webnovel

Veintiséis (Dua Puluh Enam)

Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.

SkylaMaryam · Teen
Not enough ratings
13 Chs

Dua

Kaki jenjang dengan heels 15 senti berlari menjauh dari Catur. Dress merah selututnya semakin berwarna pekat karena air hujan yang ia hadang. Lampu jalan yang menerangi gelapnya malam membuat bayangannya nampak samar.

Tanpa menghiraukan derasnya hujan, Catur terus mengejar seorang gadis pemilik tubuh semampai itu. Namun, semakin ia kencang berlari, semakin menjauh pula gadis tersebut. Ia sangat ingat, gadis itu memang selalu bisa berlari lebih cepat darinya sejak SMA.

"Hei, tunggu." Catur mengatur napas di sela larinya yang tidak beraturan. "Please, tunggu. Aku mohon, maafin aku. Maaf."

Gadis itu menoleh sesaat. Napasnya sama terengahnya. Rambut ikalnya menjadi lurus karena terkena air hujan. Rahangnya kembali mengeras sekeras hatinya yang tidak ingin menggubris Catur sama sekali. Ia melanjutkan berlari. Ia tidak ingin lagi melihat Catur. Selamanya.

"Ayolah, kasih aku kesempatan. Allea, please." Catur membungkukkan tubuhnya. Kedua tangan mengampu pada lutut.

"Kesempatan kamu bilang? Aku udah kasih 26 kali kesempatan sama kamu. Aku benci kamu, Catur. Benci banget." Akhirnya Allea pun menghentikan gerakan kakinya meski hanya untuk mengutarakan kemarahan. Buliran halus dari pelupuk matanya bersatu dengan tetes air hujan yang semakin kerap. Kembali ia pun berlari tanpa menghiraukan arah.

Sorot cahaya putih terlihat oleh Catur dari arah depan. Kedua bola matanya membulat sempurna saat menyadari benda apa yang bergerak mengarah ke hadapan Allea.

"Allea, awas!"

Suara decitan yang terjadi karena gesekan ban mobil dan aspal terdengar jelas disusul teriakan Catur.

"Allea!" Catur berusaha menggerakkan lagi kakinya untuk menuju Allea. Namun, ia kesulitan mengangkat kaki kanan maupun kaki kirinya. Napasnya mulai sesak.

"Allea!" Kini ia merasa seluruh tubuhnya kaku.

"Woy!"

Samar-samar Catur mendengar tawa yang membahana.

"Allea!" Kembali Catur berteriak.

"Woy! Mimpi basah ya, lo! Hahaha!"

Catur mulai tersadar saat suara tawa sangat jelas di telinganya. Ia pun terkesiap ketika kedua matanya terbuka lebar. Peluh terasa di sekujur tubuhnya. Ia menatap langit-langit yang akhirnya ia sadari lampu yang terdapat di plafon gypsum itu jelas menunjukkan bahwa ia berada di kamarnya.

"Allea si bunga desa sekolah, ya?" Sindy dengan santainya berbaring di tempat tidur Catur. Sontak Catur menoleh dengan kerutan di keningnya. Buru-buru ia menggeser tubuhnya agar menciptakan jarak yang tidak terlalu dekat dengan adiknya.

"Ngapain di sini?" tanya Catur ketus. Lebih tepatnya, reaksi yang ditunjukkan oleh cowok itu hanyalah refleks defensif dari dirinya.

"Excuse me? Lo amnesia? Atau lo belom fokus gara-gara mimpi basah?" Kali ini cewek itu tidak menyindir dengan tawa seperti tadi. Sindy mencondongkan wajahnya lalu mengendus perlahan tubuh Catur dari tempatnya berbaring. "Kasur lo bau sper—"

"Keluar!"

Sindy menegakkan tubuhnya lalu turun dari tempat tidur. Air mukanya berubah seketika. "Asal lo tahu ya, sebelum nyokap lo nikah sama bokap gue, kamar ini milik gue!" Sindy mengepalkan tangannya. Senyum sinis nampak jelas menghiasi wajah cantiknya. "You stole everything from me!" Sindy keluar dengan bantingan pintu yang sangat keras.

Catur menghela napas dalam. Baru satu minggu sejak kepindahannya ke Bandung, semua hal berubah 180 derajat. Meski tiap hari ia bahagia melihat senyum yang terus tersungging di bibir ibunya, tetapi hal itu tidak mengurungkan gumaman dalam hati untuk berucap, I hate my life.

-OoO-

"Nak, sini." Suara lembut ibunya membuat paginya kembali damai. Catur pun berjalan mendekat ke arah wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi ruang makan.

Catur memperbaiki dasi pada seragam sekolah seraya ikut duduk di depan meja makan dengan 6 kursi di sekelilingnya. Ratni menyodorkan segelas susu cokelat dan piring berisi roti dengan isian telur dadar dan abon. Catur pun meraih gelas penuh dari ibunya lalu meneguk perlahan.

Beberapa saat kemudian, ayahnya duduk di sampingnya. Catur tersenyum kaku lalu menyapa, "Pagi, Yah."

Braham tidak menjawab ucapan Catur. Ia lantas merogoh saku celana lalu menyerahkan benda kecil dengan logo singa di permukaannya. "Pake ini untuk mobilitas kamu."

Catur terperangah dengan apa yang diberikan ayah tirinya. Ia kemudian menoleh ke arah ibunya yang ditanggapi dengan anggukan. Braham kembali mendorong kunci mobil tersebut. Dengan ragu, Catur meraihnya.

"Makasih, Ayah."

Braham menepuk pundak Catur. "Jangan sungkan. Kalau perlu apa-apa, bilang sama Ayah."

"Makasih ya, Mas." Catur melirik tangan ibunya yang menggenggam mesra tangan ayah tirinya.

"Aku berangkat dulu," ujar Braham disusul kecupan di kening Ratni.

Catur mengabaikan adegan lanjutan yang biasa ia lihat di film superhero keluaran Marvel favoritnya. Ia merapikan tali sepatunya lalu berjalan ke luar. Ibunya sudah terlebih dahulu mengantar ayahnya sampai depan pintu.

"Keren! Baru sebentar masuk ke keluarga ini, udah difasilitasi layaknya anak kesayangan." Sindy yang berada di belakang Catur, bertepuk tangan dengan senyum sinis.

"Kita berangkat bareng," tawar Catur.

"Gak perlu sok baik! Lagian, gue dijemput cowok gue!" Sindy melintasi tubuh Catur dan dengan sengaja menabrakan pundaknya ke lengan Catur. Cewek itu pun berjalan melewati Ratni tanpa bersalaman. Bahkan tanpa menoleh sedikitpun.

-OoO-

Untuk masuk ke kelas XI IPA 4, mau tidak mau, Catur harus melewati kelasnya Allea. Saat ia melintas pintu kelas XI IPA 1, matanya mencuri pandang ke arah deretan kaca di kelas tersebut. Walaupun, kalau boleh jujur, ia tidak ingin bila harus berpapasan dengan gadis yang hadir di mimpinya dan membuatnya bertanya-tanya: mengapa harus mimpi yang sangat mengerikan.

Catur melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sekelebat ingatan tentang mimpi semalam kembali mengusiknya. Huft, ia benci bermimpi. Apalagi, ia tahu mimpi yang ia alami terkadang tidak sekadar mimpi.

"Bray!"

Catur menoleh ke arah pundaknya yang ditepuk.

"Hari ini ada pelajaran Bu Rere. Dia pasti nyuruh kita bikin kelompok belajar." Pernyataan sok akrab Anjar ditanggapi dengan kerung di wajah Catur. "Lo sama gue ya, Bray." Anjar merangkul Catur.

"Boleh. Kuy," jawab Catur. Mereka berdua pun berjalan ke dalam kelas.

Ya, untuk saat ini, Catur memang butuh pengalihan pikiran.

-OoO-

Sudah sepekan Catur sekolah dan sudah selama itu juga ia tidak melihat batang hidung si cewek sinting, Allea. Mimpi yang pertama kali hadir dalam tidurnya pun kembali terulang di keesokan harinya bahkan sampai 3 kali.

Terlintas dalam benaknya untuk mencari Allea, tetapi, ah buat apa. Catur masih selalu mencuri pandang ke arah kelas Allea meskipun tidak pernah punya nyali untuk mencari cewek yang sukses membuatnya gila.

"Dinasti Catur." Catur menoleh ke arah pintu kelas XI IPA 1. "Nama lo Dinasti Catur, kan?"

Awalnya, Catur mengira bahwa yang memanggilnya dengan nama yang dibalik adalah Allea. Sejurus kemudian, ia sadar bahwa suara yang didengarnya jelas bukan milik cewek itu.

"Iya. Ada apa, ya?" Catur sedang malas meralat namanya. Biarkan saja.

"Ada surat dari Tuan Putri," jawab cewek dengan tulisan Jingga di papan namanya. Tidak lupa dengan pose membungkuk seolah sedang menghadap pangeran kerajaan. "Karena Dinasti Catur nggak punya Whatsapp. Gue juga heran sih, zaman sekarang masih ada yang kudet. Eh, oke, abaikan." Jingga mengibaskan tangan ke wajahnya. "Karena lo nggak punya WA, jadinya pake surat."

"Dari siapa?" Kedua ujung alis cowok itu bertemu.

"Putri Allea."

Ingin rasanya Catur terbahak. Namun, ekspresi yang ditunjukkan kepada Jingga adalah memutar bola matanya. "Orangnya mana?"

"Allea nggak masuk sejak Selasa." Jingga masih menyodorkan surat ke arah Catur yang tak kunjung diambil oleh cowok itu.

"Kenapa nggak masuk sekolah?"

"Lo tuh, ya. Kudet banget!" protes Jingga. "Eh, tunggu. Ini suratnya." Jingga sedikit berteriak saat Catur berjalan mengabaikannya.

Mendadak Catur malas menanggapi Jingga meski ia penasaran dengan isi surat dari Allea. Ia kembali berjalan ke arah kelasnya.

"Allea di rumah sakit."

Kalimat Jingga membuat Catur menghentikan langkahnya. Ia buru-buru menoleh ke arah Jingga dan dengan sigap meraih surat yang masih digenggam oleh cewek itu.

"Allea kenapa?" tanya Catur perlahan dan ragu.

"Kecelakaan. Ditabrak mobil di Senin malam."

Catur menelan ludah. Dadanya sesak. Ia pun mual. Sama seperti yang lalu lalu.

Ia benci mimpi.

Ia benci firasat.