5 1.3

Dari balik jendela tempat tidurnya, sinar matahari menyinari wajah Eldrich yang tengah tertidur. Seakan matahari memberikannya sebuah ciuman pagi, perasaan hangat dari musim semi terasa olehnya. Perlahan, dengan sangat enggannya Eldrich mengusap kedua matanya yang silau oleh surya.

Dirinya pun akhirnya terbangun, menurunkan kakinya dari tempat tidur. Duduk terdiam memandangi dinding di depannya, ia linglung. Eldrich sama sekali tidak dapat mengingat apa yang terjadi, ingatannya mengenai kejadian semalam benar-benar menghilang. Yang ia ketahui adalah mendapati dirinya terbangun dari tempat tidur.

"Apa aku... pingsan.. ?"

Ia menyentuh kepalanya, terasa sedikit nyeri pada dahinya. Meski begitu, dia mencoba untuk berdiri dengan kedua kakinya. Begitu Eldrich berdiri, dia merasa bahwa dunia yang berada di sekitarnya bergoyang. Bagai berada di atas kapal, kepalanya bergerak ke kanan dan kiri. Sampai dia menggapai pintu kamarnya, berhenti sejenak untuk mengatasi rasa pusingnya.

Sepertinya kemarin malam ia terlalu banyak minum, efek dari alkohol yang dikonsumsi semalam mulai ia rasakan. Kepalanya yang pusing dan berdenyut-denyut... pikirannya yang tak karuan... dan sekarang perutnya terasa sangat mual. Ia mempercepat langkahnya menuruni tangga, bersandar pada dinding sewaktu ia turun karena dirinya tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Tujuannya sekarang... adalah menuju ke kamar mandi.

"Minum terlalu banyak bir... adalah hal yang buruk..."

Menghabiskan setengah jam dalam rasa sakit yang tidak dapat diungkapkan di dalam toilet, Eldrich kini terduduk di kursi dapurnya, tengah meminum secangkir air putih. Wajah pucatnya yang telah siuman dari mabuk seakan memberikannya pengingat, agar selalu dapat menahan dirinya sewaktu minum-minum.

Padahal semasa di ibu kota, dia jarang minum-minum bersama orang lain. Namun saat semalam selalu ditawari oleh orang desa, dirinya tidak dapat berhenti.

"Serta... semua benar-benar nyata ya, bukanlah mimpi."

Dia berdiri kembali menuju pintu rumahnya. Membuka pintu tersebut, dirinya disambut oleh angin yang menerpa rambutnya. Rerumputan yang berada di pekarangannya basah oleh embun-embun pagi. Sesaat ia memandang begitu hijaunya alam yang berada di sekitarnya, ia terasa seakan berada di alam lain, yaitu merasa dirinya memang masih berada di dalam mimpi.

Seekor burung hitam berparuh kuning kejinggaan hinggap di atas pohon apel. Ia berkicau dengan begitu riang, senang dan polos, melantunkan melodi yang berirama dengan burung lainnya.

"Aku benar-benar telah hidup di pedesaan."

Di dataran jauh, seorang pria dengan pakaian oranyenya tengah mengendarai sepedanya. Di belakang sepeda tersebut terdapat tas besar tergantung di sana. Pria tersebut mengayuh sepedanya melewati jalan yang penuh lumpur, sampai akhirnya berhenti tepat di depan rumah Eldrich. Melihat si pria menuruni sepedanya, Eldrich berdiri dari tangga rumah dan menghampirinya.

"Selamat pagi pak, hari yang begitu indah bukan." Sapanya kepada Eldrich.

"Selamat pagi, pak. Ya, cuacanya pun cerah."

"Saya dari kantor pos Friedeland, pak. Saya diberitahu oleh penduduk desa bahwa... ini adalah kediaman keluarga Meiyer, apakah benar ?"

"Ya, dahulunya."

"Dahulu... nya..." Tukang pos tersebut terdiam membisu, ia langsung merasakan bulu kuduknya berdiri.

Matanya begitu awas melihat ke sekeliling untuk menemukan sesuatu seperti papan dari nama keluarga, tapi tidak ada petunjuk. Lantas dirinya mempertanyakan dirinya sendiri, jikalau ia tersesat dan masuk ke daerah yang angker. Karena sejauh matanya memandang tidak ada rumah lain di daerah sini, terlebih lagi... banyak pepohonan tinggi yang memberikan kesan bahwa daerah ini terasingkan. Melihat wajah si tukang pos yang mulai memucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya, Eldrich tertawa kecil, dia merasa kasihan karena mengerjainya sehingga mulai berkata.

"Saya bercanda, ini memang kediaman Meiyer." Ucap Eldrich untuk memecah kesunyian di antara mereka.

"A-Ah... benar ternyata. Saya khawatir tersesat tadi..."

"Maaf, maaf." Eldrich tertawa kecil karena berhasil melihat wajah ketakutan si pengantar pesan. Tapi, perkataannya memang benar, dahulunya ini kediaman keluarga Meiyer.

"Kalau begitu, saya hendak menyerahkan surat yang ditujukan untuk tuan Eldrich Meiyer." Katanya sembari memberikan amplop putih kepada Eldrich.

"Terimakasih banyak pak."

"Sama-sama pak. Karena urusan saya telah selesai, saya permisi terlebih dahulu."

Tukang pos tersebut kembali mengayuh sepedanya berbalik ke arah sebelumnya, meninggalkan Eldrich yang masih berdiri terdiam di tengah-tengah gerbang. Ia memegangi suratnya, pada surat tertulis alamatnya memang ditujukan bagi Eldrich Meiyer. Tapi siapakah gerangan ?

Duduk pada kursi kamarnya, Eldrich mulai membaca surat yang ia terima. Kata demi kata, kalimat demi kalimat ia cermati. Namun semakin dia membacanya hingga bawah, raut wajahnya berubah menjadi masam. Hingga di kata-kata terakhirnya, dia hendak meremas surat tersebut dengan kerasnya, namun dihentikannya.

"Orang tua itu... dia memang..."

Surat yang baru saja ia terima merupakan surat yang dikirimkan oleh ayahnya sendiri, yaitu Yugo Williem. Semenjak kematian ibunya, ayahnya diam-diam menikahi seorang wanita yang berasal dari keluarga ningrat di ibu kota. Sebab itulah, dia dapat menyekolahkan Eldrich dan menghidupi dirinya tanpa kesulitan. Meski hidup dalam berbagai kemudahan, ia masih memendam rasa amarah yang teramat besar kepada ayahnya. Di saat dia belia, ia pun berpisah dari ayahnya dan memutuskan untuk tinggal sendiri.

Semenjak kecil, Eldrich sangat suka dengan buku. Dan seseorang yang mengenalkannya kepada buku adalah ibu kandungnya. Saat dirinya masih kecil, ibunya suka membacakan buku dongeng sebelum Eldrich tidur. Eldrich kecil begitu menyukai setiap kisah yang dibacakan ibunya... mengenai kisah heroik pahlawan, serta petualangan ke dunia ajaib.

Ia merupakan pemimpi yang besar, dirinya selalu memiliki keinginan untuk terus berada dalam dunia imajinasinya yang tercipta dari buku cerita. Begitu banyak buku ia koleksi, dari buku lama...hingga penulis terkenal memenuhi rak bukunya. Sampai suatu hari dia berpikir bahwa dia mungkin saja bisa membuat cerita indah layaknya para penulis terkenal tersebut.

Berbekal pena dan kertas, ia mulai menulis dunianya sendiri dan menuangkan seluruh imajinasinya dalam dunia tersebut. Ia memiliki impian untuk menulis sebuah karya yang dapat membuat orang lain bahagia, tertawa, atau bahkan sedih ketika membacanya. Dari sanalah, Eldrich memulai karirnya sebagai penulis.

Dia tidak pernah mengira, bahwa novel yang ia tulis dan kirimkan kepada penerbit tersebut dapat menjadi awal mula kepopuleran dirinya. Buku pertamanya yang memiliki judul, 'Terbangnya Burung yang Terkurung' mencetak rekor penjualan novel di minggu pertama.

Saat perilisan buku keduanya, 'Legenda si Zeros' namanya langsung melejit di ibu kota dan mulai menyebar ke kota-kota lainnya, bahkan hingga negeri seberang. Koran dan radio terus menerus membicarakan tentangnya, sampai Eldrich sendiri tidak dapat keluar dari apartemennya dengan mudah.

Tentu saja, kabar menggembirakan tersebut sampai pada telinga ayahnya. Dia sampai membeli kedua novel tersebut dan menemuinya saat jurnalis meminta Eldrich untuk berwawancara bersama keluarganya pada stasiun televisi. Namun, ayahnya tidak begitu peduli pada apa yang ia lakukan. Ketika Eldrich membicarakan mengenai kisah sang tokoh utama pada novel tersebut, ayahnya tak dapat menjawabnya dengan benar.

Sejak saat itulah ia memahami, bahwa ayahnya telah berubah. Dia bukanlah Yugo Meiyer yang ia kenali lagi, dirinya benar-benar telah berganti menjadi Williem. Eldrich pun tak pernah lagi menjawab pesan ayahnya, dia pun selalu mengelak saat ayahnya hendak bertemu dengannya.

Dia masih marah, sangat marah kepada ayahnya. Tapi jauh di lubuk hatinya, Eldrich selalu menginginkan ayahnya untuk kembali, kembali pada saat dia masih berada di Canibya.

"Aku tidak menyukainya... tapi dia telah membantuku keluar dari wajib militer. Tidak kuketahui ia menulisnya dengan jujur atau tidak, tapi aku akan membalasnya, sebagai kewajiban."

Pada surat yang dituliskan oleh ayahnya, ia menanyakan mengenai keberadaannya setelah pindah ke Canibya. Ia pun mengungkapkan permintaan maaf mengenai kejadian yang pernah terjadi di masa lalu untuk sekali lagi dan hanya dapat membantunya dengan mencegahnya untuk ikut wajib militer. Eldrich begitu kesal mendapati ayahnya cuma meminta maaf melewati tulisan, alih-alih menjumpainya langsung. Bahkan, ia meminta pada dirinya agar terus melanjutkan kiprahnya di dunia novel, mengatakan menantikan karya Eldrich selanjutnya. Tidak lain dan tidak bukan, pak tua itu menginginkan Eldrich untuk terus menulis tanpa peduli perasaannya sendiri saat ini.

"Kau pikir menuliskan karya itu mudah apa." Gumamnya di dalam hati ketika ia tengah mencoba menuliskan balasan surat tersebut.

-o-

Beberapa hari berlalu sampai terhitung seminggu sudah Eldrich berada pada tempat tinggal barunya. Dan selama seminggu juga ia masih belum memiliki ide untuk karya ketiganya. Mendekam dalam kamarnya selama berhari-hari, ia telah jenuh akan kepalanya yang sama sekali tidak dapat memikirkan satu pun ide. Kemarin ia telah mencoba menenangkan diri dengan berjalan ke desa, tetapi desa Canibya telah banyak berubah dari apa yang ia ingat. Banyak wajah-wajah baru yang tak dikenalnya sama sekali. Berkat dirinya yang semasa di kota jarang berinteraksi dengan orang asing, terkadang ia merasa canggung saat orang lain menyapanya.

"Khk— Padahal aku telah pindah ke desa. Kenapa rasanya sama saja, tidak ada ide sama sekali ?!"

Memegangi kepalanya, Eldrich dengan kesalnya menatap pada kertas kosong yang berada di depannya. Tinta hitam pada fulpen di samping kertas, telah membasahi meja sebab dirinya terdiam terlalu lama tidak menggunakannya.

"Hah... terpaksa aku perlu berjalan-jalan kembali." Ucapnya dengan helaan nafas panjang.

Dengan menenteng buku kosong beserta pensil kayunya, kali ini Eldrich memutuskan untuk pergi mengitari hutan yang tak jauh dari rumahnya. Menyusuri jalan setapak pada hutan yang begitu sunyi, bunyi dahan yang bergesekan oleh angin serta kicauan burung Kanopi hutan yang nyaring menemani perjalanannya. Walau sebentar lagi musim semi akan datang, salju putih tetap bertahan pada dedaunan pohon. Berkat itulah, Eldrich yang keluar tanpa mengenakan mantel kremnya terpaksa kembali lagi ke rumah untuk mengenakannya.

"Nak Eldrich !"

Tiba-tiba dari arah lain terdengar suara berat dari lelaki tengah memanggilnya. Eldrich menoleh pada asal suara tersebut. Di pinggiran sungai, seorang pria dengan topi jeraminya tengah duduk pada batu sembari memegangi gagang pancing.

"Tengah jalan-jalan pagi kah ?" ucapnya kembali saat Eldrich menghampirinya.

"Ah... ya..."

Eldrich mengalihkan pandangannya saat ia ditanyai hal tersebut, karena alasannya menggelikan. Frederik tengah mencoba untuk memancing pada sebuah sungai kecil di hutan. Di dasar air sungai yang jernih, terlihat beberapa ikan tengah mencoba melawan arus. Pada saat mendekati musim semi, banyak kawanan ikan yang sebelumnya hibernasi di musim dingin kini bermigrasi menuju ke perairan yang lebih hangat. Sekarang memang saat yang tepat untuk memancing, tapi ketika Eldrich melihat ember yang dibawa Frederik, tak ada satu ekor pun di dalamnya.

"Bagaimana rasanya tinggal di desa ? Apa kamu sudah mulai terbiasa ?"

"Padahal saya dulunya pernah menjadi orang desa, tapi mungkin karena terlalu lama menetap di kota... saya merasa kesulitan."

"Terkadang lupa untuk membeli keperluan sewaktu di kota sementara tidak bisa pergi ke sana kapan saja, sering terperosok di malam hari juga karena begitu gelap... dan disapa oleh penghuni lain seperti rakun atau ular yang menyelinap ke rumah." Lanjutnya.

"Haha, begitukah begitukah...." Frederik tertawa kecil mendengarkan cerita dari Eldrich.

"Tapi... ya, sepertinya hidup di desa tidak buruk. Saya lebih menyukai berada di sini dibandingkan kota."

"Kenapa ? Bukankah kota jauh lebih bagus dibandingkan desa terpencil seperti ini ?"

"Seperti yang Pak Frederik katakan, saya akui kota memang bagus. Di kota hampir setiap hal ada... tapi di balik kecukupan tersebut, segalanya terasa begitu monoton. Setiap pagi terbangun menjumpai pemandangan sama, gedung-gedung berbaris memanjang, jalanan yang bising oleh kendaraan dan orang lalu lalang, serta waktu yang berjalan begitu cepatnya. Walau dirimu hanya berdiam saja, tanpa sadar hari telah berakhir tanpa dirimu telah melakukan sesuatu."

Lantas, Eldrich teringat kembali pada unjuk rasa yang dilihatnya baru-baru ini. Serta koran yang memberitakan mengenai keadaan negara yang berangsur-angsur memburuk. Banyak politisi yang terjerat oleh kasus penyalahgunaan wewenang, menggunakan pajak para rakyat demi kekayaan mereka sendiri. Kursi-kursi pada Senat juga terisi oleh kalangan keluarga kerajaan saja.

"Kota pun dipenuhi oleh orang yang haus akan kekuasaan dan harta..." akhirnya.

Eldrich mengalihkan pandangannya ke arah birunya sungai. Setelah apa yang ia katakan sebelumnya, mereka berdua terdiam. Bunyi dari gemericik air mengalir melewati bebatuan menggantikan percakapan. Pada permukaan sungai mulai muncul beberapa gelembung menyembul, sampai senar pada joran mulai menegang. Frederik sadar akan kesempatan tersebut, langsung menarik pancingannya, dan dirinya berhasil menang. Mendekatkan kail ke arahnya, ia mendapati umpannya telah raib terenggut oleh sang ikan. Eldrich yang barusan menyaksikannya, kini memandangi Frederik saat dirinya mengeluarkan umpan lain untuk dipasangkan ke kail.

"Ternyata kamu pun kesulitan ya hidup di kota."

Selesai memasangkan umpan, ia melempar kembali joran ke arah sungai. Frederik tidak pernah tahu orang kota memiliki permasalahan seperti itu. Dari apa yang ia lihat sendiri selama 30 tahun lebih bepergian dari desa kembali ke Friedeland, orang kota hampir sepenuhnya memiliki wajah sombong atas kecukupan yang mereka miliki. Mempunyai rumah nyaman dari bata dengan karpet indah di lantai, banyak toko-toko berjejer tidak jauh dari mereka untuk membeli kebutuhan, dan yang paling penting bisa mendapatkan apapun hanya dengan selembar kertas saja.

Ia berpikir Eldrich, pemuda dari ibukota akan memiliki wajah yang sama seperti mereka. Namun setelah ia melihat kembali melalui sepasang mata birunya, pemuda ini rupanya telah melalui masa yang sulit. Rasanya seperti, ia tengah tersesat tanpa tahu apa yang ia ingin lakukan, atau apa yang akan ia lakukan besok. Mungkin saja tujuan dirinya kembali ke Canibya, ialah untuk menemukan apa yang hilang darinya.

"Bagi orang desa sepertiku, kota terlihat seperti tempat dimana segala kemungkinan dapat terjadi."

"Segala kemungkinan... dapat terjadi ?"

"Ya, di sana kau bisa melakukan apa saja, menjadi apa saja, dan memiliki apa saja. Kau bisa pergi kemana pun dengan mudahnya dengan sesuatu bernama lokomotif. Kau bisa menjadi pemilik toko, loper koran, politikus, pekerja konstruksi, atau bahkan menjadi tentara negara. Kau bisa punya rumah bertingkat lengkap dengan karpet mewah. Pada dasarnya, tinggal di kota penuh akan kebebasan. Jauh lebih bebas dibandingkan menjadi petani dan tinggal di tempat sama seumur hidupmu."

"..."

Eldrich membungkam mulutnya begitu erat, ia menurunkan kepalanya begitu bawah memandangi rerumputan putih di bawah kakinya. Ia merasa terbebani dengan apa yang ia telah katakan sebelumnya setelah mengetahui dari Frederik, yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di desa.

"Orang kota mungkin memandang desa sebagai kehidupan santai, itu tidaklah salah, banyak juga orang kota memilih menghabiskan hari-hari tuanya menjauh dari hingar bingar kota dan pergi ke desa. Padahal prinsip hidup di kota dan desa berbeda. Hidup di desa adalah tentang bertahan hidup, demi hari esok. Jika kau tidak bekerja keras sampai keringat bercucuran... kau tak bisa makan."

"Setiap hari bekerja pagi hingga sore merawat ladang dan ternak. Tidak pernah lupa menyirami, membersihkan dari hama, dan memberi makan ternak bersamaan. Gagal panen serta penyakit massal adalah mimpi terburuk, selain kehabisan persediaan di musim dingin. Pergi ke kota terdekat pun tidaklah mudah, selain jauh dan hanya bisa pergi menggunakan kuda, terkadang gerobakku rusak di jalan karena jalannya yang buruk." Ia melanjutkan.

"Saya..."

Eldrich mencoba untuk mengungkap permintaan maafnya, namun suaranya terlalu kecil... sama seperti keberaniannya. Kepalanya pun layaknya salju, putih cerah. Namun, sebelum Eldrich merasa semakin bersalah Frederik mengalihkan pandangan kepadanya. Ia tersenyum dengan mulut terbuka menunjukkan giginya.

"Ada apa dengan wajah sedih itu. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa bersalah sebab berkata hidup di kota tidak begitu bagus. Setiap orang memiliki kesulitan sendiri-sendiri. Mau desa, mau kota."

"Tapi... apa yang saya katakan sebelumnya... tidak sopan, saya tidak tahu betapa sulitnya hidup orang desa dan... orang kota seperti saya justru—"

Tiba-tiba saja bunyi dari kail yang tertarik masuk ke air menghentikan pembicaraan mereka. Frederik terkejut bukan kepalang, ia menarik jorannya tanpa berpikir panjang. Saat senarnya terbang ke udara, tak ada mangsa yang tertangkap di kailnya. Itu hanyalah... tipuan belaka, sang ikan rupanya tengah mencoba umpannya, dan Frederik tertipu oleh tipuan tersebut.

"Kau tahu, nak. Tidak ada hidup manusia yang lebih baik dibanding manusia lain. Seperti, orang kota berpikir kehidupan desa itu santai dan nyaman. Juga orang desa yang menganggap orang kota bebas dan kaya. Terkadang, kita sering mengeluh atas kehidupan yang kita miliki. Ada baiknya kita perlu saling menceritakan kesulitan satu sama lain. Dengan begitulah, kita dapat saling memahami."

Setelah tak mendapatkan hasil tangkapan sejak pagi, Frederik memutuskan mengakhiri pancingnya dan mengemasi barang-barang. Ia tak terganggu mengenai keluhan yang Frederik katakan. Mendengarkan keluhan anak muda adalah salah satu hal yang dapat dilakukan oleh orang tua seperti dirinya, selain itu ia tidak dapat berbuat banyak selain menasihatinya.

"Setiap kesulitan dapat diatasi selama kau tak membiarkannya begitu saja. Jika tak punya persediaan di musim dingin, sebaiknya siapkan sebelumnya atau minta kepada orang lain. Jika kau merasa jenuh dengan harimu di kota, kau bisa berlibur ke tempat lain seperti di sini."

"Seandainya manusia memahami dirinya sendiri serta orang lain, aku yakin kekayaan atau kekuasaan tak lagi dibutuhkan. Karena Tuhan menciptakan cukup banyak hal di dunia ini untuk kita semua. Seperti semua ikan di sungai, beri dan hewan di hutan, bahkan wanita untuk pria. Selama kita peduli satu sama lain, tidak ada kesulitan bukan ?"

Setelah tinggal bertahun-tahun di kota, dimana ia hanya peduli pada dirinya sendiri, Eldrich untuk pertama kalinya mulai menyadari. Baginya, yang peduli hanya pada buku-bukunya serta mengukirkan namanya di industri sehingga orang tuanya dapat bangga kepadanya... sebuah perkataan dari pak tua dari desa cukup memberikan Eldrich dorongan. Manusia adalah makhluk yang mudah bosan, mudah sedih atau bahagia, dan tak dapat selamanya menjadi salah satu dari keduanya. Demi melarikan diri dari kehidupannya yang buruk, Eldrich pergi ke Canibya. Ia merasa kehilangan motivasinya untuk menulis, tak seperti dulu. Kapanpun ia mencoba memegang fulpen, ia selalu terpikir untuk siapakah karyanya ini akan ia persembahkan.

Untuk ibunya ? Ia telah pergi meninggalkannya, bersama sang kakek dan nenek.

Untuk ayahnya ? Ia hanya peduli pada kesuksesan bukunya.

Padahal, keinginan untuk menulis... masih ada pada hati kecilnya. Hanya saja, ia perlu menemukan alasan untuk menggerakkan fulpen pada tangannya.

"Baiklah, nak. Kau datang kemari karena ada alasannya bukan. Lantas, jangan pernah berhenti memenuhi alasanmu itu. Pak tua sepertiku hanya dapat menasihatimu, semoga saja itu dapat membantu."

"Sebab hidup itu penuh akan kesempatan dan berkah. Meskipun aku tak mendapatkan tangkapan untuk makan malam nanti, setidaknya masih banyak jamur di hutan."

Setelah mengatakannya, Frederik menepuk pundak Eldrich dengan dirinya berjalan jauh ke dalam hutan. Angin sepoi-sepoi terbang melewati dahan pepohonan, daun-daun pun jatuh berguguran bersamaan dengan salju yang mereka tampung. Pada awal musim semi ini, jalan masih terbentang lebar bagi Eldrich. Ia perlu untuk terus berjalan, demi menemukan apa yang tengah ia cari saat ini.

avataravatar
Next chapter