Almira memaku disudut jendela, menatap rerimbunan pohon bunga mawar di pinggiran rumah kecil yang dia tinggali bersama wanita tua yang mengasuhnya dari kecil. Baru beberapa hari mereka pindah dari sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian koAarta saat ini.
Matanya redup, penuh dengan kesedihan dan juga... Sebongkah kebencian yang tak terungkapkan. Ia menutup matanya, dan menghela nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan nafasnya dengan berat, butiran air bening tumpah disudut matanya. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan selama 20tahun ini.
Tak lama setelah ia puas melamun dan menangis ia pun segera bergegas menuju halte untuk berkeliling menjual beberapa bunganya. "Aku mau beli bunganya, aku borong semuanya. Berapa harganya?" Almira terkejut melihat lelaki didepannya, Almira hanya diam dan mununjukkan sebuah daftar harga. Lelaki itu pun mengangguk dan mengeluarkan dompetnya, "kembaliannya ambil saja... Anggap saja bentuk permintaan maafku karena kemarin tidak sengaja menabrakmu".
Almira terdiam dan menganggukkan kepalanya, ia sedikit berbungkuk sebagai tanda terima kasih. Seandainya ia dapat mengatakan bahwa ia sama sekali tidak marah, sayangnya ia pun tak bisa menjelaskan. Sekali lagi Almira menanggukkan kepalanya, sebagai tanda pamit kepada lelaki itu.
Sesaat setelah ia melangkahkan kakinya lelaki itupun memanggilnya, "Tunggu. Siapa namamu?"
melihat Almira masih diam diapun bertanya, "Maaf, apa kamu tidak dapat berbicara?" tak mendapatkan jawaban akhirnya Arga pun menyerah, "Maaf aku tidak bermaksud menghinamu". Almira tersenyum dan melangkah pergi, ia sama sekali tidak tersinggung.Melihat Almira selalu diam dia pun tidak menyerah, rasa penasarannya semakin tinggi. "Gadis yang misterius" pikirnya dalam hati.
Suasana hati Almira masih bergemuruh bagaikan petir ditengah hujan, 20 tahun yang lalu menjadi penyebab ia tak dapat berbicara lagi. Bahkan kalau ia dapat memilih, ia jauh memilih untuk mati. Namun takdir berkata lain, ia hidup hingga kini. Setiap kali ia terbangun dari tidur ia selalu ingin melupakan kejadian yang mengerikan itu, namun pada kenyataannya ia selalu teringat kejadian itu.
Semenjak pindah ke Jakarta Almira mencari alamat sebuah tempat yang selama ini selalu membayanginya. Tempat itu adalah sebuah gedung megah yang berada dipinggir jalan. Bangunannya besar dan megah, tapi sayang sudah tak terawat lagi. Cat temboknya mulai memudar dan mengelupas, dindingnya sebagian retak dan berlumut, lantainya tertutup debu, sebagian jendelanya pecah, dan disekitarnya tumbuh ilalang dan rumput liar yang subur.
Dihalaman gedung itu terdapat sebuah air mancur yang mengering, dan sebuah kolam ikan yang tertutupi dedaunan kering. Beberapa hari yang lalu Almira hanya mampu memandangnya dari luar bukan karena ia takut pada hantu, tapi ia takut akan bayang-bayang masa lalu yang membuat dadanya sesak dan kini ia memberanikan diri untuk memasukinya.
Tanpa Almira tau ternyata ada seorang lelaki yang membuntutinya dari belakang sambil mengendap-endap dan sekarang ia bersembunyi dibalik pohon besar tak jauh dari tempat Almira berdiri. Ia memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu dan terus mengikutinya dari belakang. Lelaki itu adalah Arga, pria dengan rasa penasaran yang tinggi yang beberapa hari lalu tidak sengaja menabraknya.