah mereka tidak boleh terekspos sinar matahari, air suci, dan perak. Mereka tidak bisa mencerna apapun selain darah, dan vampire tidak memiliki detak jantung karena mereka sudah mati.

Tapi aku bisa merasakan detak jantungnya saat Nicholas menciumku, dan Ia terlihat sangat manusia. Kulitnya tidak berubah seperti glitter saat terkena sinar matahari. Okay, yang satu itu aku membacanya di Twilight, bukan di internet.

Kuketik nama Shaw bersaudara di google, lalu satu detik kemudian sederet informasi tentang mereka muncul. Sebagian besar hanya berisi tentang saham dan kasus-kasus yang mereka tangani, hanya ada sedikit informasi pribadi yang muncul. Sejauh ini yang kutemukan hanya almamater mereka di Harvard. Tidak ada informasi tentang kehidupan sebelum itu, nama orang tua mereka, tempat kelahiran, bahkan tanggal lahir pun tidak ada.

Hanya ada beberapa artikel yang menyebutkan bahwa Nicholas Shaw berumur 32 tahun dan Gregory Shaw 30 tahun. Tapi wajah keduanya terlihat empat tahun lebih muda dari umur yang disebutkan. Banyak artikel gosip yang berisi tentang Gregory Shaw dan teman-teman wanitanya yang berganti hampir setiap minggu, deretan fotonya yang tersenyum lebar bersama wanita-wanita itu membuatku sedikit mual. 

Apa Ia menggigit mereka juga? 

Aku tidak bisa menemukan satu pun foto Nicholas dengan teman wanitanya. Dan dari seluruh fotonya yang ada di internet tidak ada satu pun yang tersenyum. Wajah dingin dan mengintimidasinya mendominasi foto-foto itu.

Aku menatap fotonya di artikel paling terbaru tentang kasus terakhirnya, Ia memakai setelan jas yang sama saat kami bertemu di gedung Shaw&Partner malam itu di Manhattan. Dalam artikel itu ditulis Ia sedang menghadiri sebuah acara amal. Rambut coklat gelapnya yang disisir rapi ke belakang membuat aura mengintimidasinya semakin memancar, rahangnya yang sedikit arogan dan ekspresi dinginnya terlihat jelas di wajahnya yang memandang lurus ke kamera.

Tapi malam itu, saat kami bertemu di depan lift gedung Shaw&Partner, Ia memandangku dengan pandangan yang berbeda dari foto ini.

"Ells?"

Tanganku bergerak otomatis untuk menyembunyikan web yang sedang kubuka di komputerku. Aku mendongak menatap Oliver yang berdiri di depan mejaku, sedang tersenyum padaku.

"Kau sudah siap?"

"Apa?" kukerutkan keningku sedikit bingung.

"Makan siang. Kau berhutang makan siang padaku, ingat? Ini sudah jam makan siang." balasnya masih dengan tersenyum lebar. Semakin lama Oliver semakin terlihat seperti Ken, boneka Barbie Ken, dengan senyumnya yang membeku di wajah plastiknya.

"Oh..." Sial. Seingatku aku tidak berhutang apapun padanya, Ia yang memaksaku. Sesaat aku memikirkan cara untuk menghindarinya, tapi sayangnya aku tidak ingin mencari musuh di tempat kerja. Lagipula Oliver memiliki posisi yang lebih tinggi dariku jadi Ia bisa membullyku dengan mudah jika menginginkannya.

"Okay, tunggu sebentar." Gumamku sambil mematikan komputerku lalu mengambil dompetku. Kuhela nafasku diam-diam saat memunggunginya. Lana mengirim beberapa sms ke handphoneku untuk menanyakan keadaanku, aku membalasnya dengan cepat sambil memberitahunya tentang makan siangku dengan Oliver.

"Kau sudah siap?" tanyanya lagi.

"Ya." Jawabku pendek sambil berjalan di sebelahnya menuju lift. Aku tidak bertanya padanya kemana kami akan makan siang karena aku tidak terlalu peduli. Kami sering makan siang bersama seperti ini saat kami masih bersama dulu. 

Dulu. Tujuh bulan yang lalu terasa seperti tujuh tahun, sekarang aku bersyukur sudah mengakhiri hubunganku dengan Oliver. Lana dan Christine benar, aku sendiri juga tidak tahu bagaimana aku bisa menyukai pria seperti Oliver. Seleraku benar-benar buruk.

"Ells?" Oliver menoleh padaku saat kami berjalan satu blok dari gedung kantor.

"Huh?"

"Aku... aku ingin minta maaf padamu." Senyuman di wajahnya sedikit memudar, Ia mengamati ekspresiku selanjutnya.

"Aku sudah melupakannya, Oliver." Dan aku sangat bersyukur hubungan kita sudah berakhir, tambahku dalam hati.

"Kau sudah melupakannya?" senyumannya lebih lebar dari sebelumnya. Aku hanya mengangguk sambil memaksa diriku untuk membalas senyumannya. "Bagus, kupikir aku harus sampai memohon padamu sebelumnya. Aku tahu kau masih menyukaiku."

Kuhentikan langkahku dengan tiba-tiba, "Apa?" senyum terpaksaku menghilang dari wajahku.

Oliver berhenti satu langkah di depanku lalu berbalik, Ia menatapku dengan pandangannya yang berseri-seri lalu menarik salah satu tanganku ke dalam genggamannya, "Aku ingin kita kembali lagi seperti dulu."

Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut dan marahku dari wajahku. "Oliver, sepertinya ada sedikit salah paham di antara kita." Balasku dengan suara yang kuusahakan senetral mungkin.

Ia mengangguk beberapa kali sambil tersenyum lebar, "Aku tahu, kau hanya salah paham, Ells. Bianca dan aku sudah berakhir, Ia adalah kesalahan terbesarku selama ini. Aku ingin kau kembali padaku."

Bianca adalah nama selingkuhannya.

Kutarik nafasku dalam-dalam sebelum menjawabnya, "Saat aku berkata aku sudah melupakannya, maksudku aku sudah melupakanmu juga, Oliver. Tidak ada lagi yang tersisa diantar kita."

Senyum di wajahnya memudar dengan cepat, "Apa?"

"Sebaiknya kita berteman saja, okay?" aku berusaha menarik tangan kananku yang sedang digenggam olehnya, tapi Oliver malah menggenggamku semakin erat.

"Apa kau sudah menemukan penggantiku? Secepat ini, Ells?" suaranya terdengar sedikit tersinggung, dan seluruh kesabaranku habis saat ini juga.

"Dengar, Oliver, kau yang berselingkuh dan kita mengakhirinya beberapa bulan yang lalu. Semuanya sudah berakhir. Jika aku menemukan seseorang, itu bukan urusanmu." 

Si sialan ini bahkan baru meminta maaf sekarang!

Wajah Oliver memerah karena marah saat mendengarku, "Kau tahu, Ells, kau sudah berubah." Tangannya yang sebelumnya menggenggam tanganku kini mencengkeram pergelangan tanganku.

Aku berusaha menarik tanganku lagi, tapi malah membuatnya semakin memperat cengkeramannya.

"Oliver, lepaskan aku. Kau menyakitiku." Desisku dengan marah. Beberapa orang yang sedang berjalan di trotoar yang sama dengan kami menoleh ke arah kami saat lewat. Tapi Oliver tidak melepaskanku.

"Apa yang membuatmu berubah, Ells? Aku yakin tidak ada pria yang lebih baik dariku untukmu." Ia memandangku dengan marah, salah satu tangannya yang bebas tiba-tiba menangkup wajahku.

Ia sudah benar-benar gila.

Mungkin kami terlihat seperti pasangan yang lagi kasmaran bagi orang yang melihat sekilas. Dengan perasaan ngeri aku melihatnya menundukkan wajahnya mendekatiku lalu memejamkan matanya.

"Oliver—" kalimatku terpotong saat seseorang tiba-tiba menarik Oliver menjauh dariku lalu memukul wajahnya hingga Oliver tersungkur. Oliver memegang wajahnya dengan salah satu tangannya dengan wajah terkejut sebelum mendongak ke arah penyerangnya dengan ekspresi kemarahan yang brutal.

Dengan mulut menganga pandanganku beralih pada punggung lebar pria di depanku.

"Jangan. Menyentuhnya."