webnovel

Bab 2

Aku menyerngitkan keningku, "Hah? Sejak kapan aku punya adik? Dan ... Apa keuntunganku menyelamatkan anakmu itu?"

"Dia adikmu! Eufony!"

"Tidak, mau sampai kapanpun anakmu itu bukan adikku. Dan aku juga bukan anakmu sekarang dan untuk selamanya!" Pekikku frustasi. "Ibu mana yang hebatnya melupakan anaknya sendiri, dan sekarang malah balik mengemis seperti ini selain KAMU?"

Wanita itu terdiam. Dia menghela napas, entah itu pertanda muak atau apa. Meskipun sudah mendapatkan kata-kata seperti itu, tampak jelas di matanya bahwa dia tidak peduli dan tidak menyesal sama sekali terhadap perbuatannya di masa lalu. Aku berdecih kesal, lantas menyingkirkan tubuhnya sampai menghantam tanah. Mendobrak pintu keluar di belakangnya. Sebelum hengkang dari tempat yang menjijikan ini, aku menatap kembali matanya dengan tatapan hina.

"Kau boleh meminta uang sebanyak apapun."

Aku menghentikan langkahku begitu mendengar kata-katanya barusan, aku tersenyum. Merogoh sakuku, untunglah masih ada sebatang rokok dan sebuah korek api mekanik. Menyalakan rokok. "Oh ... Berapapun? Bahkan kalau aku meminta seluruh asset seperti hak kepemilikan tanah?" Tanyaku tanpa menoleh ke arahnya

"Ya ... Apapun itu," jawabnya.

Aku menyeringai, menoleh ke arah wanita itu yang bajunya sudah ternodai oleh banyak debu.

"Baiklah, jadi ... Di manakah aku harus memulai?"

~***~

Jepang, negara yang dikenal sebagai negara matahari terbit juga negara yang memiliki bunga Sakura. Negara ini mengingatkanku pada diriku yang dulu, saat pertama kali menonton serial TV Doraemon. Aku sangat mengidamkan negara ini, ingin bersekolah setidaknya satu tahun di sana. Walau kian waktu berjalan, aku semakin menyadari kalau impian bersekolah di Jepang hanyalah sekedar 'Mimpi siang.' Tidak lebih, tidak juga kurang. Apa lagi setelah tahu bahwa negara ini tidak ada bedanya dengan negara tempatku tinggal. Masih ada saja masyarakat miskin, dan lebih parahnya lagi angka bunuh diri Jepang bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan.

Sekarang aku di sini, Jepang. Tidak tahu di mana, karena kalimat di sepanjang jalan lebih mirip seperti ceker ayam menurutku. Tidak ada bentuknya.

Turun dari mobil, hamparan rumput membentang luas di hadapanku. Setelahnya kulihat ada banyak pepohonan rindang jauh di sana, walau anehnya selama aku melihat deretan pepohonan itu ... tidak ada apapun yang hidup.

Salah satu pelayan (benar?) menyerahkan sepucuk surat yang wanita tua itu titipkan, kemudian menyerahkan sebilah pedang panjang khas Jepang kepadaku. Namanya ... katana, bukan? Mereka membungkuk, sebelum akhirnya bersuara dalam bahasa yang aku mengerti. "Alamatnya ada di surat itu, anda harus datang ke lokasi itu dan mulailah mencari. Jika ada yang menanyai namamu, jawab saja."

"Namaku Shima Yashasiro," ujarku, "jangan khawatir aku ingat setiap kata wanita tua itu ucapkan."

"Baiklah kalau begitu kami pergi, permisi." Setelah berkata demikian, pelayan itu pergi meninggalkanku sendiri dengan mobil yang dia bawa. Wanita itu ... benar-benar kaya, ya? Aku penasaran, sudah berapa banyak uang yang dia keruk dari suami barunya? Dia bahkan bisa memiliki beberapa mobil di rumah, dan tinggal di negara Jepang ini. Sungguh prestasi yang memalukan buatku.

Aku berdecih kesal kala melihat sekeliling yang sangat sepi, bahkan kurasa kuburan pun setidaknya memiliki suara dari serangga atau beberapa tikus yang berlari atau mencicit. Tempat ini sangat sepi, terlalu sepi sampai aku yakin tidak ada mahluk yang hidup di sini. Kubuka surat untuk adik kedua beda ayah, membaca isinya. Ah ... Aku lupa, tentu saja isi surat ini menggunakan tulisan bahasa Jepang yang persis seperti ceker ayam. Berdecih kesal, akupun memutuskan untuk berjalan melewati Padang rumput. Untunglah rumput di sini tidak terlalu tinggi. Sampai memasuki pepohonan yang rimbun, aku mendapati suatu kejanggal.

Aku mendengar suara mesin. Padahal aku yakin sekali, beberapa langkah sebelum menginjak area pepohonan telingaku tidak mendengar suara apapun sama sekali. Menghela napas, kulanjutkan langkahku memasuki pepohonan. Melompati beberapa batu dan semak. Tidak tahu sudah berapa lama aku mengitari hutan ini, sial ... tahu begini harusnya aku membawa jam tangan. Apa lagi matahari di atasku tampak tidak bergerak satu centi pun. Tunggu, tidak bergerak? Aku mendongak ke atas. Benar, bintang terbesar itu tidak bergerak sama sekali.

Barulah setelah aku mendongak, sebuah bangunan megah dan tinggi entah sampai langit ke berepa ada di hadapanku. Aku menelan ludah, bukankah seharusnya tidak ada apapun selain batu dan pohon di depanku? Apakah aku sedang berhalusinasi karena belum makan dan minum? Akan tetapi bangunan itu mengeluarkan suara khas mesin yang aku dengar saat pertama kali menginjakkan kaki di hutan ini. Aku mundur selangkah begitu pintu kaca bangunan itu terbuka.

"Selamat datang, wahai Manusia muda ... kau pasti sudah mendapatkan undangan itu. Bagaimana kalau kita masuk, dari pada berlama-lama di sini?" Tanya seorang mahluk berkulit hijau di hadapanku.

Aku tidak tahu mahluk apa yang ada di hadapanku. Berkulit hijau seperti katak, bertubuh manusia cebol, telinga lancip menyamping, dan ... bermata merah mengerikan. Rasanya seperti ... mahluk itu tidak mengenal kata keindahan sama sekali. Namun setelan pakaiannya seolah membantah kesan pertamaku terhadapnya. Sangat rapi melebihi pelayan yang mengantarku barusan.

Aku tersenyum takut melihat betapa tingginya menara ini, "Kenapa harus masuk? Lagi pula, bangunan ini aneh sekali. Kenapa tiba-tiba sudah ada di depanku? Kau ini juga apa?"

"Karena permainan tidak bisa di mulai saat kau ada di luar Nona," mahluk itu menyeringai mengerikan. Jujur saja, itu sedikit membuatku takut. "Juga, maafkan saya karena tidak bisa menjawab sebagian besar pertanyaan anda karena beberapa larangan. Saya ini apa, terserah kepadamu saja."

"Permainan?" gumamku, aku menggeleng takut. Mundur beberapa langkah.

"Tentu saja, permainan yang sangat menyenangkan, saya jamin anda tidak akan pernah bosan. Kalaupun Anda menolak, Anda hanya akan mati saat ini juga karena sudah menolak secara sepihak."

Aku menelan ludah, lantas melangkah memasuki menara mengikuti mahluk mengerikan itu. Saat berjalan memasuki gedung, aku baru menyadari sesuatu yang di luar nalar. Bagaimana dia bisa menggunakan bahasaku? Bukankah seharusnya mahluk itu menggunakan bahasa Jepang, atau setidaknya bahasa lain? Astaga, ini benar-benar membuatku bingung akan semuanya.

Sesaat setelah memasuki gedung, lampu mati dan tergantikan oleh ruangan hitam dengan lampu neon yang menerangi setiap sudutnya, seolah ruangan ini tidak memiliki ujung. Pintu yang baru saja kulewati juga menghilang entah ke mana. Mahluk itu berbalik ke arahku, membungkuk dengan elegant yang sedikit membuatku takjub, karena bahasa tubuhnya lebih luwes dan indah ketimbang para pelayan wanita itu. Kalau saja mahluk ini manusia, mungkin kekagumanku akan jauh lebih besar ketimbang ketakutan yang kututupi.

"Selamat datang di menara! Pemain Shima Yashasiro. Kau adalah salah satu peserta yang beruntung menerima undangan dari kami," ucapnya sarat dengan pujian.

"Oh, berarti selain aku ada banyak peserta lain sebelumnya?" aku membual.

"Ya, tentu saja. Mereka ada di atas sana, saling bersaing untuk menuju lantai ke 100. Lantai paling atas di menara ini. Mewujudkan 1 permintaan mereka," ujarnya sembari membentangkan tangan ke atas.

Aku menyerngitkan dahi, "Permintaan?"

"Ya, nona ... setelah kau mencapai puncak menara. Kau bisa mewujudkan permintaan apapun itu! Kaya, terkenal, bahkan menjadi tuhan sekalipun."

Dasar pelit, bahkan jin di dalam lampu ajaib bisa mengabulkan 3 permintaan sekaligus hanya dengan menyusup ke ruang harta Qarun. Tanpa perlu bersaing di dalam menara yang tidak jelas asal-usulnya di sini. Tetapi, aku tidak boleh protes sekarang. Aku takut kalau mahluk ini akan marah dan membunuhku di sini. Walau sebilah pedang katana ada di tanganku sekarang.

"Jadi ... Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku.

~***~

Next chapter