webnovel

Kamera Supermodel

Kilatan cahaya flash kamera begitu menyilaukan mata, kerumunan manusia disertai keributannya sangat cukup untuk memekakkan telinga siapapun orang awam yang melintas. Suasana di Bandara Internasional Italia itu tidak biasa sore ini. Adalah mereka pada jurnalis, penggemar, dan penguntit yang menunggu seseorang di terminal kedatangan G7. Entah siapa yang menyebarkan informasi detail akan titik kedatangan seseorang itu. Oh, sepertinya secara tidak langsung adalah seseorang itu sendiri.

Ya, tidak langsung.

Karena seseorang itu nampaknya cukup memiliki kekuasaan material untuk menggerakan 'tangan-tangan' kanan pendobrak popularitas. Peliputan dirinya yang berjalan anggun dan berkelas di teras bandara bahkan mendatangkan sejumlah dollar untuknya beberapa jam kemudian. Ya, cukup dengan mengorbankan sedikit rasa nyaman, aman, dan privasi.

Hidup memang tampak mudah untuk Elleanor Tyra, sang supermodel kebanggaan yang karirnya sudah melanglang buana ke seluruh dunia. Lihat saja gadis berusia 25 tahun itu, tampak tak canggung lagi tersenyum profesional-karismatik di sudut kamera ideal. Body guard di sisi kanan dan kirinya bekerja, menghalau para paparazzi dan penguntit yang dari kejauhan sudah jelas terlihat perbedaan auranya dengan para jurnalis mitra profesional.

"Sei così bella, Elleanor! (Kamu sangat cantik, Elleanor!)" teriak salah satu penggemar pria supermodel itu dari jarak sekian meter menggunakan bahasa Italia dan aksen khasnya. Suaranya bahkan masih terdengar lantang dan jelas, tak terserap oleh kerumunan manusia dengan pakaian tebal musim dingin di depannya.

Elleanor yang dipanggil hanya tersenyum tipis sembari menunduk dibalik kacamata hitam besarnya. Gadis itu selalu suka bahasa Italia yang diucap oleh penutur aslinya, terdengar unik. Plus, memiliki banyak memori bagi gadis yang merintis karir sebagai model sejak belia itu.

Lima belas menit berjalan menembus kerumunan, akhirnya rombongan supermodel beserta manager dan stafnya itu masuk juga ke dalam van besar.

"Beginilah jika Kita pergi ke Italia, pasti sangat ramai. Sepertinya penggemarmu memang lahir dari negara ini, Tyra," canda Kelly, manager Tyra.

Tyra hanya tersenyum tipis, "Aku juga tidak paham, tapi ... Italia memang selalu menyenangkan, ramai tapi tak membawa banyak masalah," ujarnya seraya melambai-lambaikan tangan pada penggemar yang masih berusaha merekamnya di dalam mobil. Senyum itu, meski hanya profesional, sebenarnya tulus Tyra berikan.

Penggemar adalah harta karunnya yang berharga sebagai seorang public figure kancah global.

Mobil perlahan meninggalkan area bandara, memasuki jalan tol yang bebas dari orang berlalu lalang. Nah, baru Tyra bisa menyandarkan diri sepenuhnya, "Kelly, tidak ada jadwal kan untuk nanti malam?"

"Tidak ada, Tyra. Kenapa?"

Tyra menoleh dengan senyum khasnya, "Aku ingin jalan-jalan, sudah lama tidak menjenguk Milan," ujarnya yang selalu suka traveling.

"Boleh, tapi jangan terlalu lama, besok Kita punya jadwal pemotretan terlebih dahulu sebelum fashion week dimulai."

"Ah baik, tidak masalah. Kak Dhaffi, kamera lawasku dibawa kan?" tanyanya pada sang asisten pribadi yang duduk di belakang.

Pria itu hanya mengacungkan jempolnya, "Dibawa, Tyra, tenang saja, liburanmu aman," ujarnya yang hanya disambut tawa tipis Tyra.

Hening kemudian, Tyra sibuk menatap pemandangan mendung diluar jendela. Pikirannya itu menerawang, entah kemana. Atau Tyra sebenarnya hanya terlarut dalam salju yang perlahan turun?

Gadis itu membuka jendela mobil sedikit, menyeruakkan udara dingin masuk ke dalam van besar. Perlahan Ia menghela nafas, memejamkan mata, seolah udara Italia itu adalah penyegar udara paru parunya yang tercemar. Kelly, Dhaffi, bahkan body guard dan supirnya di depan sudah tidak aneh dengan kebiasaan VIP mereka itu.

Namun tak sampai lama, lantaran dering ponsel di saku mantel mendadak berbunyi, mengusiknya. Gadis yang sangat malas berurusan dengan ponsel itu mau tak mau lekas memeriksa, barangkali penting.

Eric Nathaniel is calling ...

Oh, Tyra menurunkan bahunya sedetik kemudian, menghembuskan nafasnya kasar. Lambang gagang telepon berwana merah disentuh geser, Tyra menolak panggilan itu. Malas, sang kekasih baru saja menghubunginya.

"Kenapa tidak di angkat? Siapa yang menghubungi?" tanya Kelly. Mata elangnya sudah menangkap nama di layar ponsel Tyra, namun Ia perlu berbasa-basi sedikit.

Tyra lantas menggeleng, "Eric. Nanti saja Aku menjawabnya."

****

Hati senang, pikiran tenang, dan perut yang kenyang. Bersyukur karena itu yang dirasakan Tyra begitu selesai menghabiskan dua jam waktunya berjalan jalan di landmark Milan dekat hotel. Sederhana saja keinginan gadis itu; mencuci mata, bepergian tanpa ponsel dan beban pekerjaan. Belakangan sulit sekali mencari waktu bersenang-senang lantaran pekerjaan yang terus berdatangan.

"Ahhh!" Tyra membanting dirinya ke kasur besar untuknya dan Kelly tidur malam ini. Kelly pun mengikuti, punggungnya lelah mengikuti Tyra yang selalu berjalan cepat. Jalan paving sederhana mungkin dianggapnya sebagai runway, "Lelah sekali, Tyr. Cepatlah tidur ya, jangan sampai terlambat untuk besok. Kau juga harus tetap sehat, jangan lupakan vitamin dan suplemen di kopermu itu," pesannya panjang lebar seperti orangtua.

"Iya Kel. Tapi nanti saja ya, Aku ingin melihat foto-foto tadi. Sepertinya Aku perlu mengunggah beberapa di Instagram." Oh, tentu etalase dan reputasi media sosial adalah bagian dari pekerjaannya.

"Iya, boleh. Jangan tidur terlalu malam," pesan Kelly sekali lagi, Tyra hanya mengangguk, "Baiklah, Ibuku Sayang. Tapi dimana Kau menaruh kamera antik milikku?"

"Masih di dalam tas, tidak kupindahkan sama sekali."

"Ah ya, itu dia. Terimakasih Kelly, selamat malam!" pamitnya, meski Kelly mungkin belum akan tidur disana.

Tyra berjalan cepat menuju meja tengah, lanjut berdiam diri disana usai berhasil menemukan apa yang dicarinya; kamera bergaya lawas dengan merk Leica warna coklat, dibalut sedemikian lupa dalam tas kamera antibenturan berbahan kulit kualitas premium tiga lapis.

Konon, itu kamera kebanggaannya selama bertahun-tahun. Kamera itu, yang secara tidak langsung telah membawanya ke titik ini sebagai supermodel ternama.

Kamera itu, yang memotretnya untuk audisi modelling pertama, lebih dari sepuluh tahun lalu. Maka tak heran jika kamera itu masuk kategori antik nyaris uzur dan dilindungi sedemikian ketatnya.

Tyra sebagai wanita telaten bisa merawatnya hingga masih berfungsi baik sampai saat ini. Ada tujuan lain selain memelihara fungsi dan memori. Lebih dari sekedar filosofi karie, kamera itu adalah satu satunya kenangan yang tersisa dari mendiang Ayah Tyra; Beni.

Beni yang selalu mendorong Tyra menggeluti apa yang disukainya di bidang seni dan modelling sejak belia. Meski Tyra ditinggal lebih dahulu di waktu yang hanya berselang beberapa tahun karirnya dimulai, semangat dan kasih sayang Beni seolah tetap tersimpan di dalam kamera lawas itu.

Ah, cukup dalam dan indah untuk sebuah kamera bukan?

Satu per satu foto pemandangan landmark Milan hasil pemotretannya itu dilihat. Ya, bukan foto dirinya sendiri, karena Ia mengaku bosan melihat wajahnya terpampang dimana-mana. Kamera itu Tyra gunakan untuk mengabadikan objek objek landmark atau pemandangan yang menarik menurutnya.

"Pemandangan yang bagus dan keren. Kamera Ayah memang yang terbaik," ujarnya bersemangat, mulai memindahkan beberapa foto terpilih dengan cara paling manual ke ponsel; kabel data. Tunggu saja, sebentar lagi instagramnya itu akan dibanjiri komentar pujian penggemar atas kemampuan fotografinya.

Paket lengkap bukan? Supermodel sekaligus ahli fotografi.

"Baiklah, sekarang ... apa kalimat unggahan yang pas ... apa ..." ujarnya tertahan, tangannya itu terhenti, matanya memicing tajam.

Alih alih menulis beberapa kalimat di kolom keterangan instagram itu, Tyra memperbesar foto yang baru saja diambilnya di tempat semacam taman populer dekat hotel itu. Tempat yang berkabut sekaligus bersalju. Apa pandangan Tyra terganggu hingga tidak menyadari ada sebuah objek yang tak sengaja masuk ke dalam bingkai fotonya?

"Seingatku ... tadi tidak ada laki-laki di foto ini ..."

"Kenapa tiba-tiba ada?"

Next chapter