Warning:
Chapter ini mengandung adegan kekerasan, harap pembaca dapat dengan bijak menyikapinya.
PoV: Vincent
Kepalaku pusing sekali dari semalam. Mungkin benar seperti yang dikatakan Thomas, aku langsung terkena flu karena kemarin kehujanan.
Untungnya aku selalu membawa masker penutup wajah di tas. Sebelum seisi kelas ini tertular flu sebab aku mulai batuk-batuk, lebih baik kupakai saja maskernya. Haha
Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Olvie, ya? Apa dia baik-baik saja?
Kedua ibu jari tanganku meluncur di atas layar ponsel mengetikkan namanya di daftar kontak, lalu beralih ke pesan. Kupandangi tulisanku yang belum kukirim itu.
Vie, kamu gak flu, 'kan? Maaf membuatmu kehujanan kemarin.
Terlalu berlebihan tidak, ya? Atau nanti saja chat-nya? Dia pasti sekarang masih berada di kelas.
Ah, gak usah, deh, pikirku. Lagi pula, akhir-akhir ini aku terlalu banyak mengirimkannya pesan, seperti bukan diriku saja.
Kuangkat kepalaku yang sedari tadi kurebahkan di atas meja, mencoba fokus ke depan. Materi Teori Auditing yang ditulis Pak Pendi di white board membuat kepalaku semakin sakit. Masalahnya, tulisannya lebih mirip dengan cakar ayam.
Kulirik Thomas, dia sedang serius menyalin materi itu ke dalam buku catatannya. Bagus, setidaknya aku bisa meminjamnya nanti.
Pandanganku memang menatap lurus ke depan, tapi pikiranku berbelok kemana-mana. Aku terus mengingat ketika berada di rumah Olvie semalam.
Orang tuanya sangat baik, bahkan kupikir hubungan mereka tidak seperti antara orang tua dan anak, melainkan seperti teman sendiri.
Mereka saling bergurau dan meledek, mereka juga saling terbuka hingga mungkin bagi mereka tidak ada satu hal pun yang perlu ditutupi.
Dan, yang paling terpenting adalah mereka terlihat bahagia, sebuah keluarga yang utuh. Jujur saja aku sempat merasa minder berada di tengah-tengah mereka.
Apakah setiap rumah memang seperti keluarganya Olvie? Apa hanya aku saja yang berbeda? Andai aku bisa memilih di keluarga seperti apa aku dilahirkan.
Bahkan, ibunya Thomas pun rajin menanyakan kabar atau bahkan hanya sekadar mengingatkan untuk makan tepat waktu.
Aku menarik napas dalam, menghembuskannya dengan perlahan. Kugelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai muncul.
Aku teringat pesan dokter Elios untuk tidak membiarkan pikiran-pikiran negatif itu kembali menguasai diriku. Ya, aku percaya bahwa aku sudah sembuh sepenuhnya, dan hidupku yang sekarang sudah jauh lebih baik.
Saat ini aku hanya perlu tenang, aku tidak ingin merepotkan siapa pun lagi. Kutekankan pada diriku sendiri untuk selalu tersenyum dalam menanggapi segala hal.
Aku tersenyum bukan hanya karena ingin, tapi karena kutahu ketika aku melakukannya, sesuatu yang baik akan terjadi.
Ponselku yang bergetar menghardik semua isi kepalaku. Kuraih benda itu dari dalam saku celana. Kenapa aku mengira mungkin saja itu pesan dari Olvie? Sehingga aku begitu tergesa-gesa ingin melihatnya.
Sebuah pesan dari nomor yang tidak ada di daftar kontakku.
+62821999000xx:
Berani ya kau menantangku? Udah kuperingatkan dan kau abaikan.
Ah, ini orang yang sebelumnya mengirimkanku foto. Rasa-rasanya aku tidak pernah menantangnya atau bagaimana. Buang-buang waktu saja.
Selang sepuluh menit kuacuhkan, dia kembali mengirimkanku pesan. Sebuah foto, dan lagi-lagi itu fotoku yang sedang bersama Olvie. Kali ini di halte tempatnya menunggu jemputan kemarin sore.
Niat sekali orang ini menguntit kemana-mana, walaupun aku sendiri belum tahu siapa yang diikuti, aku atau Olvie?
Anda:
Apa maksudmu?
+62821999000xx:
Jelas udah kubilang waktu itu, kau hanya perlu menjaga jarak dengan gadis itu, maka kau akan aman.
Anda:
Aman dari apa? Kenapa mengancam?
+62821999000xx:
JAUHI OLVIE.
Anda:
Ini siapa?
+62821999000xx:
Kau ga perlu tahu, yang harus kau tahu adalah Olvie itu milikku seorang!
Anda:
Oh, bukannya hubungan kalian udah berakhir, Kak Bobby?
+62821999000xx:
Mau mati kau?
Melihat dari responnya, sepertinya benar ini adalah bekas pacarnya Olvie yang error itu. Selebihnya tidak kubalas lagi, hanya ku-read saja.
Bagiku, ini sangat tidak penting, selama dia tidak mengganggu Olvie lagi. Aku tidak memperdulikan ancaman omong kosongnya itu. Nanti juga capek sendiri, pikirku.
Kulemparkan ponselku ke atas meja, di atas tas, lalu mencoba kembali fokus pada Pak Pendi yang kini tengah bercuap-cuap menerangkan materi baru.
Setengah jam sebelum pelajaran berakhir, aku mendapat panggilan telpon. Sedikit kecewa karena lagi-lagi bukan dari Olvie, melainkan dari nomor yang tadi.
Kuanggap ini benar Kak Bobby. Jadi, aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Kurasa dia hanya kesal karena responku tidak seperti yang diharapkan.
Kemudian, dia mengirimkan pesan lagi tepat beberapa saat setelah panggilannya berakhir. Sebenarnya, aku sudah malas dan ingin langsung ku-end chat saja.
Kuturunkan bilah notifikasi dengan mata mengantuk untuk menghapusnya. Sebagian isi pesan itu terbaca di bar notifikasi. Aku sampai memicingkan mata begitu melihat nama Olvie disebutnya lagi. Namun, kali ini kalimatnya bukanlah 'jauhi Olvie'.
Langsung saja kubuka agar aku bisa membaca seluruh isi pesannya.
+62821999000xx:
Olvie sedang bersamaku. Apa kau akan terus tetap mengabaikan peringatanku?
Jujur saja, aku terkejut. Ada urusan apa Olvie dengannya? Seperti yang gadis itu pernah bilang, dia benar-benar sudah mengakhiri semuanya dan kupikir memang sudah selesai.
Kalau sampai Olvie mau bertemu dengannya lagi, sudah pasti si Bobby memaksanya seperti yang dia lakukan tempo hari.
Langsung saja kutelpon Olvie, tapi tidak aktif. Rasa cemas perlahan muncul menggerayangi tubuhku, aku mulai gelisah.
Apa yang sebaiknya kulakukan? Apa lebih baik kutunggu saja kabar dari Olvie? Tapi bagaimana jika Bobby bertindak gegabah dan menyakitinya lagi?
Hah... Kupejamkan mata sambil berpikir sejenak, lalu nomor itu menelponku lagi. Aku mengambil ponsel itu dan segera bangkit dari kursi.
"Mau ke mana?" tanya Thomas.
Kutunjukkan layar ponselku yang bergetar menandakan adanya panggilan telpon dan aku hendak menjawabnya di luar.
"Sekalian ke toilet untuk cuci muka, kepalaku rasanya mau pecah mendengar suara bapak itu," kataku dengan sedikit memaksakan tawa.
Pak Pendi sempat menatapku beberapa saat sebelum mengijinkanku keluar kelas. "Kamu sakit?"
Aku menggeleng dan segera melangkahkan kaki ke koridor depan kelas, lalu langsung menjawab telpon. Maskerku sudah kutinggalkan di atas meja tadi.
"Kakak mau apa dariku?" tanyaku langsung to the point.
"Cepat ke sini sekarang juga!" seru suara itu dari ujung telpon.
"Kenapa aku harus ke sana?"
"Kau masih berani juga menantangku?"
"Aku gak bermaksud untuk menantang, cuma-"
"Ke sini atau akan kubuat gurat senyum di wajah Olvie hilang selamanya!"
"Ke mana?" tanyaku spontan tanpa basa-basi lagi.
"Nah, gitu, dong. Dari tadi kenapa."
"Kalian di mana?!" tanyaku sekali lagi.
"Kau tahu gedung Raden Intan, 'kan? Gedung yang menjadi pembatas antara Fakultas Ekonomi dan Ilmu Komputer."
"Ya," jawabku singkat.
"Aku tunggu kau di atapnya dalam sepuluh menit!"
Belum sempat kuajukan protes, dia langsung menutup telpon begitu saja. Dan, yang benar saja? Jika jalan kaki pun ke sana paling cepat lima belas menit. Gedung itu cukup jauh dari tempatku berdiri sekarang.
Kulihat arloji di tangan kiriku. Detiknya yang terus berputar seolah tak mau menungguku untuk berpikir sebentar, sedangkan diriku masih mematung di sini.
Haruskah aku mengabari Thomas? Tapi, tadi si Bobby memintaku untuk datang sendirian. Kalau Thomas tahu tentu dia tidak akan tingal diam. Ah, lebih baik ke sana dulu saja. Aku terlalu lama membuang waktu.
Sepanjang jalan, aku terus kepikiran Olvie, dia pasti tidak nyaman di sana. "Ngapain juga harus di atap?" gumamku. Mungkin saja dia sedang ketakutan, setidaknya aku harus melihatnya.
Lima menit sudah kakiku melangkah dengan cepat. Si Bobby sudah menelponku lagi.
"Aku lagi jalan ke sana," kataku dengan napas yang terburu-buru.
"Lima menit lagi," jawabnya, lalu mengakhiri panggilan.
Hah? Gila! Sedikit ragu, tapi aku langsung berlari seperti sedang dikejar anjing. Tidak kupedulikan lagi kepalaku yang terus berdenyut sejak semalam.
Langkahku semakin pelan, lalu berhenti tepat di depan pintu masuk gedung Raden Intan. Aku membungkuk dengan kedua tanganku di lutut, berusaha mengatur napasku yang tersenggal-senggal. Beberapa kali aku terbatuk-batuk, bahkan rasanya seperti akan muntah.
Aku bisa merasakan peluh yang mengalir di pelipisku, juga telapak tanganku yang dingin sudah basah dan lembab. Kupaksakan kakiku untuk melangkah masuk dengan gontai.
Kulihat lagi tam tanganku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali karena pandanganku kabur. "Terlambat," gumamku. Sekarang sudah tepat sepuluh menit.
Semoga saja dia bisa mengerti bahwa aku sudah berusaha semampuku agar tiba tepat waktu. Kuraih pegangan anak tangga di sisi kanan guna menahan tubuhku yang rasanya akan roboh ini.
Tidak ada seorang pun di sini, mungkin mereka sedang istirahat keluar untuk makan siang. Aku terdiam menatap anak-anak tangga di hadapanku, rasanya aku tidak sanggup menaiki mereka.
Kuamati sekeliling dan menemukan lift di ujung lorong. Aku menarik napas lega. Benar juga, gedung sepuluh lantai masa hanya ada tangga? pikirku.
Selama lima semester aku kuliah di sini, belum pernah sekali pun kuinjakkan kakiku ke sini. Gedung ini adalah gedung kemahasiswaan, koperasi gabungan fakultas, dan galeri karya-karya mahasiswa di sini, termasuk juga berbagai usaha kecil menengah.
Aku duduk di lantai lift, masih bergumul dengan napasku yang tak beraturan. Kupegang dadaku, debaran jantungnya sudah tidak sehebat tadi. Tenggorokanku rasanya kering.
Lima... Enam... Tujuh...
Aku terus menunggunya hingga lantai sepuluh. Namun, untuk menuju atap, aku tetap harus menaikan tangga selantai lagi.
Sesampainya di atap, terpaan angin menyambutku riang. Mataku langsung menelusuri setiap sudut tempat ini. Sampai akhirnya aku melihat Bobby datang menghampiriku. Ya, dia hanya seorang diri.
"Kau terlambat lima menit! Kau membuatku menunggu lama."
"Di mana Olvie?" Mataku masih saja terus mencari keberadaannya.
"Olvie? Hm.. Mungkin di kelas. Eh, tapi jam segini seharusnya dia udah selesai kelas," jawabnya.
Aku mengerutkan kening tanda kebingungan.
"Mungkin juga dia lagi di kantin bersama Vira. Oh, atau dia langsung pulang?" lanjutnya. Dia terdengar sedang mempermainkanku.
Aku menghela napas lega sebab tahu Olvie tidak ada di sana. Syukurlah dia hanya berbohong hanya untuk memancingku ke sini. Aku sadar itu.
Tidak ingin berlama-lama berurusan dengannya, segera kuberbalik dan berniat untuk kembali. Belum sempat menuju tangga, Bobby menendang lutut kananku dari belakang. Aku langsung jatuh berlutut.
Dengan sedikit merintih aku menatapnya dalam diam. Bobby menyeringai sambil menjentikkan jarinya di udara, lalu entah dari mana keluarlah beberapa orang pria lain menghampiri kami.
Ada empat orang. Salah satu di antara mereka adalah Fino, dan dua di antaranya adalah pengikut setianya; Evan dan Ray. Sedangkan seorang lainnya belum pernah kulihat. Aku bisa merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Sedang apa kalian di sini?" Aku berpaling ke Bobby. "Kak, emang kita gak bisa ngomong baik-baik aja empat mata?"
Aku berusaha bangun perlahan, lututku terasa nyeri. Aku sempat melihat Bobby memberikan sebuah kode mata pada Fino dan lainnya sebelum akhirnya Evan dan Ray menarik kedua lenganku dan langsung menguncinya masing-masing dengan lengan mereka. Kemudian, mereka menarikku ke tengah.
Aku memberontak mencoba melepaskannya, tapi tentu saja tenagaku kalah dengan tenaga dua orang.
"Ayolah, aku gak pernah ada masalah dengan kalian, Fino. Biarkan aja aku pergi dari sini." Kucoba membujuk mereka yang kukenal.
Sang dalang, Bobby, datang mendekat. "Aku udah kasih kesempatan selagi aku bicara baik-baik waktu itu, tapi kau mengabaikannya. Dan sekarang kau memohon untuk bicara empat mata?"
Dia tertawa keras setelah menyelesaikan kalimatnya, lalu membuang ludah ke tanah, tepat di samping kakiku.
"Kau sampai rela mengotori tanganmu begini hanya karena gak bisa melepaskan seorang gadis yang bahkan udah gak menganggapmu lagi?" tanyaku.
"Diam! Kau nggak tau apa-apa! Dia masih mencintaiku, dia bilang dia selalu mencintaiku! Setidaknya begitu sebelum ada kau!" ketusnya.
Aku tersenyum sinis. "Seharusnya kau sadar lebih cepat, Kak Bobby sendirilah yang membuat Olvie berpaling! Kau sendirilah yang selama ini menyakitinya. Apa kau tahu seberapa sering dia menangis karena ulahmu?!"
Terlihat dari napasnya, Bobby mulai geram.
"Relakan aja dan biarkan Olvie bahagia, Kak. Tanpa dirimu," lanjutku.
Raut wajahnya berubah marah mendengar ucapanku barusan.
Bugh!
Sebuah kepalan tangan dengan tenaga penuh mendarat tepat di perutku. Aku yang tidak siap menerimanya hanya bisa menahan napas. Sekitar tiga detik, pandanganku gelap. Rasa mual menjalar di perutku.
Baru saja saat kumulai bisa kembali menarik napas, Bobby melayangkan kembali tinjunya dan langsung menghantam bagian perutku lagi, persis di tempat yang sama.
Aku mengerang kesakitan. Kakiku tidak sanggup lagi menahan tubuhku yang lemas, tapi Evan dan Ray yang memegangi kedua tanganku memaksaku tetap berdiri.
"Theo, mana ponselmu?" suara Bobby. Sepertinya dia hendak menelpon seseorang.
Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena fokusku menahan sakit, tapi aku tahu dia sedang berbicara dengan Olvie. Nada bicaranya keras dan terdengar sedang mengancam.
Rasanya aku ingin berlari ke arahnya dan merebut ponselnya untuk memperingatkan Olvie agar dia tidak perlu mendengarkan si Bobby. Namun apa daya, aku tidak bisa melakukannya.
"Hajar dia!" teriak Bobby usai mengakhiri panggilannya.
Kupejamkan mataku, bersiap untuk menerima pukulan lain. Tapi mendadak Evan dan Ray melepaskanku, sehingga tubuhku ambruk duduk ke lantai.
Bugh!
Sebuah tendangan keras mengenai dadaku, tubuhku terpental ke belakang. Aku batuk kencang seraya memegangi dada. Ughh.. sakit sekali rasanya.
Aku harus menghubungi Thomas, ini benar-benar sudah berada di luar kendaliku. Baru saja aku mau merogoh kantung celanaku meraih ponsel, aku melihat beberapa bayangan mendekat.
Fino, Evan, dan Ray kini sudah mengelilingi aku yang terbaring di lantai atap. Mereka menyeringai buas sebelum menendangiku dengan brutal. Yang dapat kulakukan hanyalah melindungi kepalaku dengan kedua tangan, sementara kubiarkan mereka menendang dan menginjak bagian tubuhku yang lain.
Uhuk!
Darah segar keluar dari mulutku ketika salah satu ujung sepatu mereka menghantam bagian atas kanan perutku dengan keras. Dengan susah payah aku berusaha bernapas di tengah rasa sakit di sekujur tubuhku.
"Stop!"
Terdengar sebuah suara, lalu mereka berhenti menghajarku. Aku meringkuk, tak henti batuk dengan memuntahkan darah lagi. Aku harus tetap sadar, setidaknya aku harus menghubungi Thomas dulu sebelum kesadaranku benar-benar hilang.
Aku masih dapat mendengar suara teriakan Bobby. "Asu! Udah kubilang jangan diangkat!!"
Suara yang berikutnya lebih terdengar seperti adu mulut antar dua suara. Aku tidak tahu Bobby ribut dengan siapa, yang pasti aku sangat kesakitan.
Aku bisa merasakan sebuah kaki membalikkan tubuhku yang meringkuk, kubuka mata sedikit dan melihat Bobby. Dia tersenyum aneh kepadaku yang sudah tidak berdaya.
Rupanya dia masih belum puas juga melihatku seperti ini. Diletakkan salah satu kakinya tepat di atas dadaku yang naik turun karena sesak. Perlahan dia menekan kakinya.
"Nghh.." keluhku. Kucengkram pergelangan kakinya itu dengan kedua tanganku, berusaha menyingkirkannya dari dadaku, tapi dia tidak bergeming sama sekali.
Dengan napas yang tersenggal aku berkata, "Kau.. be-benar.. benar.. gi..la!" Suaraku hampir tidak keluar karena terhalang sejumlah darah di tenggorokan.
Aku batuk-batuk lagi, tanganku masih menggenggam erat kakinya. Bobby tertawa senang. Dia sempat melonggarkan dorongan kakinya, memberi ruang padaku untuk mengambil napas. Dia benar-benar kejam! Orang seperti ini yang pernah dicintai Olvie?
"Ada lagi yang mau kau sampaikan?" Senyumnya mengembang sempurna.
Aku batuk sekali.
"Keputusan Olvie... s-sangat tepat." Aku mengambil beberapa tarikan napas sebelum melanjutkan.
Bobby menggoyangkan kakinya yang berada di atas dadaku, seolah memberi isyarat bahwa dia ingin mendengar apa yang akan kukatakan.
"Syukurlah... dia memilih mengakhiri hubungannya dengan orang BRENGSEK sepertimu!" ucapku dengan satu tarikan napas panjang.
"ASU!!"
Dia mendorong kakinya lagi. Aku tahu aku sudah memancing kemarahannya. Aku hanya mengatakan apa yang harus kukatakan.
Aku meringis saat dadaku ditekan lebih kuat, kali ini dia memelintirkan sepatunya yang keras dan alasnya yang bergerigi di dadaku. Spontan aku mengerang, berteriak sejadi-jadinya.
Tidak ada ruang tersisa bagiku untuk bernapas. Berulang kali kakiku berusaha menendangnya, tapi tida juga dia bergeming.
Aku memberontak sekuat tenaga, bahkan pergelangan kakinya pun tergores kuku jariku karena terlalu kuat mencengkramnya, menarik kakinya berlawanan dengan arah dorongannya. Dia benar-benar seperti orang kesurupan!
Dadaku sesak, aku sudah kehabisan napas. Kakiku perlahan berhenti memberontak dan genggaman tanganku di kakinya semakin melemah. Aku terus menatap wajah bringasnya, tiada keraguan sedikit pun terpancar dari sorot matanya.
Pandanganku mulai kabur. Aku bisa merasakan gejolakan paru-paruku menuntut oksigen, tapi dadaku bahkan tidak bisa digerakkan.
Aku menyerah. Kubiarkan kedua tanganku jatuh terkulai, lepas dari pergelangan kakinya.
Dalam kekaburan, aku melihat orang yang sedari tadi diam hanya menonton, mendorong Bobby hingga terjatuh. Aku langsung mengambil kesempatan ini untuk mengembalikan napasku.
Aku batuk-batuk tak karuan sambil meremas dada, seperti seseorang yang baru saja selamat dari tenggelam. Mataku panas dan terus berair. Meskipun aku sudah mengambil napas dalam berkali-kali, paru-paruku tetap menuntut oksigen lebih banyak lagi.
Tidak bisa, terlalu sesak. Aku butuh inhaler atau alat bantu napas lainnya. Dengan sisa tenaga yang ada, aku berhasil mengeluarkan ponsel dari saku celana. Mataku berulang kali mengerjap keras, memfokuskan pandanganku mencari nama Thomas dan menelponnya.
Terdengar suara keributan di sekitarku, tapi telingaku sudah tidak dapat menangkap percakapannya lagi. Aku tidak perduli.
Kupejamkan mataku, menikmati kesesakan dalam gelap. Potongan-potongan ingatan akan kenangan burukku dulu kembali melintas dalam benakku.
Aku ingat dulu mama juga pernah menghajarku seperti ini. Bahkan masih terekam jelas ketika ia tidak membiarkan siapa pun termasuk Bi Yati untuk membasuh lukaku. Masih jelas teringat bagaimana rasa takutnya kala itu, sendirian di lantai yang dingin, sama seperti yang kurasakan saat ini.
Kenapa mereka; ingatan-ingatan itu, yang selalu hadir menemaniku setiap diriku sedang dalam keadaan lemah seperti ini? Aku tidak mungkin dapat mengalami dan merasakan sesuatu yang seperti itu lagi kalau saja aku mati di tangan mama saat itu.
Sesuatu yang hangat mengalir dari kedua sudut mataku. Kubiarkan diriku tenggelam dalam lautan trauma masa laluku, semakin dalam, dan semakin... gelap.