webnovel

Bab 31

Maharaja tidak pernah tahu kenapa tubuhnya di bawa ke masa kini. Setelah sekian tahun tidak pernah bertandang, dengan sadar, kedua tungkainya sudah berdiri tegap di sini. Di depan bangunan serupa kedai yang menampilkan keramaian pelanggan. Dan ketika kedua maniknya bersirobok dengan mata tua yang menyorotkan kerinduan mendalam, Maha tahu bahwa ini saatnya melepas topeng yang melekat di wajahnya.

Rasanya seperti … entahlah. Sulit untuk Maha jabarkan. Tapi keinginan memeluk tubuh ringkih yang sedang menepuki punggungnya sangat ingin Maha lakukan. Tidak peduli pada ocehan yang keluar dari bibir keriputnya. Maha lebih dari tahu bahwa wanita tua ini amatlah mencintai dirinya.

"Kenapa baru datang. Bocah nakal."

Mulut adalah sumber api dan ucapan adalah bara. Itu yang selalu Maha sematkan pada wanita ini. Umurnya boleh saja sudah berabad, tapi tenaganya, jangan di ragukan. Maha bisa mengeluhkan sakit akan tepukan-tepukan yang berubah menjadi pukulan.

"Maha sibuk nenek."

Begitulah jati diri Maharaja Askara yang sesungguhnya. Di balik kearoganan tingkahnya yang tak berakhlak, tersembunyi sikap manja untuk menyebut namanya sendiri ketika berbicara. Ugh, pasti menjijikkan sekali bagi sebagian yang mendengar. Karena, yeah, itu bertolak belakang dengan posisi pemimpin di perusahaannya.

"Jadi gitu kalau sibuk nyampe lupa pulang."

Pulang. Rumah. Yang tidak pernah Maha rasakan sejak kecil. Yang tidak pernah Maha ketahui apa arti dan maknanya. Namun, bertemu wanita tua yang menganggap dirinya seperti cucu, Maha temukan arti yang sebenar-benarnya dari kata pulang dan rumah.

Bahwa itu adalah tempat berkumpul dan bertemu. Tempat yang memberikan kehangatan bagi pemilik di dalamnya. Tempat berlindung dari segala serangan. Tempat kembali di mana seluruh dunia menolaknya. Maka Maha kembali ke sini. Memilih berada di sini untuk melepas rindu yang membumbung.

Tidak masalah jika sekalinya pulang harus merasakan punggung sakit akibat di pukuli. Sudah di beri perhatian, di sambut dengan pelukan, itu sudah berharga bagi Maha yang tidak memiliki orangtua. Sudah sangat bernilai bagi Maha yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya dekapan ibunda.

"Mau makan apa?" Yang kini di elusi pipi putih Maha oleh sang nenek. "Astaga cucuku," katanya mendesah. Ada kristal bening yang melupuk. Sebelum meluncur berganti senyum yang tampil. "Nenek bersyukur kamu sehat. Astaga."

Baru kali ini Maha merasa dicintai, katakanlah begitu. Sensasinya sangat berbeda. Rasanya sangat menghantam sanubari. Hingga rambatan hangat menyambang, Maha peluk erat-erat sang nenek.

"Ayam." Maha jawabkan makanan favoritnya semasa kecil dulu. "Dan susu cokelat."

Sekali lagi tepukan pelan mendarat di punggungnya.

Aih, betapa lemahnya Maha di hadapan sang nenek.

***

Sewaktu sekolah dulu, tak banyak anak-anak seumurannya yang mau berteman dengan Maha. Kecuali Mahar. Lelaki itu tak ada duanya di dunia maupun di hari-hari Maha. Dan bertemu dengan nenek penjual makanan di dekat sekolahnya sungguh sebuah anugerah yang tak ingin Maha sudahi.

Membela Maha habis-habisan saat anak-anak sekolah memukulinya atau bahkan saat perundungan di luar tempat belajar berlangsung. Nenek yang selalu datang melerai. Dan Maha tahu, sejak kecil, terlalu keras dalam memberi batasan untuk dirinya sendiri.

Maka, perkataan Maha sebagai jawaban terima kasih hari itu adalah:

"Maha nggak suka hutang budi." Nenek tersenyum. Menyiapkan nasi dan ayam goreng ke dalam piring Maha. "Nenek punya permintaan."

"Enggak. Makan saja."

"Nek …"

"Ya?!" Membentak. "Jangan bandel."

Yang terjadi justru Maha yang terisak-isak sambil makan. Ini perih dan sakit. Tapi dadanya bungah lantaran di beri perhatian sedemikian dahsyat.

"Sukses nanti, jangan jadi pongah." Itu nasihat nenek yang menghentikan tangis Maha. "Anak cowok harus kuat, jangan cengeng." Terus berlanjut yang Maha dengarkan dengan patuh. "Kalau susah jangan sendirian. Kamu harus datang ke sini. Siapa namamu? Maharaja." Nenek tersenyum semringah. "Namamu cakep, sama kaya orangnya. Ke depannya nanti, kamu bakal jadi orang sukses, bisa janji?"

Tidak jawaban suara yang Maha berikan. Langsung bertindak memeluk nenek dan mengangguk. Sekali ini saja dan terakhir kalinya Maha menangis. Selebihnya, untuk berjalan maju ke depan, takkan ada keluhan, rengekan apalagi tangisan. Maha akan tumbuh dengan kuat dan berkembang hebat. Itu janjinya.

Yang sudah terealisasi hari ini. Di hadapan sang nenek yang terus di pandangi dengan kagum. Sudah di siapkan nasi dan ayam serta susu cokelat sebagai permintaan Maha.

"Nggak sakit sendirian, kan?" Siapapun akan terkekeh di todong pertanyaan macam itu. "Makan. Nenek tahu kamu lapar." Maha sanggupi. Menyendok sesuap nasi hingga hampir menangis.

Cuma nenek yang paham kondisi Maha. Yang rela bertanya apakah Maha baik. Apakah Maha sehat. Apakah Maha menderita. Rasanya … satu malam saja tak bisa menghentikan tangis jika Maha ingin membahas.

Tapi selanjutnya. "Kamu sudah menikah?" Bencana. Maha diam. "Masalah! Di umurmu yang ketiga puluh belum menikah."

Lagi, Maha tundukkan kepalanya sembari menggigiti tulang ayamnya. Salahnya di mana jika dirinya belum menikah.

"Sudah punya pacar." Maha terus diam. Tentu nenek tahu jawabannya tanpa di suarakan. "Masalah!" Part dua langsung di gemakan. Maha merinding maksimal.

Benar saja. Mata kelam nenek menajam. Menatap Maha seakan menguliti. Merinding sampai ke tulang-tulang.

"Kamu bengkok? Belok?" Tentu nyaring. Mengundang pasang mata untuk memandang. "Nggak suka yang bentuknya yahud?"

Hampir lupa. Nenek selalu sebar-bar ini. Sejak dulu hingga sekarang. Tidak heran jika kata-katanya tidak terfilter dengan baik. Maha maklum. Namun andai nenek tahu aktivitas Maha yang doyan gonta-ganti pasangan di ranjang, bisa-bisa di babat miliknya. Sampai tuntas tak bersisa. Bahkan Maha membuat perempuan bunting dalam sekali tempur. Bukankah bibitnya sangat ungguh? Satu kali tancap langsung membludak.

"Maha normal nenek. Normal. Suer." Angkat tangan Maha serupa sumpahan. Memastikan kalau dirinya betul-betul lelaki tulen yang suka… ya itu. "Nggak punya pacar bukan berarti nggak normal."

"Demi status sosial."

"Maha sibuk."

"Kalau sibuk ngapain ke sini?!"

Salah lagi. Salah terus. Pulang salah nggak pulang makin salah. Kenapa undang-undang perempuan sangat berlapis?

"Maha kangen nenek."

"Hilih kintil."

Tuh kan, tuh kan. Sekarang Maha yang horor sendiri. Mendengar tuturan sang nenek di bahasa beken anak muda zaman now. Ya, wae gitu loh.

"Nenek ngeri ih." Yang Maha tandaskan susu cokelatnya. Lantas di letak dan bersidekap dada. "Nenek nggak mau pindah?"

"Ke mana?"

Embusan napas Maha terhela. Menatapi secara teliti wajah nenek yang renta.

"Maha banyak ngerepotin nenek dulu." Nenek tertawa mengejek. Pun Maha tahu ada setetes air yang hendak meluruh. "Makasih untuk semuanya. Nenek bisa pindah dan nggak perlu kerja keras kaya gini."

Gelengan yang Maha dapatkan. Membuat bahunya lesu.

"Ini sengaja. Biar kamu sering-sering pulang."

Itu bukan hak Maha untuk memaksa.