webnovel

Bab 32

Sudah Ayana katakan. Bahwa apa yang dirinya inginkan tidak bisa di sentuh sembarang orang. Terlebih itu berharga, akan terus Ayana kejar sampai dapat.

Susunan rencana versi dirinya sudah berjalan. Pun begitu dengan milik Maha yang menjalankan biduknya. Nilainya akan Ayana anggap imbang: 1:1. Tinggal melihat siapa yang unggul di akhir.

"Jadi memang beneran ada neng?"

Itu pertanyaan—memastikan—yang sudah ke berapa kalinya. Dan Ayana hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Merasa muak, jelas. Orang-orang di sini tak bisa di sepelekan tapi Ayana terus memompa adrenalinnya. Masih ingat penyebab Ardika menceraikannya?

"Di kota bu, semuanya bisa jadi mungkin. Apa yang kita anggap—di sini—biasa saja, nyatanya merusak. Ya kaya itu tadi. Masalah teman saya itu. Teman loh bu, otomatis paling dekat sama kita tapi malah yang paling nyakitin kita. Apa namanya kalau nggak nusuk?"

Semuanya tentu terpancing. Nggak ada yang nggak ke makan sama omongan Ayana. Sejatinya, perempuan cantik itu memang ular. Pandai bertutur kata dan membolak-balikkan fakta. Ampun!

"Terus nasibnya gimana tuh neng."

Semakin kepo semakin panas kondisinya semakin girang Ayana menanggapi. Istilahnya, menyulut putung rokok dengan rokok lainnya akan mudah. Karena jalannya sudah lebih mudah.

"Yang begitu mah nggak gampang bu. Nggak susah juga. Tinggal gimana kita mau menanggapi. Mentoknya paling di beban sosial di mata masyarakat."

"Kenapa bisa gitu neng?"

Nah… Ayana suka yang model begini. Bodoh-bodoh tolol gitu. Bau-baunya ya bau namanya saja taik. Dan orang bodoh adalah makanan lezat bagi orang berilmu, Ayana misalnya. Meski ini terlihat seperti menguliahi ibu-ibu tua yang tak pernah merasakan sekolah. Tapi kan demi membabat habis sebuah nama harus ada pengorbanan yang dilakukan. Jadi biarlah Ayana mengoceh bak burung beo hari ini. Satu minggu di sini akan segera berakhir. Dan seluruh manusia di desa ini telah Ayana pengaruhi.

"Gini bu." Siap Ayana memulai. "Bayangkan deh salah satu—misal nih—keluarga ada yang jadi pelakor—

"Amit-amit!"

"Langsung tak gorok nyampe ada yang berbuat hina kaya gitu."

"Tak coret dari daftar keluarga."

Semuanya riuh. Baru permulaan, awal dari genjatan senjata yang Ayana taburkan. Dan seheboh ini responnya

"Itu ibu-ibu tahu." Tak bisa Ayana lanjutkan lantaran di penggal. "Beban sosial ada di keluarga bahkan keturunan. Kan sayang bu. Gila juga. Ya kalau ada orangtua yang sehat walafiat, nggak masalah. Nggak jadi perkara. Kalau yang sampai meninggal?"

Gunjingan dan cibiran kembali terdengar. Begitulah kira-kira jika dunia perjulidan yang bertindak. Takkan ada yang selamat.

Untuk sesaat Ayana merasa puas tiada tara. Seolah dahaga yang bertahun-tahun dirinya tahan luruh sudah dengan aksinya hari ini. Namun tetap saja… sudut hatinya merongrong kesakitan. Memanggil satu nama yang tak pernah disebutkan. Membawa serta dendam tak berkesudahan.

Semestinya Ardika paham. Seburuk apapun caranya memperlakukan, tetap ada kenangan indah yang tertinggal. Bahwa Ardika yang paling memberinya ketenangan. Yang paling memahami setiap inginnya. Yang selalu hadir di tiap impian. Semuanya masih bertahta nama Ardika dan Ayana gila akan cintanya.

Yang katanya pondasi terkuat dalam berumah tangga pertama dan utama adalah cinta. Bahwa takkan roboh pondasinya jika pasir yang di pilihannya berada di daftar terbaik. Tapi tetap saja ada hewan-hewan kecil yang menggerogoti.

Di pandangan Ayana, semuanya seperti permainan.

Siapa yang menciptakan?

Dirinya.

Siapa yang memulai?

Dirinya.

Siapa yang tertantang?

Dirinya.

Demikian manusia di watak aslinya. Sudah tahu salah, tetap saja mengadu domba. Mencari mangsa lain untuk di tumbalkan. Sampai lupa kalau ada jiwa yang merana.

Tak tahukah perbuatan Ayana memberi dampak buruk bagi sebuah keluarga?

Adalah wanita paruh baya yang meranggas pikirannya dengan tanya: siapa? Apakah anakku? Begitukah putriku bersikap? Serendah itukah? Semurah itukah harga dirinya? Hingga mudah terjatuh dalam pesona.

Benarkah?

"Bu … nggak semuanya itu benar. Itu mungkin cuma sekadar omongan, perumpamaan. Nggak serta merta kita telan bulat-bulat."

Anak keduanya yang angkat bicara. Setelah melihat ayahnya yang bertanya tanpa jawab.

"Tapi kok ya kaya mirip banget."

Senyumnya di kembangkan. "Belum tentu benar."

"Semisal iya?"

Masih senyumnya yang di lemparkan. Wajahnya teduh saat di pandang. Tidak hanya tampan sebagai pampangan. Namun sejuta harapan ada dalam tumpuannya. "Aku jamin nggak kaya gitu. Biar. Kalau pun iya, ada alasan di dalamnya. Ada dua telinga untuk mendengarkan setelahnya memfilter apakah patut kita berikan sangsi atau memang kebenaran yang beredar. Dua mata untuk melihat. Semuanya, akan lebih akurat dengan alat fungsi yang Tuhan berikan. Manusia hanya perantara."

"Kamu yakin?"

"Ibu ragu?"

Selalu begitu. Pertanyaannya tak pernah mendapat kepastian.

***

Pulung nikmati perannya. Sebagi ibu baru—walau statusnya sambung—tetap memberinya cerita baru di hari-harinya. Yang dilalui dengan penuh makna di dalamnya. Yang melukiskan sejuta cetakan indah ukiran berbentuk kenangan. Untuk Pulung simpan di masa mendatang kala Naomi beranjak. Untuk masa tuanya yang merenta lantas mengucap: Aku pernah memiliki masa di mana putriku beranjak tumbuh. Dan segala tetek bengek tentang langkah-langkah kehidupan.

Senjatanya hanya satu: bersyukur.

Itu saja Pulung percaya akan Tuhan tambahkan nikmatnya. Akan Tuhan berikan berlipat-lipat ganda hal tak terduga untuk datang menyapa hidupnya.

Seperti pagi ini misalnya. Pagi-pagi sekali, selepas menjabat tangan Ardika yang hendak rapat luar kota, Pulung sambangi putrinya. Musim hujan mulai datang. Tidak heran berkunjung di jam-jam terlarang. Pagi hari di sambut hujan kian membuat macet aktivitas.

Pun dengan Naomi yang menarik selimut sebatas dada. Dengkuran halus terdengar. Membuat Pulung kasihan hendak membangunkan. Tapi jika tidak akan terlambat. Lomba tari hari ini adalah wujud perjuangan keras Naomi belajar. Jadi melewatkan bukan saran terbaik. Apalagi meninggalkan sesal.

"Bangun yuk," bisik Pulung perlahan. Yang di elusi pucuk kepala sang putri. Terganggu lelapnya, Naomi menggeliat pelan. Herannya masih terpejam. "Lemnya di angkat dulu sayang."

Bibir Pulung tertarik ke belakang. Tawanya mengudara. Dan masih terus berlanjut mengganggu si tukang tidur.

***

Kepulangannya sudah tiba. Jadi Ayana letakkan potret foto yang telah di cetaknya dalam sebuah amplop. Petang sudah datang. Kegiatan warga berada di dalam rumah. Ayana acuh dan letakkan kado spesialnya di depan rumah.

Tanpa mengetuk apalagi bersalam. Sisanya Ayana tinggalkan dan hengkang.

Ada masa hebohnya yang akan mencuat akibat ulahnya. Ayana tidak peduli. Terpenting di sini misinya tercapai. Dan apa yang menjadi miliknya harus kembali dalam genggaman. Karma berjalan dengan baik.

Lantas di buka oleh sebuah tangan renta, penuh getaran, dentuman jantung yang meletup, hingga luruh terjatuh.

Rasanya … baru semalam terucap kata yakin. Sekarang, untuk melihat saja enggan. Semuanya hancur tak bersisa.