webnovel

Unifier

Kehidupan Firman berantakan semenjak dirinya terjerat kasus KDRT terhadap istrinya. Selama empat tahun, dia harus mendekam di penjara. Perceraiannya dengan sang istri semakin membuatnya tersadar atas kegagalan hidup, kegagalan tanggung jawab, serta kegagalan memaknai cinta. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba beradaptasi dengan kehidupan baru. Firman menjadi guru pengajar di SMK. Salah satu siswa melakukan percobaan bunuh diri akibat depresi oleh masalah percintaan. Upaya itu berhasil digagalkan olehnya yang kemudian membuatnya menyadari bahwa masih banyak manusia salah mengartikan cinta dan kasih sayang. Itu juga merupakan pikirannya beberapa tahun silam. Untuk menghilangkan perasaan bersalah yang semakin menghantuinya, dia mencoba untuk menyatukan banyak cinta lewat cara sembunyi-sembunyi. *** Ditulis dan dikarang oleh : Ela Nuraeni & Sigit Irawan

Sigit_Irawan · Urban
Not enough ratings
8 Chs

Hari Peruntungan

Malam ini untuk pertama kalinya tak perlu bersusah payah untuk menghindari mata menatap sel penjara, meratapi belenggu kehidupan yang membuat orang-orang mengecapnya sebagai penjahat. Sebebas itu malam ini hingga ia rasa langit masih saja menyindir membuatnya semakin aneh untuk menikmati kenyamanan yang kian membuncah. Fisiknya kali ini bebas berkelana, siap bertempur lagi dengan dunia yang masih menggenggamnya dalam nyawa meski psikisnya masih saja tersiksa.

Lonceng pada jam dinding klasik berbunyi sekali menunjukkan pukul 01.00 dini hari, waktu di mana pada umumnya orang-orang tengah terlelap dalam tidur. Suara-suara serangga malam terdengar semakin nyaring memecah keheningan tanpa menyentuh kadar-kadar kebosanannya. Firman membuka jendela kaca, terduduk pada bangku kayu sambil menatap gugusan pohon mangga di halaman. Suasana malam memanglah sepi, namun kepalanya ramai. Suara-suara dari memori masa lalunya masih saja terdengar riuh berseteru dengan dirinya. Malam ini sudah pasti dia tidak bisa tidur.

Untuk melawan bosan, Firman memanfaatkan waktu begadangnya dengan menulis beberapa surat lamaran pekerjaan. Rencananya esok dia akan langsung berkeliling kota untuk mencari-cari lowongan kerja. Ia mempersiapkan beberapa syarat-syarat umum yang dibutuhkan. Beberapa berkas yang perlu difotocopy akan menyusul besok. Cukup banyak yang ia persiapkan hingga tanpa terasa Azan subuh berkumandang. Sehingga ia lupa bagaimana waktu berjalan begitu cepat menyitanya dengan kesibukan. Firman membereskan beberapa berkas yang berserakan dan beranjak melakukan ibadah menghadap sang pencipta. Dalam doanya, ada permintaan untuk diberikan ketenangan pikiran, setidaknya untuk hari ini.

Pagi-pagi sekali Firman sudah rapi menenteng tas, perutnya masih belum terisi mengingat ia sama sekali tak punya persiapan apapun untuk sarapan paginya. Pak Bambang sedang menyirami tanamannya di halaman. Ketika melihat Firman keluar, ia lekas meletakkan selang air dan mematikan kerannya.

"Mau kemana? rapi bener, Mas? Masih gelap lho ini." sapa Pak Bambang menghampirinya. "Sini-sini duduk dulu, sarapannya masih belum matang kok sudah mau pergi?"

"Lho, Pak? Nggak usah repot-repot. Nanti saya sarapan di jalan aja."

"Sarapan di jalan, ketabrak nanti," gurau Pak Bambang terkekeh lirih. "Di sini kalau saya lagi mau masak ya saya masak. Penghuni kos lainnya juga biasanya sarapan bareng. Cuma kan ini masih jam setengah enam. Matahari aja belum muncul."

Diajaknya Firman duduk di bangku terasnya. "Mau ke mana?" tanyanya berulang.

"Nyari kerja, Pak."

"Lho... Mas, jangan dipaksakan. Istirahat dulu… tenangin pikiran dulu. Saya kan sudah bilang kalau butuh apa-apa tinggal ngomong."

Firman heran, kenapa Pak Bambang menyuruhnya untuk menenangkan pikiran. Dia bahkan belum pernah menceritakan masalah yang dialaminya kepada siapapun sejak kemarin. Termasuk status kebebasannya yang kini baru berjalan sehari. Sepertinya Kakaknya yang telah memberi tahu perihal kebebasannya kepada orang ini atau barangkali Pak Bambang memang orang yang bisa membaca pikiran hanya dengan menatap saja.

Pak Bambang mengambil koran yang kebetulan sudah ada dibawah meja terasnya. "Kayaknya ada beberapa lowongan pekerjaan, Mas, coba bikin lamaran dulu saja barangkali rezeki."

Firman menerima Koran itu, ketika akan membuka koran, Pak Bambang menyela. "Udah, nanti saja bacanya. Ayo sarapan ke dapur. Yang lain sudah menunggu." Mereka pun beranjak dari teras.

Di meja makan, beberapa penghuni kos lain sudah bersiap melakukan sarapan.

"Nah... Semuanya, kenalin ini penghuni kos baru… namanya Firman." Pak Bambang memperkenalkan. Firman bersalaman dengan mereka satu per satu, anggap saja penyambutan pertamanya sebagai penghuni baru, meskipun sebenarnya Firman masih belum siap berinteraksi dengan siapapun.

"Yang selalu pakai topi miring ini namanya Anton, dia kerja sebagai kurir Pos. Lalu ini yang badannya gendut namanya Joni, dia kerja di perusahaan operator. Nah ini yang lagi nyiapin sarapan namanya Mira, dia satu-satunya perempuan di sini. Pekerjaannya jadi SPG mobil."

Mereka menyambut ramah keberadaan Firman. Ketika mereka sudah mulai melakukan kegiatan sarapan bersama, perbincangan pun berlanjut.

"Mas Firman ini asalnya dari mana?" tanya Mira sambil sibuk mengunyah makanan.

"Saya lahir di Makassar. Tapi besar di Semarang."

"Wah, orang sulawesi juga," celetuk Anton. "Saya dari Manado, Mas."

Firman masih kaku dan malu-malu untuk sekedar menghidupkan perbincangan. Dia bukanlah tipe orang yang cepat berbaur, apalagi ini baru hari kedua menghirup udara segar.

"Nah, Mas Firman ini lagi nyari kerjaan, siapa tau diantara kalian ada yang bisa bantu," kata Pak Bambang seraya menuang air poci dalam gelas.

"Saya punya ide pekerjaan yang cocok buat Mas Firman ini." Joni mengucapkan kalimat dengan cepat.

"Jangan mulai, Jon," ujar Anton seolah sudah tahu apa yang akan temannya katakan itu.

"Mau denger nggak?" tanya Joni meneruskan. Firman mengangguk.

"Jadi Sejarawan." Joni meringis bangga bersiap mengatakan lelucon.

"Kenapa begitu?" tanya Pak Bambang.

"Karena di situ tidak ada masa depan." Joni berkata sambil tertawa terbahak. Namun tak ada seorang pun di situ yang juga ikut tertawa. Bahkan Anton merasa risih terhadap sikap Joni sampai sedikit menutup mulutnya dengan jemari.

"Anda nggak perlu bilang begitu, tolong ya, Mas. Jangan diteruskan." Firman berbicara dengan sikap dingin. Dia merasa tersinggung dengan apa yang Joni ucapkan.

Joni terkekeh pelan. "Cuma bercanda, Mas. Santai aja."

"Saya permisi dulu, Pak. Terima kasih sarapannya." Firman meraih tas nya dan pergi meninggalkan meja makan. Anton menepuk paha Joni. Joni mengaduh kesakitan.

"Emangnya salah, ya?" tanya Joni polos.

"Salah, bego. Belum kenal udah diajak bercanda." Anton menasehati.

Firman berada di dalam angkot, usai mempersiapkan beberapa berkas tambahannya, hari ini dia akan mencoba peruntungan dengan mendatangi beberapa tempat seperti toko, bengkel, pangkas rambut, dan rumah makan.  Dari pintu ke pintu dia coba tawarkan nama, dia harus meyakinkan dirinya sepanjang jalan, dia juga harus siap menerima berbagai penolakan.

Beberapa tempat yang ia datangi kebanyakan menolak, karena memang belum ada lowongan pekerjaan. Dengan sepatu pantofel serta kemeja putih, dia terus berjalan meniti langkah di atas trotoar. Sebuah plang bertuliskan lowongan pekerjaan menarik perhatiannya. Itu adalah tempat pelatihan menyetir. Maka Firman mendatanginya karena merasa mempunyai kemampuan itu.

"Maaf, Mas. Persyaratannya tidak lengkap," ujar seorang wanita paruh baya yang merupakan HRD di tempat itu.

"Tolong lah, Bu. Beri saya kesempatan."

"Bagaimana bisa anda menjadi instruktur menyetir kalau anda tidak punya SIM?" wanita itu bersikeras menolak.

"Biar saya tunjukan saja kemampuan saya," bujuk Firman setengah memohon. Si wanita hanya menggeleng tanpa berkata.

Kesiapannya untuk menerima segala bentuk penolakan rupanya hanya berlaku satu kali, setelah itu semangatnya langsung layu, tak ada lagi keinginan untuk melanjutkan niatnya untuk hari ini. Ternyata mencari pekerjaan tidak semudah yang dipikirkan. Rasa lelah memutuskannya untuk pulang. Ia sudahi hari ini dengan rutukan-rutukan kekesalan yang hanya ia luapkan dalam hati. Tetapi sebelum itu, dia harus menunggu seorang gadis SMA di halte. Firman masih menyimpan kalung emas miliknya.

Di halte, dia duduk menunduk lesu dipukul kenyataan hidup yang harus ia alami hari ini. Dia dihampiri seorang pria seumurannya. Pria itu tersenyum sumringah ketika Firman memandangnya.

"Firman!" serunya meriah seraya menunjuk wajahnya.

Selintas Firman bertanya-tanya siapa orang ini, namun ketika diperhatikan seksama sepertinya dia sangat mengenali pria ini.

"Wah... Elu rupanya, Golek!" Kemeriahan itu dibalasnya dengan tawa pula oleh Firman.

"Udah bebas lu, Fir?" Golek memeluk Firman. Pria bertato dengan rambut bergaya punk berwarna merah itu seolah melepas rindu dengannya.

"Apa kabar lu, Lek?" tanya Firman sambil melepas peluk dan memegangi bahunya. "Bukannya lu juga kena kasus dulu, ya?"

"Yah, gue mah kan ditahan doang seminggu, habis itu dibebasin," ucap Golek membanggakan diri. "Lu pasti lagi nyari kerja , ya?

"Kok lu tau?" kata Firman kembali duduk.

"Yah bisa ketebak kalau setelan pakaian lu begini" Sambil mencolek kemeja putih Firman.

Memang baru kali ini Firman melamar pekerjaan dengan baju rapi, mempersiapkan berkas-berkas layaknya orang-orang yang melamar pekerjaan dengan baik-baik.  Dia merasa terlambat dengan waktu yang sudah menghabisinya dengan kelakuan buruk. Penyesalan beribu-ribu bait yang mungkin sudah tertulis di kepalanya  hampir saja pecah menjadi luapan emosi, Firman masih bisa menahan itu.

"Iya, Lek." Wajah Firman muram. Dia menghela napas panjang. "Tapi belum dapet."

"Lah ngapain lu nyari kerja? Itu Bos Pras nungguin lu bebas dari dulu."

Mendengar pernyataan temannya itu, Firman mendadak merubah ekspresi wajahnya, secara bersamaan, sebuah angkot berhenti tepat di depan halte, Firman langsung beranjak menaikinya tanpa mau menghiraukan apa yang temannya ucapkan itu. Wajahnya kini semakin tak karuan setelah mendengar apa yang terkata dari mulut Golek. Ucapan Golek membuka keresahan Firman yang lain.

"Lu bisa dateng kapan aja lu mau, Fir...!" Golek berseru seolah paham dengan apa yang Firman pikirkan. Angkot pun kini meninggalkan Golek yang berdiri memandangi kepergian Firman.

Di dalam angkot, Firman merasakan letih yang begitu hebat. Begadang semalaman ditambah berjalan kaki seharian membuat rasa kantuk itu akhirnya datang. Posisi duduk di belakang membuatnya bebas untuk menyandarkan kepalanya pada kaca belakang angkot. Lagi-lagi mimpi buruk menyerangnya. Bayangan itu menampilkan ingatan ketika dirinya masih menjadi seorang tukang pukul bayaran bersama rekannya yang bernama Golek. Mereka bekerja di bawah naungan Prasetyo, orang yang paling berpengaruh bagi para pebisnis besar.

Malam itu di koridor hotel, Firman dan Golek mendapat perintah dari Prasetyo untuk memberikan ancaman kepada seseorang. Mereka masing-masing dibekali sebuah Raging bull dengan 20 butir hornet.

"Inget, Lek. Ini Cuma buat jaga-jaga aja, jangan sampe kepake," Firman mengingatkan sambil menyelipkan Raging Bull di pinggangnya.

"Kalau terpaksa, bisa aja, Fir." Golek menanggapi sambil berjalan cepat menyusuri koridor. Celana jeans dan jaket kulit maroon menjadi seragam mereka berdua. Secara tanpa di duga, Golek menekan pelatuk Raging Bull dan menembakkan ke arah kamera CCTV yang terpasang di setiap sudut. Firman marah hingga memojokkan badan Golek dan memiting lehernya.

"Apa-apaan lu!? Ini bukan bagian dari rencana!" Firman memarahinya dengan setengah berbisik.

"Santai aja, Fir. Lu mau kita dipenjara?" bantah Golek. Firman melepaskan pitingannya dan berlanjut jalan. Dengan hati-hati Firman mengetuk pintu kamar bernomor 115. Dibukanya pintu itu oleh penghuninya. Tanpa berlama-lama, Firman langsung mendorong masuk seorang lelaki paruh baya yang menghuni kamar itu dengan menodongkan senjatanya. Golek menyusul dan menutup pintu dari dalam. Seorang wanita muda tanpa busana yang hanya menutupi tubuhnya dengan selimut berteriak dari ranjangnya melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba. Namun teriakan itu terhenti ketika Golek menodongkan senjata ke arah si wanita sambil memberi tanda menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. Wanita itu hanya mengangguk ketakutan.

"Cepet bilang! Di mana surat perjanjiannya?" ancam Firman kepada lelaki paruh baya itu.

"Saya seorang pebisnis, saya menandatangani banyak surat perjanjian. Surat yang mana?" Lelaki itu setengah ketakutan dengan tubuh yang sudah terpojok dan tangan yang gemetar.

"Cafe Madona, bulan maret 1999." Firman menjelaskan sambil dia berjaga-jaga, sementara Golek sibuk menggeledah sekitar.

"Saya nggak mungkin bawa-bawa surat ke hotel." Teriak laki-laki itu dengan percaya diri namun nampak gugup, ia sepertinya sedang berusaha mengelabui.

Golek membuka lemari dan menemukan tas hitam di dalamnya, ia tak percaya begitu saja omongan laki-laki itu. Dibukanya tas itu, banyak berkas berserakan tak tersusun rapi. Namun, hanya ada satu kertas yang menarik perhatiannya.

"Saya nggak percaya sama orang macam anda yang selalu bawa tas kerja kemana-mana." Ditunjukannya kertas itu tepat sejengkal di depan wajah si lelaki. "Ini apa?"

Golek melotot dan mendekatkan wajahnya, si lelaki meludahi wajah Golek secara tiba-tiba, hingga dia pun meradang. Ditembakkannya Raging Bull tepat di kepalanya hingga si lelaki tewas. Wanita itu kembali menjerit sebelum akhirnya Golek menembak jantungnya tiga kali. Firman hanya memalingkan wajahnya ke arah lain tak ingin melihat aksi Golek yang brutal.

Firman menarik napas panjang sambil membuka kedua matanya, suara tembakan masih mendengung ditelinganya, membuat dia tergagap menatap sekelilingnya. Supir angkot membangunkannya memberitahu bahwa tujuannya sudah sampai.

 

***