Belasan meja rias dengan lampu lampu yang menyala terang berderet di ruangan minimalis cukup luas. Backstage, belakang layar, belasan model yang akan menampilkan mahakarya designer ternama dunia berkumpul disana, menerima serangkaian perlakuan sebelum pentas dari pengarah seni, perias, dan penata busana. Acara hari ini adalah acara besar, dan terakhir sepanjang musim dingin di Eropa.
Para eksekutif gaya busana mengatakan, fashion week ini adalah senjata pamungkas. Karena paling powerful, dijadwalkan di akhir.
Elleanor Tyra sudah sibuk sejak subuh, mundar mandir kesana kemari memeriksa berbagai kelengkapan acara mulai dari personalia hingga properti. Posisi Tyra bukan sekedar model yang 'terima selesai' dan seluruhnya diarahkan untuk berjalan anggun di panggung dengan busana mewah artistik. Lebih dari itu, Ia merangkap peran sebagai direksi di perusahaan fashion sekaligus agensi model yang menaunginya selama belasan tahun.
Besar tanggung jawab gadis berusia 25 tahun itu, namun Ia cakap dan kompeten. Gelar direktur muda sangatlah layak disematkan padanya berdasarkan performa dan pencapaian yang menguntungkan kedua belah pihak; dirinya sendiri dan perusahaan yang mempekerjakannya.
"Is everything ready? We don't want to repeat the same mistakes from last event." Tyra mewanti wanti koordinator panggung untuk berhati-hati. Dua bulan lalu, kesalahan cukup fatal terjadi, membuat sedikit-banyak kekacauan dalam acara yang untungnya tidak terlalu besar itu.
"Yes, Miss. We've done some repeated checking based on the new procedure."
Tyra mengangguk kemudian, meninggalkan station terakhir yang harus Ia periksa itu. Dua jam tersisa, tinggal dirinya yang perlu dirias. Itu pekerjaan paling membosankan sekaligus paling penting untuknya. Apa boleh buat? Profesional adalah sesuatu yang mengakar dan dijunjung tinggi olehnya, amanat abadi Beni sang Ayah sejak pertama kali Ia masuk ke dunia modelling.
Setengah jam …
Satu jam …
Tyra lihat riasan di wajahnya itu hampir selesai. Tak terasa, karena sedari tadi Ia fokus pada ponsel dengan raut wajah ditekuk, cerminan responnya atas urusan di ponsel itu sendiri.
"Are you in a bad mood, Elleanor?" Laki-laki perias berkemeja ungu muda itu sampai bertanya, karena tak biasa Tyra seperti itu, meskipun mungkin tertekan sebagai penanggung jawab utama event.
Gadis itu hanya tersenyum tipis, "No problem. I'm alright," jawabnya setengah bohong.
Ya, setengah bohong karena dua orang di Indonesia yang menurutnya terus mengganggu; Maria dan Dira, Ibu dan Saudari Tiri penyuka uang dan popularitas. Dua orang itu Tyra klaim sebagai dua sosok paling beracun di lingkaran hidupnya.
Maria dan Dira, setiap minggu selalu membebankan sekian belas sampai sekian puluh juta tagihan kartu kredit padanya. Mereka tak pernah peduli bagaimana Tyra bekerja keras, hanya berperan sebagai parasit, penumpang yang bahkan tak punya ikatan darah sedemikian kuatnya dengan Tyra sendiri.
Satu satunya orang yang sangat mengerti dan menjadi sistem pendukungnya adalah Gerald, Kakak kandungnya yang tengah menempuh studi post-doctoral di Perancis.
Ah, mungkin selesai dari Milan nanti, Tyra akan mengunjungi Gerald dan keluarganya itu. Sudah lama juga tidak ketemu. Setidaknya melihat Natasha, anak pertama Gerald dan istrinya Sekar bisa menyegarkan pikirannya sebelum bergulat kembali ke lingkaran setan.
****
Acara utama fashion week di Milan itu selesai digelar, tersisa gala dinner sebagai penutup sebelum mereka yang tidak tinggal di Italia itu bertolak ke negara asal masing-masing. Cukup ramai dan formal gala dinner itu, dihadiri oleh para eksekutif dan tamu undangan spesial. Tyra sebagai perwakilan tuan rumah berkeliling, menyapa dan berterimakasih secara pribadi atas partisipasi mereka. Rasanya tidak cukup kalau sekedar lewat pidato singkatnya tadi beberapa menit setelah acara dibuka.
Momen-momen penutup seperti ini selalu membuat Tyra banyak berterimakasih, bersyukur pada Tuhan yang memberinya kehidupan yang cukup. Meskipun normalnya jiwa perfeksionis seorang pemimpin wanita seperti Tyra tetap ada dan ditumpahkan di sesi evaluasi bersama tim. Tapi itu nanti dulu, mari bersenang-senang malam ini.
"What a great show, Elleanor, stunning as always!" Federic, manager brand fashion asal Inggris tengah mengobrol santai dengan Tyra ditemani segelas anggur putih.
Tyra mengangguk hormat, "That's a very kind of you, to be one of our loyal and royal sponsor, year to year, Federic."
Keduanya tertawa pelan nan anggun. Hm, apakah memang seperti itu gaya pelaku industri fashion? Entahlah, Tyra hanya sudah kebiasaan, natural saja menjadi ramah dan elok.
Obrolan keduanya lantas disudahi sepuluh menit kemudian, karena Tyra memutuskan kembali ke tempat duduknya untuk menyantap makanan. Lalu tidak lupa, acara yang selalu Ia nantikan di setiap gala dinner; performing arts dari vendor. Selain sebagai model, Tyra itu pemusik. Ia sangat mengapresiasi berbagai genre musik, termasuk musik latin seperti yang ditampilkan band tradisional asli Italia di depan.
Entah apa makna lirik lagu yang disisipkan dalam melodi indah mendayu itu. Tyra hanya mengerti sedikit yang dasar-dasar, sisanya Ia cukup menikmati harmoni alat musik. Asap buatan muncul, membuat suasana semakin intens, mewah, dan sedikit melankolis. Tiupan angin sejuk di venue gala dinner outdoor itu semakin membuat Tyra terbawa suasana.
Suasana untuk memikirkan kembali keputusan-keputusan hidup yang telah dan hendak Ia ambil selanjutnya. Manusia selalu berprogress bukan? Entah maju, diam, atau mundur, yang abadi hanyalah perubahan. Setidaknya kilasan perjalanan hidup selama 25 tahun itu terputar secara sinematik di benaknya seiring malam yang melarut dan musik yang menghanyut.
Ditengah suasana itu, manik mata Tyra teralihkan ke sisi kanan panggung yang tertutup asap cukup tebal. Gelap disana, hanya cahaya lampu warm white temaram yang menerangi. Namun dengan matanya yang memicing itu Tyra dengan jelas melihat seseorang.
Laki-laki itu, Ia berdiri disana. Lalu entah perasaannya saja atau memang benar, pria itu melihat tepat kearahnya. Pria itu terasa familiar, tapi siapa?
"Dia …" gumamnya pelan, tak mungkin ada yang mendengar karena terbenamkan suara live music di depan. "Dia … kenapa … berdiri disitu?" lanjutnya. Memang aneh, pria itu diam bagai patung ditengah lautan asap buatan, tak bergeser sedikitpun, baik kakinya, pun matanya.
Semakin jelas, pria itu melihat ke arahnya. Tyra yakin itu, Ia bahkan menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang untuk memastikan sudut dan arah yang sesuai. Nihil, pandangan pria itu memang tertuju dan terkunci padanya.
"Tyra …" panggil seseorang, membuatnya terperangah, menoleh cepat, "Oh? Kenapa Kak?" tanyanya. Dhaffi rupanya, Ia membisikkan sesuatu yang kemudian diangguki Tyra, "Baik, tolong disiapkan dulu saja Kak."
"Baik Tyr." Dhafi kemudian berlalu. Tyra kembali pada fokus pandang sebelumnya; pria itu, di sayap kanan panggung, "Loh? Kemana dia?"