webnovel

Upon The Small Hill

Mengisahkan mengenai seorang penulis terkenal ibu kota yang melarikan diri dari hingar bingar kota dengan pergi ke sebuah desa kecil. Pada desa tersebut ia bertemu dengan seorang gadis desa yang dapat menggerakkan hatinya. Namun, perang besar pecah pada benua Eurisia. Dua negara besar yaitu Kekaisaran Adlerburg dan Republik Ascarte bertempur memperjuangkan alasannya masing-masing. Sebuah negara kecil nan netral berusaha mempertahankan perdamaiannya di tengah peperangan, hingga invasi dari Kekaisaran Adlerburg membawa mereka dalam peperangan. Sang pemuda pun pergi ke peperangan demi mempertahankan negara mereka dan meninggalkan sang gadis yang menunggunya kembali.

SpringField · War
Not enough ratings
11 Chs

1.4

Setapak demi setapak, Eldrich melangkahkan kakinya pada jalan kecil di hutan. Semakin dalam dirinya menuju ke hutan, salju-salju yang masih belum mencair sepenuhnya menghambat Eldrich. Ia terseok-seok, kelelahan sebab lama tidak menggerakkan tubuhnya, sesekali bersandar pada pohon cemara perak. Dirinya terkagum-kagum sebab mendapati hutan selebat ini, yang masih sepenuhnya terjaga. Terkadang ia mendapati kelinci abu-abu yang tengah mencari makanan, burung-burung dengan bulu indahnya terbang dari dahan ke dahan, sampai rubah merah yang begitu langka. Eldrich seperti merasa tengah berada di dunia lain, berpetualang pada dunia baru yang tak dikenal.

Meskipun dirinya tidak memiliki tenaga cukup banyak, hanya dengan kegembiraannya, ia tak merasa lelah sama sekali layaknya anak kecil. Ia terus berjalan, dan berjalan, sampai jalan setapak yang ia ikuti menemui ujungnya. Tak ada lagi bekas jalan di depan, melainkan barisan pepohonan tinggi sebagai tembok pembatas antara dirinya dan alam liar. Ia mencoba melihat ke sekeliling, tak percaya petualangannya hanya berakhir sampai di sini.

Hingga pada salah semak belukar tak jauh darinya, terdapat garis putus di antara kedua semak. Dedaunan berserakan di sekitar semak tersebut, menandakan sesuatu telah melewatinya. Eldrich mencoba mengintip ke balik semak-semak, mendapati terdapat jalan kecil yang menanjak pada bukit penuh bebatuan.

"Haruskah aku mencoba mengikutinya... atau..." ia ragu untuk sejenak.

Takut jikalau jalan kecil ini merupakan jalan hewan, dari hewan buas seperti beruang. Tetapi seperti sebuah pepatah, 'Keingintahuan membunuh kucing.', rasa ingin tahu pria ini lebih tinggi dibandingkan seekor kucing. Maka ia memberanikan diri untuk menanjakinya, meraihkan tangan pada batu-batu yang ternyata berlumut. Ia tak sadar karena tertutup oleh salju, sehingga beberapa kali pegangannya terlepas membuatnya terjatuh. Walau berkali-kali terjerembab, ia tak menyerah, demi menemukan kemana jalan ini akan menuju.

Memegangi buku tulis dengan erat serta pensil pada mulutnya, setelah berusaha keras menaiki bukit berbatu ini, akhirnya Eldrich sampai di atas bukit. Sinar matahari membutakan matanya, karena tak ada pepohonan tinggi di bukit, sinar matahari sepenuhnya menerangi sekitar. Mengejutkannya lagi, berbeda dengan dataran bergelombang yang ada di hutan, pada atas bukit ini saja terdapat dataran lurus. Salju di tempat ini pun kebanyakan telah mencair, sehingga sejauh mata memandang rumput hijau bergoyang seiring angin bertiup. Ia merasa susah payahnya untuk menaiki bukit ini pun terbayar, sembari berjalan, Eldrich menemukan hal lainnya.

Sebuah pohon kastanye manis berdiri sendirian dengan megahnya, menghamparkan rantingnya yang lebar menutupi bukit. Pohon ini mungkin telah berada di sini selama puluhan atau mungkin ratusan tahun, terlihat dari betapa besar diameter batang pohonnya.

"Sungguh pohon yang luar biasa..." ucap Eldrich terkesima.

Ia penasaran mengenai pohon besar tersebut, berjalan mendekat untuk menyentuh kulit kayunya yang coklat. Ada banyak kerutan di setiap kulit kayu, pohon yang cukup tua. Ia telah bertahan dari banyak musim dingin serta hal lain, meski sendirian di atas sini. Eldrich bertanya-tanya, bagaimana jika seandainya pohon dapat menceritakan kisahnya seperti para manusia. Kisah macam apa yang akan ia ceritakan kepadanya, dari zaman ke zaman lain. Ia pun berpikir pula, meskipun pohon tak dapat berbicara.... kertas yang berasal dari pohon dapat menceritakan banyak hal juga. Bagaimana jika kisah yang ia tuliskan pada buku mampu bertahan selama puluhan atau ratusan tahun lamanya, akankah orang-orang akan mengenangnya dengan karyanya, walau ia telah lama tiada.

"Bukankah itu menarik..." ia tersenyum kecil saat membayangkannya.

Merasa cukup dengan membelai kayu dan imajinasinya, tatapannya beralih pada cakrawala. Di balik hijaunya hutan, pada bukit kecil nan jauh darinya, terdapat hamparan bunga poppy. Itu merupakan pemandangan sama yang ia lihat sewaktu pertama kali sampai di Canibya, tapi ia tidak menyangka ladang bunga tersebut begitu luasnya hingga terlihat dari atas sini. Bunga-bunga poppy itu bermekaran dalam warna merah cerah, berjejeran satu sama lain dari kaki menuju ke puncak bukit. Bermekarannya bunga poppy menandakan musim semi telah dimulai, hari-hari dingin di musim dingin telah berakhir, dan tahun yang baru dimulai dari sini.

Mulut Eldrich terperanga seakan tengah menyaksikan lautan poppy merah, hamparan bunga tersebut sangatlah menawan sehingga ia segera mengeluarkan buku dengan pensilnya. Menggunakan tangannya yang begitu lincah, ia gerakkan ujung pensil pada kertas putih, mencoba menggambarkan pemandangan yang tengah berada di depannya. Sebisa mungkin Eldrich berniat mengabadikan pemandangan seindah ini, sama seperti apa yang terlihat di matanya.

Dalam keseriusan Eldrich pada sketsanya, ia sama sekali tidak sadar bahwa dirinya tidaklah sendirian pada bukit ini. Seorang gadis yang tengah tidur tenang bersandar pada pohon, terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara goresan yang keras tidak jauh darinya.

Sebelumnya ia mengira suara tersebut berasal dari tupai yang tengah memakan buah kastanye, namun betapa terkejut dirinya saat menemukan seorang pria jangkung berdiri tidak jauh dari tempatnya tidur. Gadis itu bertanya-tanya, bagaimana bisa ia menemukan cara untuk sampai di atas bukit ini. Setelah selama ini tak ada yang tahu tempat rahasia miliknya, tempat dimana ia dapat menyaksikan pemandangan indah Canibya untuk dirinya sendiri. Gadis muda itu lantas dengan berhati-hati mencoba bersembunyi di balik batang pohon, sembari diam-diam menatapnya. Bahkan dengan suara rumput saat si gadis bergerak, pria itu nampak tak peduli.

"Ada apa dengan pria ini... sungguh aneh." Gumamnya.

Ya, ia benar-benar aneh sebab mengenai mantel seperti orang kota di saat dirinya pergi ke hutan belantara. Bukankah itu akan membuat pakaiannya kotor ? Lihatlah mantelnya sekarang, penuh oleh rumput dan kotoran yang menempel di sana, pasti membersihkan kotoran tersebut akan sangat menyusahkan dirinya.

"Tetapi yang paling aneh... apa yang tengah ia lakukan pada buku di tangannya ?"

Apakah ia seorang pelukis ? Atau semacamnya, kalau ia memang seorang pelukis bukankah ia membutuhkan buku yang lebih besar. Saat ia tengah mengamati, si gadis pun dapat mendeskripsikan si pria. Ia nampak masih muda, mungkin berusia tidak jauh darinya yang 18 tahun. Memiliki rambut pirang bergelombang pendek, yang ditatanya begitu rapi seakan dirinya seseorang dari keluarga berkasta tinggi. Kedua mata biru gelapnya tersebut tengah menatap ke arah hamparan poppy. Ketika ia tengah memandangi hamparan bunga merah tersebut, muncul sebuah senyuman dari sana. Rasanya seperti, ia tengah menikmati apa yang ia lakukan sekarang. Melihat betapa bahagia perasaan si pria, tanpa disadari si gadis pun merasakan bibirnya bergerak dengan sendirinya, mau tak mau ia pun merasa senang karenanya. Bagaimanapun, ini adalah tempat rahasia terbaik yang pernah ia temukan, tidak ada yang tidak merasa bahagia setelah melihat apa yang ada di baliknya. Dengan pemikiran tersebut, gadis itu merasa bangga dengan dirinya sendiri.

Perlahan namun pasti, Eldrich menggambar setiap bunga yang mekar dengan menawannya. Setiap guritan pada mahkota, bahkan putik pada tengah bunga yang lebih gelap daripada mahkota di sekitarnya. Sementara dirinya begitu asyiknya menggambar, semenjak tadi ia merasakan ada yang mengawasinya. Pada awalnya, Eldrich menganggap itu hanya perasaannya saja. Tetapi perasaan tersebut terasa semakin menajam dari sebelumnya, hal itu memberikannya sebuah tekanan seakan dirinya tengah diawasi oleh guru saat ujian semasa ia bersekolah dulu. Tidak tahan lagi, ia menghentikan gambarannya dan melongok ke arah dimana ia merasa tatapan itu berasal. Tiba-tiba, sesuatu bergerak cepat, bersembunyi di balik pohon.

"Aku tidaklah mengayal bukan ? Tadi, ada sesuatu bergerak ke belakang pohon saat aku melihat ke sana. Apa itu... tupai ?" tebaknya.

Setelah mengawasinya selama beberapa menit, tak ada lagi gerakan. Sehingga Eldrich yakin itu hanya khayalannya, lantas sibuk kembali dengan pekerjaannya. Sementara di sisi lain, gadis yang tengah bersembunyi di balik pohon gugup dengan keringat dingin mengucur dari dahinya. Ia berusaha menutup mulut sekuat tenaga, setelah Eldrich hampir menemukannya.

"Lebih baik aku segera lari sewaktu ada kesempatan... tapi..." ia mengintip kembali.

"... ia tak terlihat seperti orang jahat."

Jelas, gadis muda ini tertarik padanya, mengenai apa yang tengah Eldrich lakukan. Bagi kebanyakan gadis seumurannya, orang tua mereka akan menyuruh mereka untuk tidak pernah bertindak sembrono seperti mendekati orang yang mencurigakan. Kata-kata tersebut sepertinya tak bekerja untuknya, ia justru merangkak perlahan mendekati pria itu dari belakang. Lambat dan diam-diam seperti kucing yang mengintai mangsanya, dari balik punggung si pria yang lebar tersebut ia menjinjitkan kaki demi melihat buku yang tengah dipegangnya.

Goresan pensil demi pensil ia gerakkan kesana-kemari, menciptakan suatu gambaran yang tak asing bagi si gadis. Ia berdiri, menatap gambar tersebut saat sesuatu terasa melewatinya. Pada dataran luas tersebut ia tengah berdiri, dikelilingi oleh bunga-bunga merah terang yang bermekaran. Dirinya tersenyum bahagia, sementara embusan angin bertiup menerbangkan rambut panjang si gadis. Embusan angin tersebut membawa aroma lembut nan manis, selepas angin musim dingin yang begitu menusuk hati, kini kuncup bunga dan daun baru mulai lahir kembali. Pada saat itu. Pada gambar itu. Adegan itu terbayang dalam benaknya, sebuah kenangan, akan musim semi.

"Dan dengan demikian, bunga yang bermekaran tersebut membawakan kehidupan baru... kisah baru... serta perjalanan yang baru."

Dengan satu goresan terakhir itu, Eldrich menyelesaikan gambarnya, bersamaan dengan kalimat yang ia temukan untuk novel terbarunya. Menutup buku, ia merasakan hembusan udara yang begitu hangat menyentuh lehernya. Lantas dengan refleknya ia berbalik ke belakang, sampai sesuatu mengejutkan dirinya. Wajah seorang gadis berada sangat dekat dengan dirinya, sampai-sampai hidung mereka berdua dapat saling bersentuhan. Keduanya secara bersamaan tersentak ke belakang.

"Ap— Siapa dirimu—"

"Ma-Maafkan aku— Aku—"

Si gadis menutupi kepalanya dengan kedua tangan, mencegah Eldrich melakukan perbuatan jahat apapun yang hendak ia lakukan kepadanya. Namun, Eldrich sendiri tak melakukan apapun, justru ia terdiam membeku. Terdapat seorang gadis muda tengah berdiri di hadapannya. Rambut coklat lembut yang dikepangnya tergerai sampai ke pinggang. Sedangkan tubuhnya yang langsing terbalut kemeja katun putih dengan celemek kemerahan menutupi bagian depannya.

"Kumohon... kumohon jangan sakiti aku."

Saat ia mencoba untuk mundur, rok biru tua panjangnya bergoyang. Pada saat bersamaan Eldrich menyaksikan gadis muda itu, ia merasa bingung. Apakah karena kata-kata yang ia ucapkan barusan ? Ataukah karena ia terlalu mempesona ? Apapun itu, ia terlalu cantik dengan wajah ketakutannya yang polos—kecantikan si gadis mencuri setiap hal yang Eldrich miliki saat ini, bahkan nafasnya sendiri. Maka Eldrich menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk mengembalikan kesadarannya kembali. Gadis itu bertingkah laku seakan pria seperti Eldrich adalah orang jahat yang tengah berniat melakukan hal buruk padanya. Ia dapat melihat tangan mungil tersebut gemetaran... dan air mata mulai keluar dari pelupuk matanya. Merasa bersalah kepada si gadis, Eldrich kemudian berbicara setenang yang ia bisa.

"Tidak apa-apa nona, saya tak akan melakukan hal buruk kepada Anda. Ya, lagipula saya memang tak pernah punya niatan untuk melakukannya. Jadi tolonglah... jika Anda berkenan, janganlah takut."

Gadis yang tengah ketakutan itu perlahan membuka matanya, melihat pria di depannya tersebut mengarahkan kedua lengannya ke atas. Ia tersenyum dengan lembut, bagai mengatakan padanya bahwa ia benar-benar tidak bermaksud menyakitinya.

"Saya mohon maaf karena mengejutkan Anda, nona. Saya terlalu fokus dengan apa yang tengah saya lakukan, sehingga tidak sadar ada orang lainnya." Ucap Eldrich disertai anggukan kepalanya, sebuah tanda dari permintaan maaf.

"Tidak mengapa. Aku pun minta maaf karena mengejutkanmu... dan... menguntitmu diam-diam." Gadis itu mengalihkan pandangannya dari Eldrich.

Edrich akhirnya mengetahui pelakunya, memang benar ada seseorang yang mengawasinya. Rupanya dia.

"Jadi... itu nona ?"

"Ya... aku tengah tertidur tadi di dekat pohon. Sampai terbangun mendengar suara darimu."

"Eh— Ah— Saya tidak tahu suaranya sekeras itu. Terimalah pemintaan maaf saya untuk sekali lagi."

Di dalam hatinya, Eldrich merasa sangat malu. Ia begitu bodoh berpikir cuma ada dirinya seorang di puncak bukit, jadi ia bisa menikmati waktu sendiriannya. Terkadang ia melafalkan beberapa kata dari para penyair atau saat ia mencoba menemukan kalimat yang tepat, dirinya mempraktekan dialognya sendiri. Jika si wanita mendengar semuanya, Eldrich berpikir melompat dari bukit ini mungkin jauh lebih diterima dibandingkan menanggung rasa malu seumur hidupnya.

Tanpa sadar, mereka berdua terdiam. Gadis yang melihat si pria di depannya menunduk semakin ke bawah, merasa dirinya terlalu menekan dia sehingga suasana begitu canggung.

"Rasanya seperti apa yang kita lakukan dari tadi hanya saling meminta maaf kan, haha."

"Anda... benar juga."

Lantas ia tertawa kecil demi memecahkan kebekuan di antara mereka berdua, Eldrich yang merasa demikian pun mengikutinya. Ajaibnya, sebuah tawa kecil mampu membuat kecanggungan di antara mereka berdua sirna.

"Aku belum pernah melihat wajahmu sebelumnya, kamu pun tak terlihat berasal dari dekat sini." Ucap gadis itu tiba-tiba.

Eldrich kemudian menyadari, ia melihat pakaian yang ia kenakan berbeda dibandingkan dari apa yang digunakan si gadis. Mengenakan mantel di hutan terlihat aneh kan, tidak ada juga orang di desa yang mengenakan mantel kemanapun mereka pergi. Kebiasaan orang kota seperti itu justru membuatnya berbeda dibandingkan yang lain.

"Itu karena saya baru saja pindah ke Canibya, dulu saya tinggal di ibu kota."

"Kau ?! Ibu... kota ?! Tempat yang penuh dengan bangunan besar dan kastil putih itu ?!"

Gadis muda itu pun terkejut, ia pun akhirnya mengetahui tebakannya tadi memang benar... dia berasal dari tingkat yang berbeda. Karena bagaimana ia menggunakan 'saya' untuk menyebut dirinya sendiri dan 'nona' bagi si gadis. Orang biasa tak akan menggunakan hal tersebut dalam percakapan.

"Ya. Dan... apakah Anda juga berasal dari Canibya ?" Edlrich menanyakan hal tersebut, karena ia pun belum pernah melihat gadis ini semasa dirinya tinggal.

Gadis tersebut terdiam sesaat, hingga menjawab pertanyaan tersebut.

"Um. Aku tinggal di sini bersama kakekku sejak kecil."

"Begitukah..."

Eldrich benar-benar tidak mengingat wajahnya sama sekali. Padahal ia dulu juga tinggal di Canibya. Mungkin ia datang setelah dirinya pergi ke ibu kota.

"Aku benar-benar terkejut menjumpai seseorang dari ibu kota sepertimu rela datang jauh-jauh ke desa kami. Namun yang paling mengejutkan bagiku... adalah bagaimana kamu bisa menemukan tempat rahasia ini."

"Ah... tadinya saya tengah berjalan-jalan mengelilingi hutan mengikuti jalan setapak, sampai jalan tersebut berakhir. Tapi... saya menjumpai semak aneh tak jauh dari sana, seperti sesuatu habis lewat dari sana. Jadi... saya mengikutinya."

"Dan... lalu ? Jangan katakan biarpun kamu tahu terdapat tebing terjal penuh batu di sana... kamu tetap ngotot memanjatnya."

"So-Soal itu... saya memang orang yang cukup penasaran..." ucap Eldrich dengan mengelus-elus rambutnya sendiri, merasa malu karenanya.

"Walau ya... mantel saya sampai kotor dan tangan masih sakit karenanya... pemandangan di atas sini membayar lunas usaha tersebut." Lanjut ia kembali.

Dan senyuman kembali dijumpai oleh si gadis, ia sangat terpikat akan bagaimana pria sepertinya dapat bahagia dengan hal kecil seperti ini.

"Hm, memang benar pemandangannya indah kan. Apakah keindahannya mengalahkan ibu kota, sampai-sampai kamu mengabadikannya dengan sebuah gambaran ?"

Mata Eldrich terbelalak lebar saat ia mendengarnya. "Anda melihatnya ?!" ucapnya dengan panik.

Gadis itu menjawabnya dengan sebuah anggukan, sembari berkata. "Aku melihatnya sedikit. Indah sekali."

Eldrich menaruhkan tangan kanan pada dahi, perlahan turun menutupi kedua matanya. Beranggapan betapa bodoh dirinya, setelah membuat gadis muda terbangun dari tidurnya oleh apa yang ia lakukan. Ia bahkan melihat hasil pekerjaannya.

"Kenapa kamu menutupinya ? Itu bagus loh, aku tidak bohong. Seperti gambar yang dibuat oleh pelukis yang pernah datang ke desa, apakah jangan-jangan kamu seorang pelukis ?"

"Sayangnya tidak. Saya... seorang penulis buku."

Gadis itu menatap Eldrich dengan pupil besarnya. "Seorang penulis buku ? Sudah berapa banyak buku yang telah kau tulis ?" hanya dengan tatapan itu saja sepertinya menunjukkan betapa tertariknya dia.

"Sekitar... satu... dua buku." Meski ia telah menjawabnya, ia berhenti sejenak, lantas berbicara kembali dengan suara nan lirih.

"Sekalipun saya seorang penulis, saya sekarang tengah kesulitan untuk menulis lagi. Saya bahkan merasa tidak tahu lagi untuk apa saya menulis." Dan tersenyum pahit kepadanya.

Saat tengah mengamati Eldrich, untuk beberapa alasan, si gadis merasa bahwa pandangan Eldrich berisikan kesedihan yang berlebih dari sudut matanya. Rasanya seperti, bahkan pria yang mudah tersenyum sepertinya... memiliki sesuatu yang pahit di belakang.

"Ma-Maafkan saya... justru mengatakan hal yang menyedihkan kepada Anda." Ia meminta maaf lagi.

Eldrich mencoba untuk melihat kembali gadis itu setelah ia menundukkan kepala sedari tadi. Saat itulah si gadis tengah melangkah maju pada tanah dengan mantap, menatap Eldrich dengan senyuman kecil terlukis dari bibirnya.

"Apa yang kamu katakan ? Ketika aku melihatmu melakukannya... aku melihat senyuman pada wajahmu. Rasanya, kamu begitu menikmatinya."

"Saya... tersenyum ? Memangnya itu..."

"Ya... maka dari itu, jangan khawatir." Setelah meyakinkannya dengan suara yang manis itu, ia berjalan melewati Eldrich, melangkah pada arah dimana bunga-bunga nan indah tengah bermekaran.

Eldrich berbalik untuk mengikuti si gadis, saat itulah ia justru berputar menghadapnya. Rok biru panjang yang ia kenakan bergoyang sedemikian indahnya mengikuti gerakannya, seakan angin yang tengah bertiup di sekitar membantunya melayang. Warna kemerahan pada rambutnya yang terpantulkan oleh mentari pun bersinar begitu menawan.

"Kenapa kau perlu menemukan alasan untuk melakukannya ? Bukankah... selama dirimu menikmatinya, itu sudah cukup ?"

Eldrich tetap diam, bahkan tak membalas perkataannya. Meskipun si gadis mengatakan sebuah kalimat yang membuatnya merasa lebih baik, Eldrich perlu berterimakasih kepadanya atas ucapan tersebut, tetapi ia kehilangan kata-kata sebab si gadis mengatakannya dengan sangat tiba-tiba.

"Ap— Aku tidak sadar sudah hampir sore !"

Langit telah berubah dalam warna kuning kemerahan, sang surya pun telah menenggelamkan separuh tubuhnya pada cakrawala. Gadis itu pun berlari segera menuruni bukit, meninggalkan Eldrich yang masih terdiam membisu. Sementara ia melihat gadis tersebut berlari, Eldrich merasakan kehangatan yang muncul perlahan dari dalam dadanya. Bahkan dinginnya awal musim semi tercairkan oleh kehangatan itu, ia mengira asalnya dari sinar mentari... tetapi rasanya... jauh berbeda.

"Ah—" Tiba-tiba saja gadis itu berhenti dari larinya.

"Kita belum saling berkenalan satu sama lain bukan ?" dengan suara keras, ia berteriak ke arah Eldrich.

"Aku Irene ! Irene Lyudmilla !"

Saat ia mengatakannya dengan mata kuning kecoklatannya tersebut bersinar, gemerlap mata miliknya mengingatkan Eldrich pada sebuah manisan yang terkenal dari ibu kota, kramel, manisan dengan warna serta kemanisan yang sama seperti mata Irene.

"Dan kamu ? Siapa namamu ?" ia bertanya kepada Eldrich.

"Nama saya... Williem. Williem Eldrich."

"Jadi... namamu, Will kah." Sambil mengangguk-angguk seolah dirinya telah menetapkan julukan aneh itu kepada Eldrich, ia kembali berlari.

"Will... ? Itu bahkan tak terdengar..."

"Ah iya satu hal lagi yang lupa kuberitahukan padamu, Will. Jika kamu tidak lari sekarang, kamu tak akan sempat keluar dari hutan ini. Hutan Canibya di malam hari sangat menakutkan loh !"

Mendengar kata-kata lanjutan dari Irene setelah dia menghilang dari pandangannya, Eldrich mulai panik. Ia dari atas bukit mencoba berlari sekencang yang ia bisa untuk mengejar Irene. Sedangkan gadis tersebut tengah bersembunyi di balik bebatuan saat Eldrich berlari melewatinya dengan wajah penuh ketakutan, sembari tertawa bahagianya.

<div id="gtx-trans" style="position: absolute; left: 293px; top: 10487px;"><div class="gtx-trans-icon"></div></div>

<div id="gtx-trans" style="position: absolute; left: 215px; top: 9664px;"><div class="gtx-trans-icon"></div></div>