Misha membawa Eva ke kantin untuk mengisi perut adiknya itu, dari tadi malam, Eva sama sekali belum menyentuh makanan atau minuman. Adiknya hanya melamun di balkon sepanjang malam, jika saja Misha tidak iseng main ke kamar Eva, kemungkinan. Sampai pagi pun adiknya itu masih duduk termenung.
"Makan, Eva..." ucap Misha terdengar sedih, ia mendorong sepiring sandwich pada adiknya, menatap Eva yang sedari tadi terdiam.
Oke, adiknya itu sepertinya benar-benar terguncang. Ingin rasanya Misha menembak mati pria pembawa sial itu, selama 17 tahun dirinya hidup, hanya kali ini Misha melihat Eva se linglung ini!
"Kakak suapin yah?" saran Misha menyuapkan sepotong sandwich kepada Eva.
"Kak, gue engga laper..."
Eva menolak sandwich yang di suapkan oleh sang kakak, dari suara saja Misha tahu. Adiknya itu lemas karena tidak makan dari tadi malam.
"Eva... Dengerin kakak, kamu harus makan! Gaada penolakan!" tegas Misha, mendengar suara kakaknya yang sudah menggunakan kata Aku-Kamu, Eva segera duduk tegap.
"Tapi kak--"
"Aaa!"
Hap
Tidak bisa di bantah, itu lah arti dari aura yang keluar dari Misha. Eva pun hanya bisa membuka mulut dan mengunyah sandwich, menatap piring di depannya yang masih terdapat tiga sandwich. "Ini... Harus di habiskan?"
Pertanyaan Eva mendapat anggukan dari Misha, "Ya, tentu saja. Kamu belum makan dari kemarin. Jangan membuatku marah dengan tidak menghabiskan sandwich ini,"
"Baiklah."
Eva pasrah, kakaknya sudah sangat lembut pada dirinya. Tentu saja ini bukan hal yang baik, jika ia tidak menuruti perkataan Misha, nyawa nya mungkin saja melayang.
Setelah selesai makan keduanya masuk ke kelas 11 Ipa 2, perut Eva sangat penuh sekarang. Namun, Mood nya sama sekali tidak kembali, ia masih berjalan dengan lesu.
"Pagi Mish, Va..." sapa Duo A dan E yang sudah ada terlebih dahulu di kelas.
"Lu ngapain Nes?" tanya Misha heran, Anes, sahabatnya itu tengah duduk di meja Arif Ramdhan, remaja nerd di kelasnya.
"Make up in Arif, Mish... Kali aja bocah satu ini jadi ganteng pas gue dandan-in," ceplos Anes tanpa mengalihkan perhatian nya dari rambut Arif.
Selesai menyisir rambut remaja itu, Anes celingukan mencari sesuatu, tidak mendapati barang yang ia cari, Anes berteriak.
"HEH! ADA YANG PUNYA POMADE GAK?!"
Teman sekelasnya hanya menoleh sebentar dan kembali ke aktivitas mereka masing-masing, mengabaikan pertanyaan keras dari Anes.
"Ck, punya temen sekelas kok, pada tuli!" gerutu Anes berkacak pinggang, mata hitamnya menatap dengan jeli setiap kepala teman sekelasnya. Saat menemukan sasaran, Senyum licik Anes terpampang jelas, "Woi! Richo! Lo pikir gue gatau kalo situ makai pomade? Sini!" titah Anes mengulurkan tangan kanannya.
Mendengar namanya di perintahkan oleh Anes, Richo berdecak sebal, ia merogoh kantong celana abu-abu khas SMA dan melempar pomade miliknya pada Anes.
Hap!
"Thanks bro!" ujar Anes nyengir.
Segera saja Anes membuka pomade yang ada di tangannya, dan mengusapkan pada rambut Arif. Ia kembali menyisir rambut remaja didepannya dan tersenyum puas, sekarang tinggal mengganti kacamata kotak milik Arif!
"Minus lu berapa?" tanya Anes sambil mengotak-atik ponsel pintarnya. Arif melirik Anes dari pantulan kaca dan berkata, "-1.5"
Anes mengangguk paham, ia segera membayar pesanan yang sudah di tetapkan. Beberapa menit kemudian kurir paket di antar menuju kelas 11 Ipa 2 oleh Security, setelah menerima dan berterima kasih, dengan girang Anee berjalan menghampiri Arif.
"Buka mata lo, lebar-lebar!" titah Anes setelah membuka paket pesanannya. Arif menurut saja, Anes itu pemaksa, jadi ia tidak bisa menolak suruhan Anes.
"Congratulations! Mulai sekarang, lo bakal jadi cowo tampan!" pekik Anes membuat semua mata tertuju pada mereka berdua.
Mereka segera mendekat dan berdecak kagum dengan hasil kerja keras Anes, gadis itu bisa mengubah seorang nerd menjadi pria tampan!
Bahkan Misha yang tengah membujuk Eva untuk kembali makan, dan Eva yang terus menolak bujukan kakaknya, ikut menoleh. "Apa yang di lakukan olehnya?" gumam Eva mendapat gidikan bahu dari Misha.
Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang di lakukan oleh sahabatnya, Misha hanya menatap Arif sebentar lalu kembali membujuk Eva. "Ayo lah Evaa, makan ini..." rengek Misha.
Eva menolak dengan tegas, ia berkata, "Kak, stop sebentar napa! Aku kan tadi baru makan 5 sandwich!"
Sopankah, bagi seorang kakak menyuruh adiknya yang jelas-jelas sudah makan, dan itu pun memaksanya? Tidak, apa Misha mengira perut Eva terbuat dari galon air?
"Kak, gue udah makan tadi. Barusan," ucap Eva guna memberitahu sang kakak. Misha hanya mengangguk dan menyuapkan makanan itu ke mulutnya.
"Yaudah, tapi jangan sedih kek gini lagi! Tar gue suruh makan lebih banyak dari hari ini," ujar Misha adanya. Yah, terserah kakaknya itu saja lah!
****
Miawww
"Laper yah?" tanya Eva pelan, tangan kirinya terus mengusap lembut kucing di pangkuannya, sedangkan tangan kanannya merogoh saku almamater.
Eva mengeluarkan sebungkus sosis dan menyodorkannya pada kucing, tentu saja setelah ia membukakan kulitnya. Melihat kucing itu makan dengan lahap, senyum Eva muncul.
"Gak kepikiran buat loncat lagi kan?"
Sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari Misha yang bahkan Eva tidak tahu kapan kakaknya itu duduk di samping nya. "Kapan kau duduk di sana kak?" tanya Eva mengerjap pelan.
Eva melihat senyum menawan dari sang kakak, "Baru kok, kakak curiga pas engga lihat adek kesayangan." terang Misha. Mata Eva memutar jengah saat mendengar itu, "Aku gak pengen lompat kok," tegas Eva diangguki Misha.
"Tau kok, kalo pun loncat. Kakak gak ngizinin kamu pergi," ungkap Misha, ia melanjutkan, "Sudah cukup main cinta nya yah dek, sekarang pokus sama Black Moonlight."
Benar juga kata kakaknya itu, ia tidak pernah bertegur sapa sangat lama seperti kakaknya. Bukannya terlihat seperti anak buah, anggota Gold Moonlight justru terlihat seperti keluarga besar.
Itu dampak dari Misha yang selalu mendekatkan diri pada semua anggotanya, melihat rasa perhatian dari pemimpin Clan besar itu, hati anggotanya tergerak untuk selalu bersama dengan Gold Moonlight.
"Eva... Dengarkan kakak, jangan pernah kau urusi pria brengs*k itu lagi. Pria sepertinya tidak pantas diperjuangkan, Kau harus bisa melupakannya demi kebaikanmu sendiri."
Hening. Eva sama sekali tidak membantah, ataupun menjawab perkataan sang kakak. Ia hanya mendengar nya baik-baik sambil terus mengelus kucing di pangkuannya.
"Ngomong-ngomong, siapa nama kucing di pangkuanmu?" tanya Misha penasaran.
"Babi."
Mata Misha membola, "Kamu ngatain kakak, Babi?" tanya Misha terkejut. Kakaknya itu salah paham! Eva segera menggeleng dan menjelaskan maksud perkataannya barusan.
"Bukan kak, nama kucing ini Babi" terang Eva membuat Misha mengangguk paham, "Owalaaa, gitu toh!" ujar Misha terkekeh pelan.
"Salam kenal yah, Babi..." ucap Misha mengelus kepala kucing di pangkuan Eva.
"Eva?"
Suara pria yang sangat dikenali oleh keduanya terdengar, sorot mata Misha menjadi dingin. "Mau apa lo?" tanya Misha sinis.
"G-Gue cuma ma--"
"Pergi atau gue dorong lu!" kecam Misha memotong perkataan Shakeel. Ya, yang bersuara itu adalah pria yang baru-baru ini Misha benci.
"Cuma mau nga--"
****
Ara ara~
Makasih udah baca yaaa
luv yuu