27 Out of The Box!

Bella baru saja menghentikan mobilnya di area parkir khusus dosen pagi itu sekitar jam tujuh. Dosen itu punya jadwal mengajar pagi. Segera saja Bella menuju ruang tata usaha untuk scan biometrik, alias absensi. Dosen itu tak pernah terlambat datang ke kampus selama ini, bahkan datang terlebih dahulu dibanding mahasiswanya sendiri.

"Selamat pagi," sapa Bella ramah ketika memasuki ruang kelas yang baru diisi sekitar tujuh sampai sepuluh orang itu.

"Pagi, Bu," jawab mereka.

Bella melirik jam dinding kelas, seraya menaruh barang-barangnya di meja, "Udah jam 6.45 tapi kok masih sepi? Kemana temen-temen kalian?" tanyanya. Masih tersenyum, tanpa mengintimidasi. Tapi sejujurnya sih itu cara Bella mengintimidasi.

Mahasis wa yang sudah ada di ruangan itu hanya cengengesan, agak malu sebenarnya. Tapi rupanya si ketua kelas yang Bella ketahui adalah mahasiswa bimbingannya sendiri, Nafis, berinisiatif untuk menghubungi teman-temannya via chat kelas. Bahkan mahasiswa itu menelepon beberapa.

"Lu pada niat kuliah gak sih? Bu Bella udah dateng masih aja di kost. Buruan dateng!" ujarnya yang ditertawai seisi kelas.

"Ya elah biasanya juga jam tujuh kurang lima, Fis. Bu Bella maaf ya Bu, jalanannya macet nih," balas mahasiswa itu, mengutarakan alasan yang dinilai klasik oleh Bella. Tapi dosen itu masih tertawa, karena lucu saja interaksi anak muda seperti mereka itu.

Hening kemudian, baik dan dosen mahasiswa itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Perlahan mahasiswa yang lain mulai berdatangan seiring waktu yang semakin dekat ke jam tujuh pagi. Ah benar rupanya, the power of kepepet.

"Ehm, Nafis, bisa tolong dinyalakan proyektornya?"

Nafis yang masih sibuk dengan ponsel itu menoleh cepat, segera berdiri, menekan tombol power proyektor yang kebetulan memang ada di dekatnya, dan memainkan fokus lensa.

Materi kuliah pun tertampil, kelas siap dimulai.

Bella melirik jam tangannya sekilas, "Jam tujuh tepat ya, kita mulai. Seperti biasa teman kalian yang belum datang silakan tunggu diluar sampai 7.15, baru masuk setelahnya barengan ya, biar gak ganggu," ujarnya yang diangguki seluruh mahasiswa. Memang itu caranya, daripada satu per satu mahasiswa yang terlambat itu mengalihkan fokusnya.

Bella lantas berdiri, mengambil mikrofon. Namun sebelum Ia berhasil membuka perkuliahan itu, Ia terhenti. Mendadak mematung di tempat.

Pandangannya kabur, dua puluhan mahasiswa dikelasnya itu kini tak terlihat jelas, padahal Ia sudah mengenakan kacamatanya. Bella menunduk, memejamkan mata, berusaha keras menjernihkan kembali pandangannya, tapi sepertinya itu tak membantu.

"Saya mengambil perkuliahan lain ..." Siluet seseorang muncul dan mulai berbicara, Bella tidak kenal siapa pemilik suara itu.

"Nanti akan Saya berikan ya, Bu Bella ..."

"Sebentar lagi ada festival, apa Ibu tertarik ikut ..." Bagaikan trailer film, siluet itu terus berbicara dengan latar belakang berbeda.

Bella terengah, belum bisa menguasai diri sepenuhnya ketika perlahan siluet-siluet yang berbicara itu menghilang dari pandangannya. Kesadarannya kembali ketika dua orang mahasiswanya menepuk pelan bahunya.

"Hah ..." Bella seperti orang kebingungan kini.

"Ibu gak apa-apa?" tanya mahasiswi disampingnya.

Bella menggeleng, menegakkan tubuhnya kembali. Sepertinya tidak sampai lima menit memang Ia terganggu, tapi itu cukup melemaskan tubuhnya yang susah payah Ia bangun agar berenergi pagi ini.

"Kita bisa cari kelas lain kalau Ibu berhalangan hari ini," ujar Nafis yang datang mendekat bersama mahasiswi tadi.

Bella tersenyum dan menggeleng, "Gak papa. Kita lanjutkan. Makasih ya, silakan duduk kembali," titahnya. Nafis dan mahasiswi itu menurut.

Dosen itu lantas meneguk beberapa mililiter air minum di tumblr nya untuk menetralkan detak jantung dan pernafasannya yang tak teratur. Perkuliahan itu lantas dilanjutkan setelah tertunda sepuluh menitan.

****

PRAKK!

Tristan menaruh kasar kunci mobil ke meja kerjanya setelah kembali dari TKP keempat siang itu. Pria itu lanjut mendudukkan dirinya ke sofa ruangan setelah berlelah-lelah menyisir TKP dan tidak menemukan satu pun temuan yang signifikan. Luki yang datang bersamanya itu tak kalah lelah dan frustasi juga. Letnan Dua itu bahkan segera merebahkan diri di sofa yang lebih panjang.

Jevan, Yudha, dan Isyana seperti biasa kembali ke station dan unitnya masing-masing. Entah untuk beristirahat saja atau ada pekerjaan lain. Kemarin Tristan sudah mengajukan pada pimpinannya untuk memfokuskan lima orang itu untuk mengusut kasus The Retro saja dan dibebastugaskan dari pekerjaaan unit atau station masing-masing. Alasannya tentu agar fokus.

"TKP ke-empat aman. Bener gak Bang?" tanya Luki selagi memejamkan mata. Santai, ini jam istirahat.

Tristan tampak berpikir, "Belum tentu. Tapi ada satu yang bikin Saya penasaran," ujarnya misterius.

Luki lantas kembali duduk, "Apa?"

"Soal yang ngirim chat ke Saya itu, Saya pikir itu bukan Kapten Kian, karena beliau gak pergi untuk agenda reinvestigasi TKP penemuan korban The Retro." Tristan menjelaskan soal asumsinya tadi malam.

"Kapten Kian sempat bilang sama Abang? Rencana dia mau ngapain aja?" tanya Luki lagi.

Tristan mengangguk, "Iya. Beliau itu mencari langsung si pelaku. Anehnya ya disitu, kenapa tiba-tiba Kian ngilang, terus seolah minta kita buat meriksa tiga TKP itu."

"Mungkin aja dong, Bang. Bisa aja kan Kapten Kian gak sempet, dia dalam persembunyiannya misal. Terus dia curigain itu tiga TKP, tapi gak bisa kesana karena udah ngunci target ..."

Tristan menoleh, tergerak oleh pemikiran Luki. Kini Ia kembali berpikir keras, "Terus dia minta kita gitu?"

Luki mengangguk, "Yes. Tapi masalahnya adalah ... kenapa dia seolah udah tau ada yang ganjil di TKP itu kalau belum meriksa?"

"Itu dia. Dari malem Saya mikirin ini. Seolah kita tuh diarahkan oleh seseorang yang memang sudah tau ada apa di TKP itu, dan itu pasti bukan Kapten Kian," jelas Tristan agak menggebu.

Hening kemudian, Luki dan Tristan berkutat dengan pikirannya masing-masing. Beberapa menit kemudian, Tristan berdiri.

"Kita shalat dulu mending, habis ini Saya mau ke divisi intelijen buat diskusiin ini," ujarnya sembari menggulung celana panjangnya, ganti memakai sandal jepit untuk wudhu.

Luki tertawa, "Saya non-Islam loh Bang, jangan lupa."

Tristan menepuk jidatnya pelan, "Oh iya lupa. Pantes gak ngingetin."

"Yeuu, makanya cari istri biar ada yang ngingetin," ledek Luki. Oh, dia pasti belum tau.

Tristan tersenyum miring, "Hati hati, nyesel nanti Kamu ledekin Saya mulu," ujarnya lantas menghilang di balik pintu.

****

Jam tujuh malam, Tristan masih berada di markas kepolisian, tepatnya di station divisi intelijen siber. Hanya ada dirinya dan Isyana disana, dengan Tristan yang memperhatikan pergerakan cepat Isyana di depan monitornya. Keduanya sedang melacak ulang nomor telepon yang menghubungi Tristan dan divisi itu beberapa waktu lalu.

Setelah berdiskusi, Isyana akhirnya sepaham dengan Tristan, Ia tak percaya kalau itu benar-benar Kian.

"Dimana lokasinya?" tanya Tristan begitu layar monitor berhenti menunjukan simbol loading.

Isyana mendekatkan wajahnya ke monitor, meneliti lebih dekat temuannya setelah berkutat hampir setengah jam, "Nomor yang menghubungi Kamu ... itu asalnya dari Jakarta."

Tristan mengangguk, "Lalu sisanya?"

"Aneh. Asalnya dari daerah ... Yogyakarta. Ini jauh," ujarnya.

Tristan kembali berpikir, "Tapi nomornya sama?"

"Iya, sama."

"Tapi ini menurut Gue udah jelas bukan Kian, Tan. Lo liat deh ini ... kalau dia emang pindah pindah dari Jakarta ke Jogja dalam semalem, gak ada record perjalanan dia di daerah daerah yang dilewatinnya dari Jakarta ke Jogja."

"Apa mungkin Kian pindah pindah ngejar The Retro sampai Jogja?"

Tristan menggeleng, "Gak. Kalau dia mau pindah provinsi, dia wajib lapor, dan Kian tipikal taat prosedur. Udah jelas, ini bukan Kian."

"Terus siapa?" Isyana ikut berpikir keras.

Tristan mengetuk-ngetukkan tangannya, "Pilihannya ada dua mungkin sekarang, antara orang yang mengubah TKP, atau ... si pelaku."

Isyana menoleh cepat, mengetahui asumsi Tristan yang dipikirnya terlalu cepat mengarah pada si pelaku. Tapi Ia belum menemukan pendapat lain untuk menyela.

"Yang jelas, orang ini tau ada apa di tiga TKP itu."

Tristan lanjut tersenyum miring, "Gue bahkan berani bilang kalo si pelaku ini emang dasarnya psikopat, dan dia bisa aja ... menjadikan pesan pesan itu sebagai caranya mempermainkan kita kepolisian."

"Gue rasa itu terlalu jauh, Tristan."

Tristan menggeleng, "Imajinasi bisa sejauh apapun Syan, dan itu memang tujuan kita. Karakter pelaku, dari kondisi korban-korbannya ditemukan aja udah gak lazim. Coba Lo pikirin lagi, ciri-ciri seorang psikopat."

"Apa maksudnya coba dandanin korban pembunuhan pake gaya retro, di latar belakang yang bercorak retro, dan sekarang ada temuan benda, warna merah dan ada unsur darah yang terawetkan."

"Cara si pelaku udah out of the box!"

avataravatar
Next chapter