Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian di pantai. Aku tak menghiraukan pesan yang datang dari Michael. Menghindari jalan pulang yang melewati taman dimana kami biasa bertemu. Aku juga tak mengangkat panggilan dari Michael di ponselku.
Ada rasa tak nyaman yang benar-benar menyergapku setelah hari itu, ekspresi Michael yang tak karuan juga tak ada kalimat apa pun yang meluncur darinya saat ia mengantarku pulang.
Kami benar-benar seakan telah memecahkan wadah yang membuat kami berada di tempat yang sama selama ini. Kami menjadi bagian yang berbeda, berkeping-keping..
Mungkin sebenarnya aku yang menjauh. Michael tak sekejam itu, ia tak mungkin pergi begitu saja setelah mencium seorang gadis perawan bukan?! buktinya dia terus berusaha menghubungiku.
Ngotot sekali..
***
"Tugasnya akan diserahkan besok, jadi jangan lupa!" Suara pria paruh baya dengan rambut tengah yang hampir botak membuatku tersadar. Sepanjang pelajarannya aku hanya melamun.
Aku benar-benar kehilangan motivasi belajarku, ini sangat gawat!
"Maaarie?" Aku begitu terkejut ketika suara yang aku kenal betul memanggil nama kecilku. Suara yang akhir-akhir ini jarang sekali aku dengar.
Tobias.
Ia menjauh dariku sejak beberapa hari lalu, hanya mencuri pandang dan menyapa seperlunya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya atau apa yang membuatnya begitu. Atau kah aku telah tak sengaja membuat kesalahan padanya. Aku ingin sekali bertanya, namun dia terus menghindariku.
Tapi lihatlah dia sekarang, dia memanggil nama kecilku dengan nada yang seperti biasanya. Manja.
"Tobiiiiiiiiiii!" aku memeluknya hampir menangis. Sahabatku.. sulit dipercaya aku berpikir begini, tapi aku merindukannya.
"Hei! apa yang kau lakukan?! Marie! kita di dalam kelas!" Tobias berusaha melepaskan pelukanku di perutnya yang kekar dan aku yakin berotot sekarang. Tubuhnya makin membesar selama aku tak melihatnya dari dekat.
Lupakan itu, aku hanya berhalusinasi!
"Baiklah! baiklah! lepaskan aku dulu, bereskan semua bukumu aku akan mengantarmu pulang." Tobias terdengar putus asa.
.
.
.
Aku masih memeluk Tobias di dalam mobil BMW hitam milik keluarganya. Tak memedulikan pandangan bingung dari Goerge, si supir pribadi Tobias.
"Baiklah Marie kau membuatku takut!" Tobias mencubit pangkal hidungku, aku menjerit pelan lalu melepaskan pelukanku darinya.
"Aku khawatir, aku kira kau marah padaku. Kau menjauh dariku tanpa alasan yang jelas. Aku pikir aku telah membuat sebuah kesalahan tanpa aku sadari. Maafkan aku Tobias!"
"Senang juga rasanya jika kau bersikap begini setiap hari. Tapi aku jadi bingung harus menanggapinya dengan bagaimana." Ia berdeham sebentar, lalu melirik pada Goerge yang sejak tadi mencuri-curi pandang dari kaca tengah mobil.
"Apa maksudmu? jadi kau tak marah padaku?" Dahiku mengernyit, tak paham dengan maksud kalimatnya barusan.
Ekspresi tobias berubah serius, ia menatap mataku dengan intens, seakan bersiap untuk menyelidiki reaksiku nanti, "Ada rumor yang beredar tentang dirimu, Marie. Tentang pemuda pirang yang sering mengunjungimu akhir-akhir ini. apakah itu benar?"
Aku bergeming. Sebuah rumor, tentang aku dan Michael.
Ingatanku memutar kembali tentang bagaimana Stefani mendekatiku di kantin dan mengatakan hal aneh. Aku yakin dengan jelas bahwa Stefani adalah orang yang dimaksud Michael, gadis yang berdiri di depan halaman rumahku dengan seekor anjing. Mengawasi kami.
Seharusnya aku sudah mengiranya, bahwa Stefani akan melakukan hal ini.. Kenapa aku tak mengambil antisipasi saat itu?!
"Marie?" Tobias mengguncang lenganku. Menagih jawaban dariku tentang pertanyaannya.
"Tobias. Kau ingat saat kita akan pergi bersama ke toko buku di pinggiran kota bersama?" Aku hanya harus menjelaskan pada Tobias tentang hal yang sebenarnya. Karena ia akan sangat marah jika aku tak memberikan sebuah jawaban sama sekali.
"Hm hm." Tobias mengangguk, "Aku ada urusan keluarga yang sangat mendesak dan tak bisa menemanimu." sambungnya sambil mengingat-ingat.
"Iya dan saat itu aku nekad untuk pergi sendirian."
Mata Tobias membulat karena terkejut ketika mendengar kalimatku barusan, "Apa?! kenapa kau melakukannya? kau tahu kan daerah itu sangat rawan kejahatan?!" Tobias kembali mengguncang bahu ku.
"Aku benar-benar menginginkan buku itu segera. Lagi pula tugas tentang buku itu harus dikumpulkan esok harinya kan?!"
"Lalu?"
"Aku kerepotan karena dihadang oleh 5 orang preman. Mereka hampir saja menjahatiku Tobi, tapi Michael menolongku." Mata Tobias menyipit ketika mendengar nama Michael di sebut.
"Michael?" ia bertanya masih menatapku lekat-lekat.
"Iya, pemuda dalam rumor itu. Dia temanku sekarang. Dia adalah orang yang menolongku Tobi, jadi aku harus berbuat baik padanya." Aku harap Tobias mengerti dan tak mengatakan apa pun pada ayah dan ibuku.
"Kau seharusnya tak membawa sembarang orang untuk datang ke rumahmu, Marie. Kau tak tahu benar bagaimana orang itu kan?" Wajah khawatir terlihat pada wajah tampan khas prajuritnya kali ini.
"Lain kali aku akan kenalkan kau padanya, Tobi. Michael sangat baik dan ramah. Aku yakin kau akan menyukainya juga." Antusiasme dariku seakan ditepis mentah-mentah oleh ekspresi tak senang dari Tobias. Ia mengalihakan pandangannya ke luar jendela, wajahnya samar merengut dan tak mau berbalik untuk kembali melihatku, "Ada apa?" aku meraih lengan atasnya agar ia berbalik.
"Entahlah, aku merasa tidak senang. Kau punya teman baru tapi tak mengatakan padaku sejak awal. Aku juga merasa bersalah karena aku tak menemanimu mencari buku saat itu, kau jadi mendapatkan gangguan."
"Maafkan aku soal Michael, Tobi. Seharusnya aku menceritakannya padamu. Aku hanya takut kau melapor pada ibu dan ayahku."
"Aku tidak sepicik itu kan? mana mungkin aku melapor pada ibumu. Aku tahu kalau kita memang selalu berada di bawah pengawasan ketat orang tua kita tapi, aku mengerti dirimu kan? itulah sebabnya aku tak protes dan marah tentang keputusanmu memilih untuk tinggal sendiri selama 2 tahun kedepan." Tobias akhirnya melihatku.
Tobias.. aku sudah sangat mengenalnya, ia mudah sekali berubah pikiran.
***
Mobil BMW hitam keluarga Roberts berhenti di depan pekarangan rumahku, aku keluar lalu melambai sebelum akhirnya menutup pintu mobil yang berbunyi teredam.
Lega rasanya setelah mengetahui bahwa sahabatku, Tobias tak lagi marah padaku. Ia mengerti apa yang aku jelaskan. Meski sebenarnya aku ragu jika dia tak akan mengatakan apa pun pada orang tuaku.
Memasuki teras rumahku, perhatianku sibuk pada tanganku yang mengaduk-aduk isi tasku. Mencari kunci rumah yang pagi tadi aku masukan asal ke dalam ransel. saat akhirnya aku menemukan kuncinya dan bersiap membuka pintu, suara seseorang di sisiku membuatku melempar kunci entah kemana, saking terkejutnya.
Aku menoleh dengan cepat dan mendapati Michael tersenyum di sisiku, "Yo Maria." sapanya.
"MICHAEL!" tanpa sadar, sungguh tanpa sadar aku meneriakan namanya.
Ia mundur dengan wajah terkejut. Aku bisa melihatnya .. sebuah ketakutan dalam mata hijau indahnya.
***