webnovel

RUSAK

"Tumben banget loe ikut nongkrong bareng kita?" tanya Bastian, siswa SMA Pertiwi yang dulu memiliki status sahabat untuk Anggara waktu SMP.

"Gue banyak pikiran, lagian bosen aja dirumah." Anggara hanya meneguk botol air yang ada ditangannya.

"Yakin loe bosan? mau gantian maen PlayStation gak?" tanya Bastian yang langsung ditolak mentah-mentah oleh cowok itu.

"Palingan juga masalah pacar!" ikut Justin yang saat ini sedang sibuk beemain PlayStation yang ada didalam kamar bastian.

"Bukan juga sih bro, masalahnya gue gak bisa cerita."

"Kalau loe gak bisa cerita, ngapain juga loe capek-capek datang ngumpul bareng kita? Dengar ya bro, kita nih teman loe dari SMP jadi kalau loe ada masalah bilang aja biar kita bantu beresin."

"Benar tuh kata Bastian." sambung Justin.

"Untung gue punya sobat solid kayak loe berdua." ucap Anggara seraya tersenyum senang, walau sebenarnya ia masih sulit untuk berterus-terang kepada kedua sahabatnya ini mengenai segala hal Yang telah menimpa kehidupannya saat ini.

"Jadi gimana? loe mau cerita gak?"

"Menurut loe berdua, salah gak sih kalau gue gak-" ia mulai ragu dan menghentikan perkataannya tersebut padahal justin sudah bela-belain menjeda gamenya hanya untuk mendengarkan keluhan dari Anggara.

"Loe kalau ngomong tuh dikelarin dulu deh, buat kesal aja nih orang." tukas Bastian yang memang dikenal suka blak-blakan kalau ngomong sejak SMP, dan kalau dibandingkan dengan Anggara bisa jadi ia berada diperingkat atas dari posisi Anggara saat ini.

"Tenang kali bro, gue harus merangkai kata dulu."

"Mau buat surat cinta loe sampai harus merangkai kata dulu?" sindir Bastian yang sudah sangat mengenal watak teman sohibnya itu, meskipun diluar Anggara selalu bersikap cool dan tenang tetapi sebenarnya Anggara memiliki kepribadian yang satu frekuensi miripnya dengan Bastian kalau mereka udah saling kumpul.

"Bukan gitu juga, jadi gue itu gak sengaja ngelakuin sesuatu hal yang fatal dan gue bingung gimana cara memperbaikinya."

"Emang sefatal apa bro?" tanya Justin yang tertarik pada topik masalah Anggara.

"Gue mencium bibir cewek."

"Loe udah punya cewek , bro? atau cewek orang?" tanya Bastian yang tidak bisa mengendalikan gelak tawanya, karena setahu dia kalau Anggara masihlah belum berpengalaman soal percintaan dan ini adalah suatu kabar yang bukan hanya mengejutkan saja tetapi juga menggelitik perutnya.

"Udah gak usah tanyak lagi, intinya gimana cara buat dia gak marah lagi?" Anggar berusaha tidak memberikan jawaban lebih banyak lagi, sebab mana mungkin juga ia harus berterus-terang kalau cewek yang sebenarnya sedang dibicarakannya ialah tunangannya sendiri mengingat usia mereka juga masih muda untuk masuk ke jenjang itu.

"Terserah loh deh, emang gak pernah asyik loe akhir-akhir ini." keluh Justin yang langsung kembali melanjutkan gamenya seakan-akan ia telah kehilangan minat untuk mendengarkan masalah temannya itu, berbeda pula dengan Bastian yang langsung bersikap seolah-olah ia sudah cukup berpengalaman menangani kasus tersebut.

"Menurut gue sih loe minta maaf aja langsung sama dia, loe katakan sebenarnya kalau loe itu gak sengaja atau loe mohon-mohon deh biar bisa dapatin maaf dia. Lagipula loe sih pakai acara nyium anak orang, untung aja gak diaduin ke orang tuanya kalau gak udah disebut pelecehan tuh."

"Tapi gue takut dia jauhin gue, gimana? gue emang sih gak punya perasaan sama dia tapi rasanya mau mati kalau semenit aja gak bisa bertemu saja dia dan memastikan kalau dia baik-baik aja."

"Loe aneh ya, kalau gak suka terus ngapain haru khawatir?"

"Gue juga bingung, udahlah gue mau tidur dulu bentar dikamar loe." Anggara langsung beranjak keatas ranjang Bastian dan tidak perlu hitungan detik dirinya langsung memejamkan mata saat itu juga dan berpura-pura tidur disana.

Ia tidak memperdulikan omelan Bastian yang mengeluh padanya, padahal tadi Anggara sudah janji taruhan tanding game bersama tetapi malah ditinggal tidur begitu saja.

Dan dalam lamunannya, kini entah kenapa ia kembali teringat akan kejadian tadi yang benar-benar membuatnya sangat malu dan menyesal.

Entah kenapa ia merasa kalau sampai ia tidak bisa mendapatkan maaf dari Sarah, maka ia tidak ada bedanya dari sang kakak dan sebenernya hal inilah yang sangat tidak diinginkan olehnya.

Hingga tidak terasa suara telepon berdering dihandphonenya langsung membuyarkan lamunannya, ia segera bangkit dan mengangkat panggilan itu saat melihat nama Tante Amel .

"Apa terjadi sesuatu, tante?" tanya Anggara, tetapi tidak ada satupun Jawaban jelas yang didengarkan olehnya selain isak tangis tante amel yang membuat Anggara langsung panik.

"Tante?" tanya Anggara lagi sampai suaranya membuat terkejut Bastian dan Justin saja.

"Kesini sekarang, tante mohon!"

"Baik tante, Angga sekarang kesana ya." ucap Anggara yang mulai merasa semakin khawatir, ia langsung buru-buru mengambil ranselnya dan kunci motornya yang ada disofa yang ada didekat ranjang kamar Bastian.

"Loe mau kemana,bro?" tanya bastian.

"Ada urusan, gue cabut ya!" teriak Anggara yang langsung pergi saja.

Bahkan saking terburu-burunya, ia sampai tidak lagi mempedulikan sisa bensinnya yang hanya bisa cukup sampai rumah Sarah saja, Padahal kalau diingat-ingat rumah Sarah itu sangatlah jauh dari pom bensin.

Dengan kecepatan penuh, ia membawa motor secara ugal-ugalan yang mana untung saja tidak ada razia dijalan raya saat itu .

Dan begitu tiba dirumah Sarah, ia langsung saja masuk tanpa membuka alas kaki terlebih dahulu dan mendapati tante amel sedang berdiri di dapur dengan tangisan histeris.

"Tante?" tanya Anggara yang mula bingung, ia langsung mendekati tante amel sampai akhirnya ia melihat jelas apa yang sebenarnya telah terjadi saat ini.

Disudut rak dapur, ia bisa melihat jelas ada Sarah yang sedang memegang pisau ditangannya dengan wajah yang enggak kalah sembab dari Tante Amel.

Sarah terlihat seperti orang yang sedang berniat ingin melukai dirinya sendiri, kedua tangannya tampak gemetaran dan pandangannya seperti orang linglung yang sangat ketakutan.

"Tolongin sarah, tante mohon!" pilu Tante Amel pada Anggara, ia sepertinya telah kehilangan akal untuk menenangkan Sarah yang mulai kambuh kembali.

"Anggara coba ya tante." ucap Anggara yang tidak berniat bertanya lebih jauh apa yang sedang terjadi pada tunangannya itu, namun yang jelas kejadian tadi bisa saja penyebab Sarah menjadi kambuh seperti ini.

"Sarah, ini aku!" ucap Anggara yang langsung melepaskan ranselnya ke lantai, dan berjalan perlahan-lahan mencoba mendekati gadis itu.

"Aku gak mau lihat kamu, Anggi brengsek!!!" jerit Sarah yang langsung panik saat menyadari langkah Anggara yang berjalan kearahnya.

"Ini aku Anggara, bukan Anggi. Aku tunangan kamu." ucap Anggara yang langsung berhenti sejenak, ia juga tidka mau ambil resiko kalau Sarah akan berbuat nekad bila ia berjalan mendekati Gadis itu.

"Tunangan aku? Kamu gak ada bedanya sama Anggi, kamu juga mau buat yang macem-macem sama aku kan?" teriak Sarah yang kembali menangis.

"Aku gak bakal macem-macem sama kamu Sarah, aku janji."

"Pembohong!!! Kamu pasti mau pakai aku lagi kan? terus habis itu kamu bakal ninggalin aku kayak cowok brengsek itu!!!"

"Aku ini tunangan kamu, aku bakal setia sama kamu." ucap Anggara, ia mulai mempercepat langkahnya seraya tetap memastikan Sarah tidak melukai dirinya sendiri.

"Terus kenapa kamu tadi cium aku? atau jangan-jangan kamu cuman anggap aku cewek sampah karena udah gak suci lagi? kamu jahat!!!" teriakannya yang kini semakin mengelantur saja, ia bahkan enggan untuk menatap langsung wajah Anggara dan terus-menerus Sarah mengelap bibirnya dengan punggung tangan kiri.

"Kamu itu berharga buat aku, jadi aku mohon-"

"Berharga? tapi aku merasa udah gak ada harganya lagi dan lebih baik... lebih baik aku mati aja!!!" teriaknya yang langsung secara membabi-buta mengarahkan pisau itu keperutnya.

Untung saja respon Anggara yang cekatan langsung menahan ujung pisau itu dengan tangannya, ia berlari snagat cepat menghampiri Sarah dan menahan pisau itu sampai telapak tangannya sendirilah yang mulai berdarah dan noda darah itu kini mengenai baju tidur Sarah.

"Lepasin!" ucap Sarah yang berusaha keras mengambil pisau itu lagi, tetapi tetap saja tenaganya masih kalah jauh dari Anggara apalagi fisik Sarah yang masih lemah tidaklah cukup melawan Anggara.

Anggara yang dibantu oleh tante amel, langsung menyingkirkan jauh-jauh pisau itu dan memeluk erat tubuh Sarah yang benar-benar pucat.

Ia tidak lagi menyadari rasa sakit ditelapak tangannya, hanya perasaan takut saja yang mulai memenuhi isi pikirannya.

"Tante, boleh minta tolong telepon dokter nya Sarah sekarang." ucap Anggara.

"Tangan kamu, nak?"

"Gak usah khawatir Tante, Sarah jauh lebih utama." ucap Anggara yang langsung dituruti oleh tante, sedangkan Anggara masih tetap memeluk Sarah.

"Tenanglah Sarah! aku hampir saja kehilanganmu semenit yang lalu, aku mohon tenanglah."

"Kenapa gak biarin aja aku mati? Aku udah gak ada gunanya lagi, semuanya udah rusak dan gak berharga lagi semenjak hari itu." bisik Sarah yang mulai membiarkan Anggara memeluknya erat-erat.

"Maafin aku ya." sesal Anggara yang semakin erat memeluk Sarah seraya menatap cincin tunangan yang ada di jarinya.