Elise merebahkan diri di atas tempat tidur, selimut menutupi seluruh tubuhnya, bantal pun menutupi kepalanya. Tadi setelah mengantar Daniel kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari mall, hujan turun sangat deras. Deras sekali, di sertai kilat dan petir dia hampir saja menyerah untuk menyetir pulang karena perasaan takut ketika melihat petir dan kilat yang saling menyambar. Karena nekat dia akhirnya sampai di rumah dengan si sambut wajah khawatir milik kakaknya.
Elise turun dari mobil tapi kakinya terasa lemah, dia hampir tersungkur kalau tidak di sambut oleh Arka.
"Kenapa kau pergi sendirian!"
Itu adalah kata terakhir yang di dengarnya sebelum dia jatuh pingsan. Yah, dia phobia terhadap petir dan kilat, sebut saja itu kenangan buruk masa kecil yang tidak bisa di hilangkan.
Elise semakin bergelung di bawah selimut tidak menyadari kalau Arka datang membawa MP3.
"Elise.. hei.. Elise.. ini kakak! Jangan takut! Ada kakak di sini!" Elise pun membuka selimutnya dan melihat senyum hangat kakaknya dia pun ikut tersenyum.
"Kakak.."lirihnya pelan.
Arka mengangguk "Ya, kakak.." bisiknya "Sini.." Arka memasangkan headset ke telinga Elise dan memutar lagu instrumen yang bisa menenangkan "Ini akan membuatmu lebih baik, sekarang tidurlah pejamkan matamu, kakak akan menjagamu di sini.."
Elise menggeleng "Tidak apa-apa! Kakak sebaiknya juga kembali ke kamar! Aku sudah baik-baik saja. Jangan lupa aku mendengarkan ini!" tunjuk Elise pada headset di telinganya.
Arka tersenyum tipis dan mengangguk "Baiklah! Jika butuh sesuatu panggil kakak!"
Elise mengangguk "Mmm.." setelah kepergian Arka Elise jauh lebih tenang dia tidak lagi mendengar suara petir. Sesaat kemudian pikirannya melayang ke kejadian di toko pakaian. Ah tentang pakaian yang dia beli untuk kakaknya tertinggal di dalam mobil. Dia akan mengambilnya besok.
Elise sesaat dia masih belum bisa mempercayai apa yang terjadi selama di toko pakaian tadi, sungguh semuanya bagaikan mimpi. Wajah yang selama ini menghantuinya berdiri tepat di hadapannya, wajah itu semakin dewasa dan tegas. Elise tidak bisa lagi membayangkan wajah muda Arsen. Dia tidak pernah berpikir kalau akan bertemu dengan orang yang begitu mirip dengan Arsen membuat ingatannya tentang bocah itu kembali bangkit. Dia juga tidak akan pernah menyangka akan mendengar suara itu lagi, senyum itu lagi, serta tatapan mata yang selalu menggetarkan hatinya.
Sungguh dia sangat merindukan sosok itu, dan perasaan menyesal selalu menyelimutinya, seandainya saja dia terus menghubunginya mungkin semuanya tidak akan seperti ini.
Pria itu begitu mirip dengan Arsen tapi mereka sepertinya orang yang berbeda atau itu benar-benar Arsen tapi memilih untuk pura-pura tidak mengenalnya! Kenapa? Apakah dia marah? Atau membencinya?
Jika benar itu Arsen yang memilih pura-pura tidak mengenalnya karena membencinya. Dia tidak akan bisa melakukan apa-apa, karena itu memang salahnya. Dia mungkin tidak akan bisa menahan air matanya kalau saja pria itu benar-benar Arsen-nya. Dia mungkin tidak akan sanggup menatap matanya kalau saja dia benar-benar Arsen dari masa lalunya.
Sungguh dia tidak akan bisa berkutik di hadapannya. Tidak akan pernah bisa. Tapi kenyataannya memang berkata lain, dia bukan Arsen-nya. Padahal Elise sangat berharap bisa berjumpa lagi dengan bocah itu. Memikirkan kenangan yang pernah mereka lalui dalam waktu singkat itu saja sudah membuat hatinya seakan tertusuk. Masa lalu selalu yang membuat nya harus memilih. Andai saja... Ah, kenapa dia kembali memikirkan masa lalu itu?
Elise menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan semua pikiran-pikiran aneh di kepalanya. Dia tidak ingin mengingatnya karena akan selalu membuat nya sakit karena merindu. Karena perasaan yang di milikinya masih utuh untuk bocah itu.
Elise kembali menghela napas dan berusaha memejamkan matanya, hingga akhirnya dia terlelap, membawa semua pikirannya yang bergelayutan memenuhi otaknya. Ke dalam mimpi.
****
Arsen berdiri tegak di dekat jendela besar kamar hotelnya. Menatap keluar jendela, memperhatikan mobil-mobil yang hanya tinggal beberapa saja yang berlalu lalang di bawah sana, hujan sudah berhenti sejak satu jam yang lalu meninggalkan jejak embun pada kaca jendela. Dia melirik jam di kamar hotelnya, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Dia menghela napas.
Seulas senyum tersungging di bibirnya, dia kembali teringat pada wajah Elise, gadis itu masih tetap sama dengan sebelumnya padahal waktu sudah berlalu bertahun-tahun tapi dia masih tetap sama, cantik dan menggemaskan.
Arsen tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah kenapa dia harus melarikan diri dari gadis itu dan mengatakan kalau dia tidak mengenalnya. Apakah karena perasaan marahnya selama ini yang sudah menumpuk hingga terlepas begitu saja ketika bertemu lagi dengannya.
Arsen masih tersenyum, entah kenapa kalau ingat senyum Elise itu selalu membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Terasa hangat dan membahagiakan. Diam-diam Arsen berdoa dalam hati. Berharap bisa bertemu Elise lagi dan mengaku kalau dia adalah Arsen. Tapi apakah itu mungkin? Di antara ribuan orang di kota ini, di mana lagi dia bisa menemukannya atau haruskah dia kembali ke toko pakaian itu? Mungkin saja dia ada di sana.
Ah, kenapa aku memikirkan hal konyol seperti itu? Gumamnya sambil menghela napas, lalu beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju tempat tidur.
****
Elise membuka matanya perlahan, sambil melirik jam weker kecil di samping tempat tidurnya dengan sudut matanya. Dia masih mengantuk, tapi jam sudah menunjukkan jam lima pagi. Dia bangun dari tempat tidur melepaskan headset yang masih terpasang di telinganya lalu meletakkannya di atas meja di samping jam weker kecilnya. Dia duduk di sisi ranjangnya sambil mengucek-ngucek matanya dan menghela napas, lalu beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Lima menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dan melangkah menuju jendela, menyingkap tirainya lalu membuka jendelanya, membiarkan angin pagi berhembus masuk ke dalam kamarnya.
Langit masih gelap, dia melihat taman bunga di bawah sana berembun sisa dari hujan semalam terlihat segar dan cantik. Elise menghirup udara segar pagi itu sepuas-puasnya.
Dengan helaan napas lega dia masih berdiri dan menatap keluar jendela menatap lurus ke arah hutan di depannya. Sangat jarang dia bisa melakukan hal seperti itu, menunggu matahari terbit karena kesibukannya, pada hari-hari libur baru dia bisa menikmati waktu sendiri seperti saat ini.
Kamar Elise selalu menjadi tempat yang paling bagus, karena selain bisa melihat matahari terbit, juga bisa melihat taman bunga lavender dan tulip membentang luas sepanjang mata memandang. Berwarna warni sangat indah seperti berada di negeri dongeng. Elise juga bersyukur karena kakaknya menjaga kebun bunga itu tetap terawat dan tumbuh semakin subur. Tiga hal itu sangat menenangkan, apalagi kalau suasana hatinya sedang tidak bagus ke tiga hal itu akan sangat membantu.