12 Penjelasan Khusus

Sendirian, Jevan membawa dua plastik besar berisi makanan, pakaian, dan kebutuhan lain untuk Bella yang Ia beli sendiri di minimarket rest area tadi sebelum Ia sampai ke rumah sakit. Tristan tidak tahu apa kebutuhan spesifik Bella, hingga akhirnya Ia membeli barang sesuai intuisinya saja. Gia dulu pernah dirawat di rumah sakit, jadi ya kurang lebih mirip seperti itu.

Sampai di lantai tiga, Tristan langsung menuju ruangan Bella. Tampak di dalam dokter dan perawat sedang memeriksa kondisi gadis itu.

"Selamat malam, dokter, suster, Bella," sapa Tristan ramah.

"Selamat malam, Kapten Tristan," jawab sang dokter bernama Hari itu akrab. Tristan banyak bicara dengannya soal Bella tiga hari terakhir, hingga dokter itu tahu salutasi Tristan dalam pekerjaannya.

"Bagaimana kesehatan Bella, dokter?"

"Sudah jauh lebih baik. Hanya saja luka benturannya perlu dirawat lebih lanjut di rumah sakit ini sekitar tiga hari, baru Mbak Bella diperkenankan pulang," ujarnya ramah.

Bella dan Tristan tersenyum.

"Baik, dokter. Terimakasih kalau begitu," ujar Tristan.

"Sama-sama. Kami pamit dulu, mari," pamitnya pada Bella dan Tristan. Dokter itu lantas keluar ruangan bersama si perawat di belakangnya.

Tristan lantas menaruh barang bawaannya di meja samping tempat tidur Bella.

"Saya gak paham apa aja kebutuhan Kamu, tapi ini kebutuhan dasar aja. Bilang sama Saya kalau Kamu butuh sesuatu," ujar Tristan.

Bella mengangguk, "Makasih banyak, Tristan. Saya berhutang budi sekali sama Kamu."

"Gak masalah, sudah kewajiban Saya menolong Kamu."

Bella dan Tristan saling tersenyum, hingga akhirnya Bella sadar apa yang terjadi. Benar kata Gia, perasaan yang timbul akibat mimpinya soal Tristan itu masih ada. Seperti saat ini, Ia menatap Tristan dengan perasaan itu, perasaan sayang, sementara Tristan tidak demikian.

"Jadi, apa yang ingin Kamu bicarakan dengan Saya?" tanya Tristan memecah keheningan.

Bella berdeham, menetralkan rasa kikuknya, juga perasaan konyolnya tadi. Ya, konyol, karena Ia sudah tahu itu hanya mimpi, tapi masih saja perasaannya terasa nyata.

"Saya yakin Mbak Gia sudah memberitahu sebagian besar penjelasan Saya ke Kamu. Sikap aneh Saya ke Kamu tadi siang itu akhirnya Saya sadari hanya mimpi. Mimpi yang sangat nyata dan panjang, hingga Saya membawanya ke dunia nyata."

Tristan mengangguk paham, masih mendengarkan Bella serius.

"Semua skenario, dan perasaan dari setiap skenario itu masih Saya rasakan sampai sekarang. Kamu perlu tahu kalau Saya adalah pengidap hypertymesia, HSAM."

Tristan tertegun. Benar dugaannya kalau Bella adalah pengidap penyakit langka itu.

"Saya dapat mengingat dengan detail apa yang memori otak Saya terlanjut rekam, termasuk mimpi. Saya menderita kelainan itu sejak kecil, hingga Saya masih ingat ... soal kejadian dimana Ibu hendak membunuh Saya yang masih bayi usia lima bulan."

Tristan menelan salivanya dalam-dalam, benar-benar cerita yang miris Ia dengar malam ini.

"Mimpi itu masih sering melintas dalam tidur Saya, bahkan di seminar kala itu, Saya sampai pingsan karena kelebatan ingatan itu datang. Bukan hanya sekedar memorinya, tapi juga perasaan sedih, takut, dan mencekam yang membuat kepala Saya sakit dan nafas Saya tercekat," lanjutnya panjang lebar.

Bella kemudian menoleh ke arah Tristan yang memperhatikannya sedari tadi.

"Namun di mimpi panjang Saya, ini aneh. Seolah Saya berhasil melakukan time travel, menjadi penjelajah waktu. Saya benar-benar mengenal dan menyayangi Kamu di mimpi itu, itu terasa sangat nyata, padahal kita baru bertemu dua kali, di insiden yang kurang mengenakkan."

"Kali ini, hypertymesia yang Saya miliki turut merekam apa yang Saya lihat dalam mimpi yang belum pernah Saya alami sebelumnya."

Tristan menghela nafas dalam, "Saya bukan orang yang mudah percaya hal-hal ghaib di luar nalar seperti time travel. Yang Saya percaya adalah hypertymesia Kamu membuat Kamu merasakan hal-hal itu."

"Semua orang bisa memiliki bunga tidur seperti itu, Bella. Tapi di kasus Kamu, hypertymesia membuatnya lebih dari sekedar lucid dream," lanjutnya.

"Tapi skenario dimana Saya terbangun dikelilingi oleh Kamu, Mbak Gia, dokter Hari, dan satu orang perawat itu turut terekam dalam ingatan Saya dari mimpi itu," ujar Bella.

Tristan mengerutkan dahinya bingung, "Salah satu skenario mimpimu itu terjadi di dunia nyata? Begitu maksudnya?"

Bella mengangguk pelan, "Seolah tidak masuk akal. Tapi memang benar itu terjadi. Itu semua sama persis, kecuali Kamu yang bukan berstatus sebagai tunangan Saya," ujarnya.

Tristan tampak berpikir keras, hingga akhirnya Ia mencari jalan tengah sementara, "Saya tidak tahu apa yang lebih lanjut harus kita lakukan. Untuk sementara, mari kita lupakan hal aneh yang terjadi itu. Tidak baik juga untuk mempercayai hal-hal yang belum terjadi."

"Ya, Kamu benar. Sekali lagi, Tristan. Saya mohon maaf sudah lancang dengan Kamu. Kamu pasti tidak nyaman atas perilaku Saya," ujarnya.

Tristan menggeleng dan tersenyum, "Saya sudah katakan ke Kamu, tidak apa-apa. Jangan dipikirkan, Saya juga akan melupakannya."

"Terimakasih."

Hening kemudian. Hanya suara televisi dan keramaian jalan raya yang terdengar di ruangan itu. Hingga akhirnya tangan Bella terjulur mencari air minum, ingin membasahi kerongkongannya yang mengering akibat banyak bicara dan menghirup udara kering ruangan ber-AC itu.

"Biar Saya bantu," ujar Tristan, bergerak cepat membukakan satu botol air mineral, menaruh sedotan di dalamnya agar Bella tidak kerepotan.

"Terimakasih."

Tristan mengangguk, lantas kembali ke posisinya, "Karena Kamu mengidap penyakit langka itu, Saya sangat khawatir kalau kecelakaan itu akan selamanya membekas di ingatan Kamu," ujarnya.

Bella mengangguk, "Pasti. Itu sudah risiko. Saya pasti akan mengenangnya seumur hidup, Saya tidak bisa melupakan kejadian itu," ujarnya sendu.

"Apa itu juga turut datang di mimpimu saat tidak sadarkan diri empat hari terakhir?"

"Ya, dan itu sangat menakutkan."

Tristan menjadi iba, "Karena itu Kamu sering mengigau? Saya benar-benar khawatir saat melihat Kamu seperti itu. Kamu bahkan menangis dalam tidur."

"Ah benarkah? Biasanya memang seperti itu jika itu sangat mengganggu tidur Saya."

Tristan mengangguk paham, semakin bersimpati dengan gadis di depannya ini. Sudah tidak memiliki keluarga yang dapat dijadikan sandaran bahkan mencoba membunuhnya saat kecil, ditambah Ia tidak dapat melupakan memori buruknya sejak usia lima bulan.

"Mulai sekarang, jika Kamu mengalami mimpi-mimpi itu lagi, Kamu bisa menghubungi Saya. Setidaknya panggilan telepon dapat meringankan ketakutan Kamu," tawar Tristan tanpa pikir panjang. Bukan kepedean, tapi memang Bella sepertinya perlu ditenangkan ketika mimpi itu datang. Lebih dari lima kali Tristan harus memegangi dan mengelus tangan gadis itu agar Ia tenang dari mengigau dalam tidurnya.

Bella tersenyum tipis, "Saya rasa itu berlebihan, Tristan. Kita bahkan tidak kenal dekat."

"Kalau begitu, mari kita berteman. Saya tidak ingin Kamu menderita sendirian."

avataravatar
Next chapter