"Eva, tenangkan dirimu! Lue, Sera. Bantu Eva pergi!"
Misha berkata dengan tegas pada duo E, keduanya sontak mengangguk dan membantu Eva yang tersungkur dilantai untuk berdiri.
"Saya tidak tau kenapa anda malah membela nya, tapi jelas hal ini sangat tidak adil. Saya akan mengurus surat pemberhentian anda," ujar Misha dingin pada pak Ridwan, ia melangkah di ikuti Anes, duo E dan Eva yang ada di rangkulan duo E.
Semua orang tampak terdiam menyaksikan kejadian tadi, tak ada yang mampu berbicara bahkan setelah lima menit Misha meninggalkan area kantin.
Rayala yang dihajar habis-habisan oleh duo A dan E pun tak sadarkan diri, sedangkan pak Ridwan yang menyesali perbuatannya pun terdiam ditempat.
***
Misha terlihat sedang membaca novel kesayangannya, di sampingnya terdapat Eva yang tengah melamun. Setelah pergi dari sekolah, Misha dibawa kerumah sakit. Wajah Misha mendapat 5 kali jahitan, luka diwajahnya terlihat lurus kesamping dari kening tengah ke pipi kanan.
Dengan mata kanan yang dibalut perban, Misha membaca novel kesayangannya. Helaan nafas terdengar kencang, Misha mau tak mau menatap asal suara bingung.
"Va, lu gapapa?" tanya Misha dingin seperti biasanya, ia meletakkan novel dipegangnya ke nakas Rumah sakit.
"Harusnya gue yang nanya kek gitu,"
Kata Eva pelan, ia menghela nafas dan menatap luka Misha yang sudah terbalut perban.
"Gak, tadi gue memukul elu. Maaf," Selesai menggeleng Misha menggumamkan kata 'maaf' sambil memejamkan kedua matanya.
"Hmm, Gak masalah.. Salah gue juga sih ngamuk kek gitu," ucap Eva mengangguk.
"Udah gak sakit lagi?"
Setelah terdiam sebentar Eva menatap Misha khawatir. Melihat adiknya khawatir, bukannya menjawab Misha malah tersenyum senang. Dia menyingkap selimut Rumah sakit dan memeluk adiknya itu.
"Rasa sakit gue udah hilang kok,"
Jawab Misha lembut. Ia mengelus surai pirang Eva dengan penuh kasih sayang, Misha sangat berterimakasih karena diberikan adik kembar seperti Eva. Meski kadang menyebalkan, adiknya itu sangat berarti bagi nya.
Srekk..
"Oi!" pekik Misha tertahan, ketika dengan wa-ta-dos-nya Eva menarik seragam Misha kebelakang.
"Ini kenapa?" Dingin. Eva bertanya dengan nada yang dingin pada kakaknya.
"Gak papa kok, tenang ih!" rengek Misha menjauhkan adiknya dari pelukan.
"Putar balik!"
Titah Eva membuat Misha menggeleng kuat, matanya berkata jangan pada Eva. Dia tak ingin memperlihatkan luka punggungnya didepan adiknya.
"Kak Misha! lakukan!" Eva semakin melotot saat Misha menolaknya, Misha menghela nafas dan pasrah karena tak tahan.
Misha berbalik dan membuka seragamnya, terlihat lah luka luka khas dari cambuk dipunggungnya. Eva menutup mulutnya shock dan menatap kakaknya tak percaya.
"Kak! lu habis ngapain?!" seru Eva.
"Gaada ngapa-ngapain,"
Balas Misha cepat, dia tak ingin adiknya tau dirinya menyiksa tubuhnya karena suatu masalah.
"Jangan bilang lu menghukum diri sendiri karena gue bersedih kemarin?" tanya Eva horor.
"Enggak kok, gue cuma main sama cambuk" jawab Misha tanpa menatap Eva yang mencari kebenaran.
Helaan nafas kasar terdengar dari mulut Eva, mendengar itu Misha melirik adiknya takut-takut. "Kak.. Udah gue bilang, kalau gue sedih itu bukan karena lo. Jadi gak perlu lu nyalahin diri sendiri trus nyiksa diri kek gini!" omel Eva, mendengar itu Misha meringis.
"Eva.. Kesedihan lo berawal dari gue, jika saja gue gak memaksa buat jalan sama Lucas. Pasti Shakeel gak salah paham," ungkap Misha memejamkan mata.
Pletak..
Eva menjitak kakaknya itu kencang, sampai meninggalkan bekas di kening mulus kakaknya.
"Gak, ini gaada hubungannya sama lu! Mulai sekarang, tolong stop menyakiti diri karena gue!"
Setelah memberikan titah. Eva pamit sebentar untuk membeli salep, begitu Eva keluar Richard masuk dan berdiri disamping ranjang yang Misha duduki.
"Apa perlu saya bereskan akar masalahnya?" tawar Richard.
Misha tak menjawab, ia menatap pemandangan dari lantai 4 rumah sakit yang ia tinggali sekarang. Memikirkan apa perlu mencari dalang dibalik pisau yang ada di salad buahnya.
"Selidiki, cabut akarnya." dengan dingin dan singkat Misha memberi perintah, Richard mendengarkan ucapan tuannya sampai selesai.
"Aku yakin masalah tadi itu sebenarnya untuk Eva, karena kami kembar sepertinya orang itu salah mengenali kami. Aku tak ingin Eva dalam masalah kedepannya," tegas Misha panjang lebar.
"Baik Miss, akan saya bereskan. Harap anda lebih berhati-hati setelah ini," ucap Richard membungkukkan badannya sebentar.
"Miss," panggil Richard, membuat Misha menoleh.
"Ada apa bang Richard?" tanya Misha.
"Pentingkan diri anda juga, jangan hanya melindungi keluarga. Anda juga harus melindungi diri anda sendiri supaya bisa senantiasa menjaga keluarga anda," pesan Richard.
Misha tersenyum mendengar pesan dari Richard, ia memejamkan matanya bahagia dan menatap Richard tenang.
"Tentu saja aku akan melakukannya," balas Misha tersenyum.
"Miss, jika anda kenapa-napa Gold Moonlight akan hancur. Kami hanya bisa berpegang pada anda seorang Miss," terang Richard serius.
"Baiklah, baiklah.. Kalian memang keluargaku yang luar biasa! Beritahu semua keluarga Gold Moonlight, setelah luka ku sembuh kita akan berpesta besar besaran!" seru Misha senang.
Richard memasang senyum diwajah yang biasanya serius, ia senang karena pemimpinnya adalah Misha. Tak salah ia memegang tangan Misha saat tengah dijemput Raevon, salah satu gangster berbahaya.
"Kak, gue udah nemu salepnya.." ucap Eva memasuki ruang Misha.
Richard dan Misha menegang saat mendengar suara Eva, apa adiknya itu mendengar pembicaraannya?
"Lagi membicarakan tentang apa?" tanya Eva menerjabkan matanya, Misha maupun Richard diam-diam menghela nafas.
"Membahas apa yang harus gue makan," balas Misha santai.
"Tolong belikan aku nasi padang yah, bang Richard."
Richard mengangguk faham, ia menatap Eva guna bertanya apa adik tuannya itu juga ingin atau tidak. Eva juga ikut memesan nasi padang karena tergiur.
"Ayo cepat buka seragam lo lagi!" titah Eva segera sambil berseru.
Misha tersenyum dan membuka kembali seragamnya, dia menyingkirkan rambut pirangnya kesamping dan menatap pemandangan kota Jakarta dari balik jendela.
"Kalau sakit bilang, biar gue pelanin" saran Eva diangguki Misha.
Eva mulai mengoleskan salep yang ia beli di apotek ke punggung Misha, ia meringis melihat bekas cambukan yang tak sedikit dipunggung kakaknya.
"Kek nya gue kudu menyita semua barang berbahaya dikamar lu kak," celetuk Eva.
"Gak guna sih. Biar lu sita, gue juga bisa bikin barang baru" balas Misha santai.
Puk..
Eva menampol kepala Misha dari belakang, apa kakaknya itu tidak bisa serius saat ia tengah mengancam?
"Gue serius ih!"
"Siapa yang bilang lu becanda?"
Misha berbalik menatap adiknya, alis sebelah kiri nya terangkat dengan senyum menyebalkan terpajang di wajah Misha. Eva mendengus kesal, untung kakaknya itu sedang sakit. Jika tidak ia akan menyakar wajah jahil kakaknya.
"Udah," Eva memberitahu kalau pekerjaannya sudah selesai, dia beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangannya.
"Suapin ya," Misha menampilkan wajah memohon pada adiknya, Eva yang tak dapat menolak pun hanya mengangguk pasrah.
Eva membuka kantong plastik yang berisi dua nasi padang, memindahkan nya ke piring dan menyuap lebih dulu.
"Enak," goda Eva, godaan Eva membuat suara gemuruh perut Misha terdengar. Ia terbahak karena berhasil membuat kakaknya kesal.
"Ih, jangan iseng! Gue laper," rengek Misha tak suka.
"Hahahaha! Iya, maaf." kekeh Eva dan menyuapi Misha.
"Dih, kok lauk nya gak dimasukin? Cuma nasi sama sayur doang?" Misha memprotes pada adiknya karena hanya diberi nasi tanpa lauk oleh Eva.
"Orang sakit gaboleh makan daging!"
***