1 BAB 1

(PoV Aya)

"Huh...," aku menghembuskan napasku kasar-kasar, demi mengurangi rasa sesak yang perlahan kurasakan memenuhi rongga dadaku.

Malam ini, tepat di satu tahun kami berpacaran, Reza, kekasihku, malah tak dapat dihubungi. Nomor ponselnya selalu tak aktif. Bahkan sejak 3 bulan yang lalu. Dan ia tak mengabariku jika ia mengganti nomor teleponnya. Mungkin ia sibuk. Sok sibuk. Benar-benar sibuk. Atau mungkin memang sudah tak ada lagi harapan bahwa hubungan kami masih akan terus bertahan.

Ya. Hubungan kami memang nampaknya tak akan selamat kali ini. Pasalnya, selama satu tahun kami berpacaran, hanya sekitar dua minggu, diawal-awal kami resmi menjalin kasih, yang benar-benar bisa dibilang seperti orang 'berpacaran'. Dulu tak pernah kami lupa untuk saling memberi kabar, saling menunjukkan kasih sayang, dan saling memberikan perhatian. Setelah itu, jangankan mengumbar kemesraan, hanya sekedar menyapa sebulan sekali lewat pesan singkat saja pun tak pernah. Padahal kami tinggal berdekatan, namun tak pernah saling mengunjungi. Aku yang selalu berfikir 'wanita tak pantas mengejar cinta laki-laki', tak pernah mau mengawali mengirim pesan. Dan Reza yang mungkin berfikir 'biar Aya yang sekali-kali memulai', juga enggan untuk membuka percakapan.

Bahkan sudah tiga kali kami putus nyambung, dikurun waktu satu tahun, yang sebenarnya bukanlah waktu yang terbilang lama dalam sebuah hubungan. Herannya, setelah dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, ia juga yang selalu mengajakku kembali. Dan yang lebih mengherankannya lagi, aku selalu setuju untuk kembali bersamanya dan menjadi kekasihnya.

Akupun tak mengerti, entah apa yang membuatku bersabar berpacaran dengan laki-laki semacam Reza. Karena aku bukan tipe wanita yang penyabar sebenarnya. Di usiaku yang baru menginjak delapan belas tahun ini,sudah beberapa kali aku berkencan singkat dengan banyak laki-laki dan seringkali hubungan kami berakhir hanya karena masalah sepele. Aku bukan tipe wanita yang ribet dan yang terlalu bucin dengan pasangan. Sedikit saja tak kutemukan kecocokan, maka aku tak mau melanjutkannya.

Namun nampaknya hal itu tak berlaku untuk hubunganku dengan Reza. Entah apa yang ada didalam diri Reza hingga mampu membuatku seperti ini. Aku tak bisa terlepas darinya. Benar-benar tak bisa. Hatiku begitu tulus mencintainya.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Silahkan coba beberapa saat lagi." kata operator telepon di seberang sana setelah kucoba menghubungi Reza kembali. Dan akupun kembali menghela napas panjang.

Reza. Dua puluh tahun. Seorang laki-laki dari keluarga yang bisa dibilang 'berada', diantara banyak keluarga yang tinggal dikampung kami. Dia mempunyai dua saudara perempuan. Kakak dan adeknya. Saat ini ia adalah mahasiswa jurusan teknik disalah satu perguruan tinggi negeri di ibukota provinsi. Badannya tinggi besar, kulitnya bersih dan tampan. Ia lumayan populer dikalangan para gadis remaja seangkatannya.

Sedangkan aku, namaku Aya. Aku gadis yang bisa dibilang unggul dalam hal prestasi akademis, namun secara fisik dan harta aku termasuk dalam kasta yang biasa saja. Aku anak tunggal. Tinggiku hanya sekitar seratus lima puluh sentimeter. Badanku kurus dengan kulit sawo matang. Ada sedikit jerawat yang tumbuh diwajahku. Dan aku memakai hijab ketika keluar rumah maupun disekolah. Saat ini aku masih duduk dibangku kelas tiga SMA negeri favorit di kota kami. Usiaku dan Reza hanya terpaut dua tahun. Ia kakak kelasku, namun beda sekolah. Rumah kami bertetangga. Kami juga teman masa kecil.

Mungkin aku bisa di bilang beruntung karena berpacaran dengan Reza. Kenapa tidak? Banyak sekali gadis teman sekolahnya, dengan penampilan luar biasa yang mendekati Reza. Mulai dari yang cantik dan pintar. Yang hanya cantik namun tak pintar. Yang biasa saja namun pintar. Dan yang biasa saja dan tak pintar. Namun kelihatannya tak ada satupun yang pernah dikencani nya. Kenapa bisa aku tahu? Ya karena aku teman masa kecilnya dan kami akrab sejak masih sama-sama gemar bermain layangan disore hari bersama.

Sempat suatu waktu aku dengar celotehan teman-temannya kala itu ketika Reza mengenalkanku pada teman-teman sekolahnya.

"Apa menariknya cewek kamu sih Za?" kata teman wanitanya kala itu diawal kita berpacaran.

"Nggak ada yang menarik memang,tapi nggak tau tuh,aku sayang aja sama dia." kata Reza sambil mencubit kecil lengan atasku.

Aku hanya tersenyum getir. Tak ingin menimpali apapun. Karena memang kenyataannya tak ada yang menarik dari visualku.

Semenjak itu aku tak pernah mau kalau Reza mengajakku jalan bareng atau hanya sekedar bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Bukan karena aku tersinggung dengan perkataan mereka,aku hanya merasa nggak sebanding dengan mereka yang berpenampilan begitu modis,sedangkan aku hanya mengenakan setelah baju panjang dan hijab.

Reza, teman masa kecilku yang kini kucintai. Teringat ketika kami kecil dulu. Dia begitu nakalnya. Selalu saja mengusiliku hingga sering sekali aku menangis dibuatnya. Aku pikir hanya cukup diwaktu kami masih sama-sama bocah dia membuatku menangis. Tak kusangka hingga kami beranjak dewasa pun, dia masih saja menjadi penyebab ku berurai air mata.

Sebenarnya bukan hanya Reza saja teman masa kecilku. Ada 7 anak lagi yang selalu bermain bersama kami. Mereka adalah Via, Tita, Devi, Ardi kakak Tita, Ofan,Mas Imam dan Ila adik Reza. Dari kami bersembilan, aku,Via,Tita dan Devi,kami seumuran. Sedangkan Reza dan Ardi,mereka 2thn lebih tua dariku. Lalu Ofan yang usianya 1thn persis diatasku. Dan Ila yang 1thn dibawahku. Terakhir mas Imam,ia yang paling dewasa,berjarak 3thn denganku.

Pertemanan kami pun berlangsung hingga kami sudah menginjak usia remaja. Kami masih selalu menyempatkan diri untuk bertemu diakhir pekan,meski hanya sekedar mengobrol ataupun bermain gitar.

Meskipun kami berasal dari latar belakang dan lingkungan keluarga yang berbeda,namun persahabatan kami bisa dibilang kompak. Mereka yang dari keluarga berada seperti Reza,Ila,Devi dan Ofan pun tak pernah membandingkan diri mereka dengan kami berlima yg dari keluarga sederhana. Kami saling membantu dan mendukung satu sama lain hingga tak ada orang lain yang berani menyakiti salah satu dari kami. Itu yang membuat hubungan persahabatan kami terasa begitu indah.

Walaupun kini,4 diantara kami sudah pindah dan tinggal diluar kota,nyatanya kami juga masih menyempatkan diri bertegur sapa lewat grup di aplikasi WhatsApp.

Mas Imam yang saat ini kuliah disalah satu kota di Jawa Barat dan tinggal bersama ibunya yang sudah berpisah dengan ayahnya,masih sering aktif membagikan aktivitasnya selama disana. Mas Imam yang memang pekerja keras dan bukan dari keluarga yang kaya,menghabiskan waktu luangnya untuk bekerja paruh waktu demi membiayai kuliahnya. Ardi yang juga adik sepupu dari mas Imam,ikut ke Jawa Barat bersama-sama dengan Mas Imam. Dia bekerja disalah satu pabrik permen ternama dikota itu. Setiap hari,dengan gayanya yang kocak,dia selalu memulai pembicaraan di grup WhatsApp dengan candaan garingnya. Lalu Ofan yang semenjak lulus SMA sudah diterima menjadi anggota kepolisian di salah satu kota di Jawa Tengah juga tak kalah aktif di grup untuk sekedar memberi salam.

Sedangkan aku dan teman-teman perempuan ku yang lainnya,kami masih ada dikota kelahiran kami. Menjadi siswi SMA yang baik dan bercita-cita ingin terbang jauh juga suatu hari nanti.

Awal aku dan Reza berpacaran,kami memang tak pernah berkirim pesan ataupun bertelepon. Karena bertepatan dengan liburan semester kala itu. Dia selalu berkunjung kerumahku dan sesekali mengajakku jalan-jalan keliling kota berdua atau beramai-ramai dengan teman masa kecil kami yang lainnya. Mereka semua tahu kalau aku dan Reza menjalin hubungan,karena merekalah yang menjadi saksi saat Reza menyatakan perasaannya padaku. Jadi tak ada yang keberatan jika aku dan Reza sesekali pamit untuk tak menghadiri pertemuan rutin bersama dengan yang lainnya.

Namun kebahagiaan itu nyatanya hanya berlangsung selama 2minggu. Terhitung sejak hari pertama kami berpacaran. Sekembalinya dia ke kota tempatnya menimba ilmu,semuanya perlahan mulai berubah. Sikapnya mulai agak dingin dan susah sekali untuk dimengerti. Sering sekali dia marah-marah tak jelas saat kami ada kesempatan untuk berkirim pesan ataupun bertelepon. Padahal pesan yang dikirimpun tak banyak,dan kami tak pernah lama-lama bertelepon. Tapi tetap saja,seolah dia terganggu dengan pesan maupun teleponku.

Bahkan ketika pulang kerumahpun,dia tak pernah mampir untuk sekedar bersalaman dengan orangtuaku. Hingga saat kami tak sengaja berpapasan ditengah jalan,dia selalu menunduk dan tak mau menatapku. Di grup WhatsApppun dia juga tak pernah aktif hingga banyak dari kami yang sengaja menyindirnya. Sampai-sampai ketika kami berkumpul untuk melepas rindu dengan teman-teman yang lain ketika mereka pulang ke kampung halaman kami,sekali lagi aku tak di hiraukannya. Seperti aku sudah tak dianggapnya lagi.

***

avataravatar
Next chapter