12 Chapter 12

Nicholas Shaw berdiri memunggungiku dengan tubuhnya yang tegang, kedua tangannya masih terkepal erat di samping tubuhnya.

"Jangan. Pernah. Menyentuhnya. Lagi." ulangnya ke arah Oliver yang masih tersungkur di trotoar.

Aku tidak bisa melihat ekspresi di wajahnya saat ini karena Ia memunggungiku, tapi suaranya saja cukup untuk mewakili ekspresinya saat ini. Tiba-tiba Ia berbalik padaku, aku berpikir akan melihat kedua mata hitam dan taringnya seperti semalam, tapi tidak. Ia tidak berubah seperti semalam, hanya saja kedua mata biru tuanya terlihat semakin gelap.

Pandangannya terfokus pada pergelangan tangan kananku yang sedikit memar. Ia memejamkan kedua matanya sambil mengerutkan keningnya lalu menarik nafasnya dalam-dalam sebelum membukanya lagi.

Kemudian aku baru sadar, Ia sedang berusaha mengendalikan amarahnya. Jas hitamnya sedikit berantakan seakan-akan Ia baru saja berlari, begitu juga rambutnya coklatnya.

"Apa—apa yang kau lakukan disini?" tanyaku dengan suaraku yang terdengar lemah. Aku masih terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Orang-orang memelankan langkah mereka untuk menonton sambil melewati kami.

"Beri aku waktu 10 detik." Gumamnya dengan suaranya yang masih terdengar marah lalu Ia menarik nafasnya dalam-dalam lagi sementara kedua mata biru tuanya memandang wajahku lekat-lekat.

Jantungku berdebar sangat keras di dalam rongga dadaku. Bukan karena aku takut, tapi karena Ia ada di sini dan sedang memandangku saat ini. Karena Ia terlihat sangat berantakan dan sangat tampan walaupun ekspresi marah masih terlihat jelas di wajahnya.

Aku pasti sudah gila.

"Jadi ini pria itu, Ells?" gumam Oliver sambil berusaha berdiri, Ia membenarkan jasnya sekilas, lalu menatapku dengan marah. Darah mengalir dari hidung dan sudut bibirnya.

"Jadi ini pria yang membuatmu meninggalkanku, huh? Aku tidak mengira kau semudah ini." lanjutnya.

Aku menoleh ke arah Oliver dengan pandangan tidak percaya, apa Ia membentur kepalanya saat jatuh?

Nicholas bergerak untuk menghampirinya lagi, tapi aku menarik lengannya untuk menahannya. Aku melangkah mendekati Oliver dengan cepat, sepersekian detik kemudian tangan kananku yang terkepal mendarat hidungnya. Ia mengumpat dengan keras sambil menangkup hidungnya dengan kedua tangannya. Aku belum pernah memukul siapapun dalam hidupku sebelumnya, jadi aku tidak tahu bahwa memukul seseorang juga menyakitkan. Bagi tanganku tentu saja.

Aku masih menatap Oliver yang membungkuk sambil memegang hidungnya saat tiba-tiba Eric muncul di sebelahku.

"Eric, tolong antar Mr. Wright kembali ke kantornya, atau ke rumah sakit. Kemana pun yang Ia inginkan." Gumam Mr. Shaw sambil menyentuh sikuku untuk mengalihkan perhatianku dari Oliver.

"Kita harus bicara." katanya padaku.

Aku menoleh ke arahnya sambil menggeleng, "Tidak ada yang harus kita bicarakan Mr. Shaw. Aku harus kembali ke kantor." Balasku sambil berjalan pergi. Tapi baru selangkah kakiku melangkah tangannya bergerak untuk menahan lenganku, membuatku kembali menoleh ke arahnya.

"Oh, ada banyak yang harus kita bicarakan, Miss Heather." bisiknya sambil menatapku dengan kedua mata birunya yang intens, "Aku yakin kau memiliki banyak pertanyaan untukku."

"Mr. Shaw, aku tidak akan memberitahu siapapun tentang—tentang kejadian semalam. Aku harap kau mengerti."

Ia menarik kedua sudut mulutnya ke bawah, "Tidak, aku tidak mengerti."

"Kau tidak perlu bertemu denganku untuk memastikan aku tidak akan memberitahu siapapun. Kita tidak perlu membicarakan hal itu lagi." Tangannya yang sebelumnya memegang sikuku turun hingga ke pergelangan tanganku, lalu melingkarinya dengan hati-hati karena memarku.

Lalu Ia mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik padaku, "Tentu saja kita perlu membicarakan hal itu lagi. Kau tahu apa yang kuinginkan, Eleanor."

Kutelan ludahku saat mendengar suaranya yang berbisik di telingaku. Suaranya penuh dengan kepastian, seakan-akan Ia tahu Ia pasti akan mendapatkan apa yang diinginkannya.

Bau aftershavenya memenuhi indra penciumanku, membuatku sulit untuk berpikir selama beberapa detik. Tentu saja aku masih mengingat dengan jelas apa yang diinginkannya.

Aku.

"A—aku harus kembali ke kantor. Selamat siang, Mr. Shaw." Gumamku sambil melepaskan diriku darinya, kali Ia tidak menahanku lagi.

Aku berjalan hingga cukup jauh sebelum akhirnya rasa penasaran membuatku menoleh kembali ke belakang. Dan Ia masih berdiri di tempatnya, masih menatapku dengan kedua mata biru briliannya.

Dengan canggung kulanjutkan langkahku kembali menuju kantor.

***

Saat aku kembali ke kantor Oliver tidak ada di mejanya, bahkan hingga jam pulang kantor Ia tidak muncul. Sesaat aku berpikir sesuatu yang buruk terjadi padanya, tapi aku mendengar Mr. Newman berbicara padanya di telepon sebelum aku pulang. Aku mendengar kata-kata 'kecelakaan' dan 'rumah sakit' di dalam pembicaraan telepon mereka. 

Well, setidaknya Ia masih hidup.

Lift yang kutumpangi turun dari lantai 5 kantorku ke lobby, perutku terasa sedikit perih sejak siang tadi karena aku belum makan apapun sejak semalam.

Lana sudah pulang saat aku kembali ke apartemen kami. Aku mendengarnya sedang berbicara dengan seseorang saat aku masuk ke apartemen kami.

"Lana?" panggilku sambil berjalan menuju dapur, bau saus pasta memenuhi apartemen kami. Lana tidak pernah memasak selama ini.

"Ella, aku hampir berpikir kau akan lembur lagi." Kepalanya muncul dari pintu dapur, Ia sedang tersenyum lebar. "Well, kita mempunyai tamu."

"Oh? Siapa?" tanyaku sambil berjalan menuju kamarku untuk meletakkan tasku, tapi langkahku terhenti ketika salah satu sudut mataku menangkap seseorang yang sedang berdiri di dapur apartemen kami.

"Mr. Shaw?" tanyaku dengan terkejut. Sesaat rasa terkejutku berganti dengan marah. "Apa yang dilakukannya disini?"

"Aku tidak sengaja bertemu dengannya di jalan. Jadi kami merencanakan makan malam, tapi aku tidak bisa menemukan restauran yang kuinginkan, lalu Ia menawarkan untuk memasak. Kau tahu Nicholas Shaw bisa memasak?" bisiknya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Ia melihat ekspresiku sekilas lalu senyuman di wajahnya menghilang, "Ella, ada apa?"

Aku memandang ke arah Mr. Shaw yang sedang memotong sesuatu, Ia mengenakan apron dan berdiri memunggungi kami, kedua lengan kemejanya dilipat hingga ke sikunya. Sepertinya Ia tidak menyadari kedatanganku, atau pura-pura tidak menyadarinya.

"Tidak ada apa-apa." Gumamku sambil melemparkan tasku di sofa terdekat lalu masuk ke dapur.

Akhirnya Ia menoleh ke arahku, lalu sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya, "Miss Heather, kuharap kau tidak keberatan aku menggunakan dapurmu?"

Kulipat kedua tanganku di dadaku. Lana berdiri di sebelahku sambil kembali tersenyum lebar.

"Tidak, tentu saja tidak." Gumamku sambil memandangnya dengan pandangan apa-yang-kau-lakukan-disini. Ia hanya membalasku dengan menaikkan salah satu alis matanya sedikit sebelum kembali ke pekerjaan memotongnya.

"Mr. Shaw, selama ini aku mengira kau adalah orang yang sangat sibuk..." kata Lana sambil menuangkan segelas Wine putih untukku, miliknya sudah tinggal setengah gelas.

"Sebenarnya ini hari terakhirku di San Francisco, besok aku harus kembali ke Manhattan. Liburanku sudah selesai." Ia menoleh sedikit ke arah Lana saat berbicara. Ia terlihat berbeda dengan Nicholas Shaw yang kutemui saat bekerja di Manhattan, di depan Lana Ia terlihat santai. Tidak ada wajah kaku dan dinginnya yang biasa diperlihatkannya di depan orang-orang.

Sebenarnya berapa kepribadian yang dimilikinya?

"Liburan? Di San Francisco? Tapi tidak ada yang menarik di sini, Mr. Shaw." Jawab Lana sambil tertawa kecil. Ia mengambil gelas Winenya lalu meminumnya sedikit, aku tidak tahu ini gelas Lana yang keberapa. Pipinya sudah sedikit memerah saat berbicara.

"Oh, banyak sekali hal yang menarik di San Francisco, Miss Morrel." Nada suaranya berubah menjadi lebih dalam, kurasakan wajahku sedikit memanas saat mendengarnya. Tapi Lana tidak menyadari atmosfir di antara kami yang berubah, Ia melanjutkan pertanyaannya, "Jadi kemana kalian pergi semalam? Ella belum menceritakannya padaku."

Aku hampir tersedak Wine yang sedang kuminum. Nicholas terdiam selama beberapa saat sebelum menjawabnya, "Aku mengajak Miss Heather ke rumah temanku untuk makan malam."

"Tapi Ella kembali terlalu cepat, Ia pulang sekitar pukul 9 kemarin malam." Lana tertawa lagi, "Aku sempat berpikir bahwa makan malam kalian kemarin berantakan."

Oh, Lana.

"Sebenarnya dugaanmu benar, Miss Morrel. Makan malam kemarin sangat berantakan, Miss Heather bahkan belum sempat makan sama sekali." Jawab Mr. Shaw dengan santai.

Aku membeku di tempatku dan Lana berhenti meminum Winenya. Ia menatap kami bergantian, "Apa?"

"Miss Heather pulang sebelum kami sempat makan malam." Mr. Shaw menghentikan kegiatannya lalu berbalik menghadap kami, Ia bersandar pada counter dapur apartemen kami. "Lana, aku ingin kau fokus padaku." Ia memandang langsung ke kedua mata Lana. "Aku ingin kau kembali ke kamarmu dan keluar saat aku sudah pergi. Dan kau akan melupakan semua pembicaraan kita malam ini."

Lana membalas tatapan Mr. Shaw dengan pandangan kosong. Ia meletakkan gelas Winenya lalu berjalan keluar dari dapur. Tidak ada satu pun kalimat protes darinya, Ia bahkan tidak memandangku sama sekali.

"A—apa yang kaulakukan?" aku mundur beberapa langkah dari tempatku berdiri sebelumnya.

"Lana?" panggilku dengan sedikit keras, berharap Ia akan kembali lagi.

Mr. Shaw menarik kedua sudut bibirnya ke bawah, "Aku tidak menyakitinya, Eleanor."

"Apa yang kaulakukan padanya?" ulangku sambil terus memperjauh jarak kami.

"Aku hanya membuatnya sedikit lupa." Gumamnya sambil menyandarkan kedua tangannya di counter. Ia tidak berusaha mendekatiku sedikitpun, mungkin Ia tahu aku akan lari jika Ia bergerak mendekat sedikit saja.

"Apa?"

"Saat Miss Morrel bangun nanti, Ia tidak akan mengingat malam ini."

"Untuk apa kau melakukannya?" suaraku mulai terdengar sedikit histeris.

Ia menarik kedua nafasnya dalam-dalam lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, "Karena kita harus bicara, Eleanor. Aku berusaha melakukannya dengan cara normal siang ini, tapi kau menolaknya. Dan aku benar-benar harus kembali ke Manhattan besok."

Kubuka mulutku untuk membalasnya tapi tidak ada kalimat yang keluar dariku.

Ia mengamati ekspresiku dengan kening yang sedikit berkerut, "Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan... Eleanor." Tiba-tiba Ia mengambil sebuah piring dan mengisinya dengan spaghetti yang baru matang, lalu menuangkan bumbu bolognese dan keju cheddar di atasnya.

"Tapi pertama, kau harus makan. Kau terlihat sedikit pucat sejak siang ini." Ia meletakkan piring spaghetti itu di meja makan lalu duduk di seberangnya.

Aku memandang ke arahnya dengan ragu-ragu. Nicholas hanya membalasku dengan tersenyum kecil, sejumput rambut coklat tuanya sedikit menutupi matanya, tapi Ia tidak terlihat terganggu sama sekali. Dua kancing kemeja biru mudanya dibiarkan terbuka, dan Ia sedang memandangku dengan pandangan berharap. Ekspresi di wajahnya hampir seperti anak kecil yang penuh harap. Saat ini Ia terlihat seperti manusia normal... Okay, manusia normal yang tampan.

Tapi tetap saja hal itu tidak mengurangi rasa curigaku.

"Eleanor..." suaranya yang dalam membuat perutku dipenuhi kupu-kupu saat Ia memanggil namaku. Kupu-kupu sialan itu. "Aku bersumpah tidak akan menyakitimu. Jika kau ingin mengusirku setelah kita selesai berbicara, aku akan segera pergi." Ia menarik salah satu sudut mulutnya ke atas.

"Okay." Gumamku sambil menarik sejumput rambutku dan menyelipkannya ke belakang telingaku. Aku mengambil tempat di depan piring spaghetti itu lalu memandangnya, baunya benar-benar enak hingga membuat perutku semakin perih.

"Kapan terakhir kali kau makan?" Tanyanya dengan sedikit mengerutkan keningnya. Aku mengambil garpu tanpa menjawab pertanyaannya lalu mulai makan. Bolognese nya yang lembut dengan tomat dan daging cincang membuatku sibuk selama beberapa menit kedepan, Ia benar-benar bisa memasak. Nicholas belum mengalihkan perhatiannya dariku sementara aku makan.

"Um, kau tidak makan?" tanyaku.

Ia menggeleng, "Miss Morrel dan aku sudah makan malam tadi."

"Tapi—"

"Aku menghapus ingatannya sedikit. Kami sudah makan malam bersama. Aku harus mencari alasan untuk bertemu denganmu, jadi aku membuatnya mengajakku ke apartemen kalian." Jawabnya sambil mengangkat bahunya, seakan-akan apa yang baru saja diucapkannya bukan masalah besar baginya.

Kuletakkan garpuku lalu meminum sisa Wine di gelasku hingga habis. "Jika aku memberikan apa yang kau inginkan, apa kau akan berhenti melakukan hal seperti ini?" tanyaku, jantungku berdebar kencang di dalam rongga dadaku.

Nicholas memandangku lalu menarik salah satu sudut mulutnya ke atas, "Tentu saja. Aku akan melakukan apa saja untuk itu, Eleanor." Kedua mata birunya menatapku dengan intensitas yang membuat bulu-bulu halus di punggungku berdiri.

Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang kering lalu mengangguk kecil tanpa mengalihkan pandanganku darinya. "Kau... ingin melakukannya sekarang?"

Senyuman di wajahnya menghilang dengan cepat berganti dengan ekspresi bingung, "Apa yang sedang kau bicarakan?"

"Kau ingin—Kau menginginkan darahku... bukan?" Aku berusaha menunjukkan wajah paling beraniku walaupun jantungku saat ini berdebar sangat keras di dadaku.

Ia hanya memandangku tanpa ekspresi selama beberapa detik.

"Tapi kau harus berjanji padaku, setelah ini kau tidak akan menggangguku lagi. Atau Lana." Tambahku dengan cepat.

Ia mengedipkan kedua matanya dengan perlahan, seakan-akan sedang berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Tangannya bergerak untuk membuka kancing teratas kemeja birunya, dan Ia tidak mengalihkan tatapannya sedikitpun dariku saat melakukannya. Lalu kedua tangannya mengusap rahangnya. Untuk sesaat, sepersekian detik, tanganku hampir bergerak sendiri untuk mengikuti apa yang sedang dilakukannya.

"Kau berpikir aku akan—" Ia menghentikan kalimatnya untuk tertawa, tapi bukan jenis tawa yang menyenangkan. "Ini semua karena Greg. Si brengsek itu." Gumamnya. Salah satu tangannya menyisir rambutnya dengan frustasi.

"Mr. Shaw—"

"Eleanor." potongnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutku terasa aneh saat Ia memanggil namaku.

"Aku tidak menginginkan darahmu. Aku menginginkanmu."

Aku membuka mulutku untuk membalasnya, tapi Ia mengangkat tangannya sedikit untuk mencegahku. "Aku ingin menjadi orang pertama yang kau temui saat kau membutuhkan sesuatu. Aku hanya ingin... kau." Ia mengucapkannya dengan perlahan sambil mengamati ekspresi di wajahku.

"Eleanor, aku menyukaimu."

Kami bertatapan sangat lama sebelum akhirnya aku memecah keheningan, "Apa?"

avataravatar
Next chapter