webnovel

Tiga Cinta Wanita Biasa

Ratna_Andia · Teen
Not enough ratings
15 Chs

BAB 2

( PoV Aya )

'Kriiiiiiinngggg...' bunyi telepon genggamku membuyarkan lamunanku. Aku yang sedari tadi memang menunggunya, bergegas meninggalkan buku-buku pelajaranku dan berlari mengambilnya. Tanpa melihat siapa yang meneleponku, langsung kupencet tombol 'terima', karena aku berpikir itu pasti dari Reza.

"Happy anniversary sayang. Semoga semakin langgeng ya hubungan kita. Semakin sayang sama aku. Semakin baik ke depannya. Ngomong-ngomong, kamu ke mana aja sih, di tungguin dari tadi juga." kataku bersemangat.

"Eh...eh...eh... apa-apaan ini? Dasar bucin. Ini aku, Imam, bukan Reza Ya,

hahaha." jawab suara diseberang sana yang ternyata adalah mas Imam. Bukan Reza yang aku tunggu.

"Ah... Mas Imam. Maaf! Duh malunya." aku sedikit menyesali kecerobohanku. Dan juga ada sedikit rasa kecewa yang aku rasakan.

" Hahaha. Memangnya nggak di lihat dulu itu siapa

yang nelpon? Main angkat aja. Manggil2 sayang lagi. Hahaha. Malu kan jadinya." ucapnya mengejekku. Ah, Mas Imam yang baik.

"Ih, rese deh. Aku memang lagi nunggu telpon dari dia sambil ngelamun mas. E, malah salah. Ada apa mas? Tumben nelfon." tanyaku pada mas Imam. Sebenarnya bukan tumben dia menelepon, karena dia sering sekali meneleponku. Aku hanya berbasa-basi.

"Nggak apa-apa, cuma pengen nanya kabar kamu aja. Gimana kabarnya?" tanyanya. Seperti biasa, suaranya begitu lembut dan menenangkan.

"Alhamdulillah baik. Mas gimana kabarnya? Lancar kuliah sama kerjanya?" tanyaku pada mas Imam.

"Alhamdulillah lancar. Kamu lancar sekolahnya? Oh ya, mau ngasih tahu juga nih, bulan depan aku pulang, mau dibawain oleh-oleh apa?" tanya mas Imam kemudian. Mas Imam memang yang paling pengertian sama aku dari dulu. Dia selalu tahu apa yang aku mau tanpa perlu aku beritahu. Ketika aku sedih, dia yang selalu menghiburku. Dan ketika aku bahagia, dia yang paling dahulu bersuka cita untukku. Mungkin karena kami sama-sama anak tunggal, jadi dia paham bagaimana aku. Aku menyayanginya seperti kakakku sendiri. Dan aku yakin dia juga menyayangiku layaknya seorang kakak kepada adeknya. Tak lebih.

"Wah, nggak usah repot-repot mas. Nanti aja pas mas udah dirumah, kita jalan aja rame-rame sama yang lainnya." jawabku senang. Sahabat sekaligus kakak yang ku rindukan akan pulang. Aku akan bercerita padanya tentang banyak hal. Aku tak sabar.

"Oh, ya udah. Aku jg udah kangen keliling kota sama kalian-kalian. Semoga aja temen-temen yang lain juga pada bisa ya. Biar lengkap." Mas Imam antusias.

"Iya nih Mas. Aku juga. Lama banget rasanya nggak kumpul. Pada sok sibuk." aku menyindirnya.

"Lah, emang sibuk. Kamu kalau nggak sibuk, sini main-main. Aku ajakin jalan-jalan nanti." Mas Imam menjawab sindiranku.

"Hahaha. Aku juga sibuk kali Mas. Sibuk sekolah. Biasa, anak pinter. Rajin belajar." kataku.

"Iya deh percaya anak pinter." dia menggodaku.

"Hehehe." tawaku.

Tiba-tiba ada bunyi notifikasi pesan masuk di telepon seluler ku. Aku bergegas memeriksanya. Dari Reza.

"Eh, Mas. Aku tutup dulu teleponnya ya. Kayaknya ada pesan masuk deh. Dari Reza kayaknya. Sorry ya Mas. Kamu tahu sendiri kan ceritaku kayak gimana. Dapet pesan dari Reza itu adalah hal yang langka. Biar aku bales duru, keburu dia ngilang lagi nanti." aku meminta izin kepada mas Imam untuk membacanya terlebih dahulu. Dan seperti biasa, dia selalu pengertian.

"Iya deh, yang lagi anniversary. Aku malah gak enak karena udah gangguin kamu. Hehehe. Ya udah aku tutup dulu telfonnya. Nanti kalau udah selesai, kabarin ya, aku telfon lagi. Jangan lupa. Aku tunggu. Assalamualaikum." kata Mas Imam.

"Wa'alaikumsalam mas. Eh tapi nanti kalau aku lama nggak ngabari, nggak usah di tunggu ya Mas." jawabku.

"Pokoknya aku tunggu." kata Mas Imam. Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung mematikan teleponnya.

Setelah mas Imam mematikan teleponnya, aku bergegas membuka pesan dari Reza dan langsung membacanya.

('Aya, kita putus saja ya. Rasanya hubungan kita sudah nggak ada gunanya dipertahankan. Sudah lama kita tak ada komunikasi, dan tak pernah ketemu. Seperti di neraka rasanya menjalin hubungan seperti ini. Sudah bukan seperti orang pacaran. Kita udah nggak ada kecocokan. Maaf kalau selama ini aku ada salah. Maaf kalau aku selalu bikin kamu sakit hati. Maaf juga kalau selama ini kita selalu putus nyambung nggak jelas. Tapi kayaknya kali ini terakhir kalinya kita putus nyambung Ya, karena memang nggak ada gunanya aku rasa kalau kita balikan lagi nanti, pasti ujung2nya kayak gini lagi. Udah ya Ya. Semoga kamu menerima keputusanku ini dan semoga kamu bahagia dan sehat selalu.')

Kubaca pesan dari Reza dengan linangan air mata dan nafas sesak yang memburu. Ini memang bukan yang pertama kalinya dia memutus hubungan denganku. Namun sekali lagi, aku hancur berkeping-keping dibuatnya. Dan dari pesannya, tampaknya aku tak akan lagi memilikinya. Dia sudah benar-benar meninggalkanku.

Aku ingin sekali membalas pesan darinya bahwa aku menerima keputusannya. Tapi rasanya hatiku memintaku untuk mebiarkannya saja. Aku enggan membalas apapun darinya. Cukup, kata hatiku.

Aku menangis sejadinya sampai hatiku merasa puas. Setelah puas menangis, aku mengambil buku diari berwarna pink milikku didalam laci meja belajarku. Aku tulis semua pesan singkat Reza di sana, sebelum menghapusnya, lengkap dengan hari, tanggal, jam, menit, detik, bahkan titik koma nya. Aneh? Ya. Aku memang sudah terbiasa menulis semua pesan singkat darinya semenjak kita berpacaran. Tak banyak. Hanya sekitar 100 pesan saja, tak lebih dari itu. Lucu memang. 1thn berpacaran, namun hanya 100 pesan yang kini jadi kenangan. Itupun termasuk balasan pesanku kepadanya.

Ku hempasakan badanku diatas tempat tidurku. Ku rasakan hati dan perasaanku begitu terluka. Ku matikan nada dering di handphone ku agar tak ada yang menggangguku. Aku ingin sendiri dulu. Aku ingin tidur dengan nyenyak dimalam ini. Agar beban dan sesak dihatiku berkurang keesokan harinya. Aku ingin ketika besok aku bangun, rasa tak nyaman ini sedikit berkurang.

Dan Mas Imam? Ah, biarkan saja. Biarkan saja dia menunggu. Kalau sampai larut aku tak mengirim kabar, dia juga pasti tak akan menungguku lagi. Dia pasti akan mengerti. Dia tak akan marah. Dia lelaki terbaik yang aku kenal.

Sebenarnya aku membutuhkannya. Aku membutuhkan seseorang yang aku percaya untuk membagi lukaku. Bercerita bagaimana sedihnya aku malam ini. Namun, kali ini rasanya aku tak berselera lagi untuk berbicara dengan siapapun. Aku benar-benar ingin sendiri. Terbebas dari manusia manapun.

Aku hanya butuh diriku sendiri saat ini. Memeluk kesendirianku. Menghabiskan waktu bersama rasa sakitku. Aku ingin membawanya dalam mimpiku dan meninggalkannya di sana, di dalam mimpiku. Agar aku tak merasakannya lagi esok hari. Agar kesendirian dan rasa sedih ini ikut menghilang bersama munculnya sang mentari esok hari.

***