Michael ketakutan?
Aku juga. Kenapa?
Aku pasti telah membuatnya merasa bersalah? Apa aku akan dibenci? Apakah Michael akan berhenti menemuiku?
Pikiran-pikiran buruk merasuk padaku. Aku takut dan bimbang.
Aku harus bagaimana?!
***
"Astaga Michael, kau membuatku terkejut!" aku mengurut dada, menyempurnakan kepura-puraanku. Tapi dari pada terkejut, perasaanku ini lebih tepat disebut takut.
Ada rasa takut yang tak bisa aku gambarkan merasuk saat Michael muncul di hadapanku. Ia yang sejak beberapa hari lalu aku hindari. Sungguh tak bisa aku mengerti, rasa takut itu berangsur hilang saat Michael menampakan wajah yang sama takutnya.
Sama? Tidak.. perasaan takutnya denganku tidaklah sama. Aku yakin akan hal itu, perasaanku jauh lebih rumit.
"Maafkan aku Maria. Apa aku telah membuatmu tak nyaman?" ia menunduk, meraih salah satu tangannya, lalu menggosok permukaan kulitnya yang terbuka dengan pelan. Ia terlihat kacau, seperti anak-anak yang ketakutan saat ketahuan melakukan hal buruk.
Apakah aku terlihat sangat tidak nyaman? benar, sangat. Bagaimana dia tak berpikir demikian, jika aku terus menghindar darinya, tak membalas pesannya, tak menjawab panggilan telepon darinya dan kini aku terlihat sangat terkejut saat bertemu dengannya.
Di dalam kepalaku saat ini, banyak sekali hal negatif yang bergumul menyelubungi kendali emosiku. Belum lagi beberapa kejahilan yang aku terima di sekolah akhir-akhir ini.
Sebisa mungkin aku tak memperlihatkan rasa cemasku. Meredam semua pikiran buruk yang kemarin-kemarin muncul tentangnya. Pikiran tentang dugaan bahwa sebenarnya Michael adalah pria brengsek yang setipe dengan pamanku. Jauh di lubuk hatiku, aku takut jika ternyata pikiran buruk itu benar.
Bukan tanpa alasan pikiran buruk itu muncul di dalam otakku, teman-temannya yang memanggilku 'wanitanya Michael.' seakan wanita-wanita itu akan ada dan terus mengekor selama ada Michael. Belum lagi, sifatnya yang tampak sangat ramah dan mudah sekali berbaur, seakan ia terbiasa bertemu dengan banyak orang baru dan bicara dengan wanita yang baru itu temui.
Aku mengernyitkan dahi, bersusah payah menepis jauh-jauh segala teori asal-asalan tentang Michael yang datang silih berganti.
"Michael.. apa kau menciumku karena terbawa suasana?" Aku menghela nafasku perlahan. Tak berani menatap mata Michael yang mampu menghipnotis siapa pun yang melihatnya. Aku takut jika melihatnya, aku tak bisa berkata dengan baik. Lalu tak bisa menyampaikan semua perasaan yang ingin aku ungkapkan.
"Tidak." Jawaban lugas keluar dari bibir Michael. Tanpa keraguan sedikit pun.
"Lantas kenapa?" Kali ini aku berani menatapnya, aku ingin mencari kebohongan dari binar matanya, secuil saja. Jika ada pun, aku tak tahu akan melakukan apa dan berpikir bagaimana tentang Michael..
"Ini pertama kalinya bagiku Michael. Sebelumnya aku bahkan tak bisa bicara nyaman dengan seorang pun anak laki-laki, kecuali sahabatku. Aku ini mungkin naif Michael. Tapi jangan mempermainkan diriku." Akhirnya aku mengatakannya, ketakutanku.. Aku tak ingin dipermainkan. Terutama olehnya, pria yang pertama kali aku sukai sepanjang 17 tahun hidupku.
"Apa maksudmu?" Binar mata Michael sedikit demi sedikit meredup, "Jadi kau pikir aku mempermainkanmu?"
Oh tidak.. Bukan begitu! bukan..
"Itu yang aku katakan."
Berhentilah diriku yang bodoh! itu akan menyakitinya!
"Apa aku terlihat sebrengsek it-"
"Itu yang aku takutkan. Karena aku benar-benar menyukaimu." Tanpa aku sadari tanganku meremas kuat-kuat knop pintu rumahku. Perasaanku begitu tidak jelas saat ini. Lalu ketika akhirnya pintu rumahku terbuka aku kehilangan tumpuan. Nyaris jatuh jika saja Michael tak segera menangkap tubuhku.
Dengan cepat aku melepaskan diri dan masuk lebih dalam. Michael mengikutiku, saat aku melirik padanya, ekspresinya begitu campur aduk. Merasa bersalah, merasa kecewa, tidak mengerti, sedih dan marah.
"Dengarkan aku Maria.." pintanya, namun aku tetap melangkah cepat menuju kamarku. Melempar tas ransel ke atas ranjang dan menutup pintu kamarku rapat-rapat.
Gemuruh di hatiku benar-benar tak bisa aku mengerti. aku menyukai ciuman itu, tapi setelahnya aku merasa takut dan ingin menjauh sejauh mungkin. Aku sangat ingin membuka pintu ini dan memohon padanya untuk tak melanjutkan lagi niatnya padaku, apapun itu. Tapi aku juga ingin terus berada di dalam sini dan memastikan apa yang akan Michael katakan.
Pertanyaan pertanyaan itu bergumul di otakku.
Bagaimana jika ternyata Michael hanya sebagian orang yang ingin memanfaatkan aku?
Bagaimana jika ternyata Michael hanya suka bermain-main denganku?
Bagaimana jika ternyata dia tak benar-benar tertarik padaku, semua itu karena aku hanya remaja naif maka ia bisa dengan mudah mendapatkan aku lalu pergi begitu saja meninggalkanku?!
Harga diriku.. martabat yang orangtuaku tanamkan dalam-dalam di jiwa ini, enggan untuk melanjutkannya. Tapi, perasaanku seakan ingin Michael melangkah lebih dalam lagi di hidupku. Apa pun resikonya.
"Maria dengarkan aku.. Aku pernah mengatakannya padamu di pantai," Suaranya tepat berada di balik pintu kamarku. Aku bersender pada pintuku, mendengarkannya baik-baik. "Kau orang pertama yang menjabat tanganku. Selama ini aku selalu menolaknya dengan orang lain. Kenapa? Karena sejak pertama kali melihatmu di gang itu, aku tertarik padamu. Bagaimana gadis semanis dirimu merasakan tangan sekasar ini dalam genggamnya? Aku selalu ingin tahu.."
Oh Tuhan..
Ada suara gesekan lembut di pintu, Aku menebak Michael juga mulai bersandar dan terduduk di balik pintu. Persis seperti yang aku lakukan sekarang.
"Ternyata kau tak memberikan reaksi apa pun dan masih tetap mengkhawatirkan aku. Awalnya aku pikir itu mungkin karena aku menyelamatkanmu. Karena itu, aku terus mengujinya. Jaketku, helm, tas dan ponsel. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar aku bisa terus bertemu denganmu.
Tangan sialan ini, sudah mengenali lembutnya dirimu, Maria. Membuatku terus memikirkanmu esoknya dan esoknya lagi. Kecupan itu, bukan karena aku terbawa suasana. Tapi karena aku sangat menginginkannya." Michael mendesah lalu bangkit.. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh dari kamarku.
Jantungku yang sejak tadi berdegup kencang, kini seakan memprovokasiku untuk bangun dan mengejarnya. Memeluknya dan mengatakan bahwa aku juga menyukainya. Tapi, apakah benar jika perasaan ini sepenuhnya suka?
Bagaimana jika ternyata aku hanya kagum karena Michael adalah penyelamatku, karena Michael begitu menyerupai malaikat yang sering aku lihat dalam lukisan? Bahkan aku sendiri masih meragukannya. Tapi Michael begitu jelas dan lurus.
Akhirnya aku tetap diam di tempat.
Beberapa menit berlalu, sudah tak ada suara Michael lagi di luar sana. Akhirnya aku beranikan diri membuka pintu kamarku, melongok keluar. Dan ketika aku keluar untuk memastikannya, Michael dan motornya sudah tak ada di halaman rumahku.
Dia pergi dengan sedih dan kecewa. Aku menyakitinya.
Semua karena aku yang tak bisa memahami diriku sendiri, aku mengorbankan perasaannya. Meski akhirnya aku mengetahui perasaan Michael, aku tak bisa segera membalasnya.
***