webnovel

The World Of The Marriage

Farah, seorang gadis yang bersedia menyerahkan sepenuh hatinya kepada Farhan, seorang pria yang Ia kenal melalui temannya lewat jalur ta'aruf. Tidak ada yang salah dengan proses ta'arufnya, kesalahan terbesarnya adalah Farah begitu mempercayai Farhan hingga Ia mengalami keterpurukan yang teramat sangat. -- Nantikan update kisahnya setiap hari! Salam, -KataPelita

Ayu_Pelita_Sari · Realistic
Not enough ratings
7 Chs

Ombak Besar

OMBAK BESAR

Aku selalu mendukung dan mendoakan apapun yang terbaik untuknya.

Aku sangat mendukungnya ketika dia mengatakan ingin lanjut kuliah S1 (Strata 1) setelah aku melahirkan putra pertamaku, karena pendidikan yang ia tempuh sebelumnya hanya sampai tingkat diploma, --hingga keinginannya pun terwujud, ia di wisuda sebagai seorang Sarjana Pendidikan, meskipun uang bulanan yang ia berikan kepadaku hanya Rp.200.000 setiap bulannya, karena uang gajinya habis untuk membayar biaya perkuliahan dan segala tetek-bengeknya, namun aku tetap mensyukurinya. Aku tak pernah membebaninya dengan meminta dibelikan ini atau pun itu, karena sejak menikah pun dia tak pernah membelikan barang-barang keperluanku seperti pakaian atau semacamnya, dia menganggap sudah memberikanku uang jatah bulanan jadi aku disuruh membeli sendiri keperluanku dengan uang itu, padahal sesungguhnya uang segitu kurang untuk keperluan bulanan seorang istri, sehingga aku selalu menahan keinginanku untuk membeli sesuatu.

Akhirnya, aku mencoba menggali keahlianku dengan ikut kursus menjahit, hingga aku bisa terima jasa jahit dan sedikit membantu perekonomian rumah tangga kami juga bisa sedikit menabung.

Namun ternyata cobaan rumah tangga kami tak berhenti sampai disini.

Setelah sebelumnya adalah seorang santri yang menjadi "angin kencang" hingga menggoyahkan perahu kecil kami, dan tak pernah terpikir bahwa ternyata kini sebuah "ombak besar" menghantam perahu kecil kami yang mulai rapuh. Aku baru tahu kalau selama ini ia mengkhianatiku lagi. Ketika semuanya terbongkar, ia mengatakan bahwa ia ingin menikah lagi dengan seorang gadis belia yang sudah ia kenal di kota itu, yang tak lain adalah teman kuliahnya. Bahkan ia katakan, jika aku tak mengizinkannya maka ia akan menceraikanku. Aku hanya bisa menangis, merasa seorang diri di perantauan tanpa ada tempat berbagi keluh dan kesah. Namun lagi-lagi aku mengalah pada keadaan.

Akhirnya, pernikahan itupun terjadi. Dia menikah di rumah adik maduku, entah berapa mahar yang ia berikan dan semeriah apa pernikahannya, serta dari mana uang yang dia gunakan untuk mengadakan pesta pernikahan, aku tak tahu sama sekali. Karena aku benar-benar tak ingin hadir ataupun mencari tahu.

Berita suamiku menikah lagi pun viral di ponpes tempat kami mengajar, mulai dari guru-guru, santri, sampai tukang masak di dapur Ponpes An-Nuur ikut bergosip tentang rumah tangga kami.

Aku hanya bisa diam, dan mencoba tak menggubris semua yang kudengar, yang aku lakukan saat ini hanyalah fokus mengurus putra pertamaku, Firdaus. Aku tak ingin putraku tumbuh besar dengan cara asuh yang salah dan berwatak seperti bapaknya.

Setelah dia selesai berbulan madu 1 minggu lamanya, ia pun kembali ke ponpes dengan membawa istri keduanya. Aah, semakin menjadi-jadi buah bibir yang timbul di ponpes karena kehadiran adik maduku.

Suamiku langsung menemui mudir bersama istri keduanya bermaksud mengenalkannya ke mudir dan keluarga, juga dia bertujuan ingin meminta rumah dinas lagi untuk istri keduanya didalam pondok, tapi ternyata mudir mengatakan bahwa ponpes sudah tidak memiliki bangunan atau ruangan untuk dijadikan rumah dinas lagi, jadi mudir menyuruh suamiku untuk mencari kontrakan di sekitar ponpes untuk istri keduanya. Namun sesampainya dirumah, justru suamiku berkata kepadaku bahwa Vira, adik maduku akan tinggal bersama di rumah dinas yang kutempati, aku terkejut! "Bagaimana bisa 2 orang istri tinggal bersama dalam satu rumah, mas?" umpatku. Dan dia menjawab, "kenapa tidak bisa?? Kamu bisa tinggal dirumah ini karena perantara saya sebagai suami kamu, kalau kamu tidak mau tinggal bersama dengan Vira silakan kamu keluar dari rumah ini!" Lagi-lagi badanku bergemetar, dia mengucapkan semua kalimat itu didepan Vira, dan aku melihat dengan jelas bagaimana Vira tersenyum sinis ke arahku. Aku mengambil Firdaus yang sedang main dikamarku dan membawanya keluar, berjalan setengah berlari menuju padang ilalang di belakang rumahku, kemudian berdiri mematung diantara ilalang sambil menggendong putraku yang baru berusia 2 tahun. Air mataku tak menetes sama sekali, mungkin karena sudah mati rasa sehingga air mata pun sudah tak enggan untuk keluar, kini aku bagaikan jasad tanpa nyawa, segalanya terasa kosong, Firdaus menangis keras sekali…mungkin saja dia ikut merasakan apa yang ibunya rasakan.

Aku terduduk lemas diantara rerumputan kering, kuperhatikan diriku, gamis yang lusuh, dan tubuh yang kurus, semua itu karena dia tak pernah memperhatikanku!

Aku rindu masa-masa remajaku, saat aku masih bisa tertawa lepas, aku rindu kedua orang tuaku, merekalah yang selalu menyayangi dan mendukungku.

Aku bersenandung lirih, tak lama pun Firdaus tertidur di pangkuanku.

Tak terasa, sudah 2 jam aku disini, mencoba membalut lukaku yang berdarah-darah seorang diri. Lalu aku memutuskan untuk kembali kerumah, tapi ketika aku membuka pintu, justru aku melihat pemandangan yang luar biasa menjijikan!, suamiku dan Vira tengah bercinta dengan sangat bergairah dan sengaja membiarkan pintu kamarnya terbuka! "Gila!" teriakku dalam hati. Aku bisa melihat dengan jelas tubuh mereka tanpa busana sehelai pun, juga suara mereka yang tenggelam dalam kenikmatan, gaduh bersahutan, membuat sekujur tubuhku mati rasa.

Cukup! Aku sudah mati kali ini,

Jangan kau siksa lagi,

Atau berpura-pura menangis di depan jasadku.

Cukup! Air mataku telah mengering,

Hatiku membeku, tak ada lagi rasa yang bisa kurasa,

Cukup!

Aku masuk ke kamarku, menutup rapat pintu dan menguncinya, namun suara mereka berdua masih terdengar sangat jelas, karena ruangan yang dijadikan kamar Vira bersebelahan dengan kamarku.

Yaa Allah, masih sanggupkah aku untuk bersabar?

Ingin rasanya aku menyerah, berlari dan pergi dari hidupnya.

Tapi bagaimana dengan Firdaus?—dia butuh ayahnya.

Kubaringkan Firdaus di ranjang, kuperhatikan ia saat sedang tertidur lelap, air mataku mengalir tanpa suara, "Nak, Ummi cuma berharap kamu tumbuh menjadi anak sholih yang berakhlak mulia, jangan menjadi seperti bapakmu." Kubisikan lembut ke telinganya kata-kata dan doa yang keluar dari hatiku.

Baru 1 minggu Vira disini, suamiku di panggil oleh mudir, dan ternyata ia diberhentikan dari pekerjaannya, karena poligami yang suamiku lakukan banyak menuai kontra dari jajaran dewan guru dan wali santri, sehingga mau tidak mau suamiku harus keluar dari ponpes ini.

Ia menceritakan hal ini kepadaku dan Vira dirumah, karena ponpes memberikan waktu 3 hari kepada kami untuk mengosongkan rumah dinas.

Vira tiba-tiba bertanya dengan suara keras, "Lalu kita mau tinggal dimana bang? Terus gimana dengan makan kita hari-hari? Sedangkan abang sudah tidak bekerja pun tidak punya rumah!"

"Abang akan cari kontrakan kecil, sambil mencari pekerjaan baru, kamu dan Mbak Farah tolong bantu abang juga dengan berjualan kue-kue, bagaimana? Ini hanya sementara. In syaa allah keadaan akan kembali membaik." Sahut suamiku.

"Lalu dari mana uang untuk membayar kontrakannya bang? Kata abang, abang sudah tidak punya uang, semua uang tabungan abang sudah abang pakai untuk biaya pernikahan kita kan?" timpal Vira lagi.

Aku tersentak mendengar pernyataan Vira, Semua uang tabungan? Tabungan yang ia pegang adalah uang bersama antara aku dan suamiku, gajiku dan gaji suamiku semuanya di transfer ke 1 rekening yang di pegang oleh suamiku, aku hanya diberi Rp. 200.000 perbulan, dia bilang dia ingin sisa uangnya ditabung, aku menurutinya, tapi ternyata justru semua uang itu dia pakai untuk membiayai pernikahannya.

"Benar itu mas? Semua uang tabungan kita sudah kamu pakai?? Kamu kan tahu didalam 1 rekening itu juga ada uangku yang kuhasilkan dari aku bekerja disini, kamu bilang semua uang itu mau kamu tabung untuk keperluan rumah tangga kita!? untuk anak kita!? Kenapa kamu ngelakuin ini semua mas???" wajahku memerah menahan marah, tangisku terisak.

Dia hanya menunduk, tak menjawab.

Vira yang tak tahu apa-apa hanya melongo melihat kami berdua.

"Aku mohon tolong ceraikan aku mas…" lanjutku lagi dengan suara parau.

"Aku sudah lelah dengan semua ini, aku hanya ingin bahagia bersama Firdaus, tolong ceraikan aku sekarang juga."

"Apa? Cerai?? Ternyata begini ya sifat kamu, setelah kamu tahu bahwa aku dipecat dari sini lalu kamu ingin berpisah dariku, karena kamu gak mau hidup susah bareng aku??" timpalnya memutar balikan fakta.

"Terserah kamu mau bilang apa, aku sudah kebal dengan semua caci makimu, apakah kamu memberikan aku kebahagiaan selama ini?—tidak mas, justru kamu membunuh aku secara perlahan. Aku hanya ingin merdeka dari kamu. Tolong ceraikan aku." Jawabku dengan suara melemah.

"Yaudahlah bang, ceraikan aja dia, dari awal kita berkomitmen juga kan aku minta abang untuk menceraikan dia sebelum menikahiku, abang bilang nanti akan menceraikan dia, tapi mengapa sampai kini abang belum menceraikan dia juga?" tiba-tiba Vira menimpali.

Suamiku menatap Vira tajam dan menjawab, "Aku tidak akan pernah menceraikan Farah sampai kapanpun!"

"Apa yang membuat abang merasa berat untuk menceraikan dia? Abang kan sudah tak cinta dia." Sahut Vira dengan suara meninggi.

"Cukup Vira!" bentak suamiku. "Jangan mencampuri urusan aku dan Farah!"

Vira masuk kekamar dan membanting pintu sangat keras, lalu terdengar tangisannya pecah.

Aaaaarrrrggghh!

Suamiku menonjok dinding.

Sedangkan aku masih duduk mematung.

###