webnovel

Ibu sakit

Aku pulang lebih awal saat ini. Saat jam istirahat, Pak Darman menjemputku. Dia memberitahu kalau Ibu dilarikan ke rumah sakit. Aku langsung meminta izin kepada guru yang masuk mengajar setelah jam istirahat. Bella hendak ikut, namun aku melarangnya. Aku bilang padanya dia bisa datang selepas pulang sekolah nanti.

Dua hari belakangan Ibu memang demam. Demamnya terus naik hingga menyentuh angka empat puluh satu derajat. Ibu juga muntah-muntah. Cairan yang keluar dari mulutnya aneh. Kental dan berwana hijau pekat. Ibu menolak dibawa ke rumah sakit. Dia meminta rawat jalan saja. Ayah berusaha memohon agar Ibu mau dibawa ke rumah sakit, tetapi entah mengapa Ibu berkeras meminta agar dirawat jalan saja.

Pukul Sembilan pagi tadi, Ibu tiba-tiba pingsan. Bi Inem langsung menelepon ambulans.

Sampai di rumah sakit, Ayah terlihat murung. Dia menenggelamkan wajahnya di telapak tangan.

Aku duduk di samping Ayah, menepuk bahunya.

"Ayah tenang saja, ya. Ibu pasti akan baik-baik saja."

Setengah jam menunggu, dokter yang memeriksa Ibu keluar. Dia perempuan, usianya sepantaran ayahku, rambutnya pendek tidak sampai sebahu.

"Dengan keluarga Bu Ratna?"

Ayah berdiri, mengangguk. "Benar, Dok. Saya suaminya."

"Bisa ikut dengan saya, Pak. Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Bapak."

Ayah mengangguk, mengekor di belakang dokter. Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus ikut juga dengan Ayah.

"Ayah, tunggu!" teriakku. Aku berlari kecil mengejar Ayah. "Alana ikut."

"Tidak usah, Alana. Kau temani Ibu saja di kamar, ya."

Aku menggeleng tegas. "Alana harus ikut, Yah."

Ayah menoleh pada dokter, bertanya apakah aku boleh ikut atau tidak. Dokter membolehkan.

Tiba di ruangan dokter, kami dipersilakan duduk. Aku menilik sekitar. Ruangan bernuansa putih ini tampak sejuk meski aroma obat yang tercium. Poster-poster tentang bagian tubuh tertempel di mana-mana. Rak buku di sudut kiri penuh dengan buku-buku tebal. Kami duduk di tengah, di sofa.

"Sebelumnya saya ingin bertanya, soal muntah cairan hijau, apakah itu benar?"

Ayah mengangguk. Ayah pun menjelaskan soal muntah cairan hijau. Sejak demam dua hari lalu, Ibu terus memuntahkan cairan hijau pekat dan kental. Itu membuat Ayah panik, dan berusaha keras membujuk Ibu agar mau dibawa ke rumah sakit. Sekeras apa pun Ayah berusaha membujuk Ibu, Ibu juga berusaha keras meneguhkan keras kepalanya. Menolah dibawa ke rumah sakit.

"Penyakit yang diderita istri Bapak sangat aneh. Dan ini baru pertama kali saya temukan kasus semacam ini. Kami butuh waktu untuk mempelajarinya. Apakah Bapak menyimpan sampel muntahan istri Bapak. Kami memerlukan itu untuk penelitian lebih lanjut."

Ayah mengangguk. "Saya menyimpannya, Dok."

***

Sudah dua hari Ibu tak sadarkan diri. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ibu sekarang. Wajahnya begitu pucat, bahkan bibir merah Ibu sudah berubah menjadi warna pink pucat. Ayah melarangku untuk menemani Ibu sepanjang malam. Aku hanya diperbolehkan berada di rumah sakit mulai selepas pulang sekolah sampai jam delapan malam saja. Pak Darman akan datang ke rumah sakit, menyusulku.

Ayah sengaja mengambil cuti di kantor demi menemani Ibu.

"Kau yang sabar, ya, Al. Ibumu pasti akan segera sembuh," ujar Bella menyemangatiku saat dia dan ayahnya datang menjenguk.

Aku berharap semoga Ibu lekas membaik, tapi sayang, itu tidak terjadi. Sudah seminggu Ibu dirawat di rumah sakit, belum ada perubahan. Kondisi Ibu bahkan lebih parah daripada sebelumnya. Daging Ibu entah pergi ke mana. Setiap hari badan Ibu terlihat semakin mengurus.

Mulai hari ini, Ayah mencegahku untuk menjenguk Ibu. Ayah tidak ingin melihatku menangis melihat kondisi Ibu yang memprihatinkan.

Aku duduk di depan meja belajar dengan perasaan tidak karuan. Cemas, khawatir, dan juga takut. Pikiranku kalut. Perkataan dokter mengenai penyakit Ibu terus menggema di kepalaku. Soal penyakit baru yang Ibu derita. Hingga sekarang, dokter belum juga memberitahu hasil dari penelitian mereka. Tentang penyakit apa yang sebenarnya Ibu derita.

Aku mendengar suara bel rumah dipencet.

"Siapa yang bertamu, Alana?" Bella bertanya. Saat ini dia tengah membaca novel sambil merebahkan tubuh di atas kasur.

"Non Alana, ada yang mencarimu!" teriak Bi Inem dari bawah, memanggilku.

Aku segera turun. Bella mengekor di belakang.

Sampai di bawah, aku terkejut ternyata yang mencariku adalah Pak Erlon.

Bella menarik paksa tanganku. "Anda tidak dengar apa yang saya katakan waktu itu? Jangan pernah coba-coba dekati teman saya lagi. Kali ini saya tidak akan menoleransinya. Saya akan laporkan Bapak ke polisi," kata Bella dengan nada mengancam.

"Silakan," jawab Pak Erlon singkat. Kali ini wajahnya justru biasa saja. Pak Erlon tidak menanggapi lebih ancaman Bella.

Pak Erlon tersenyum kepadaku, menganggukkan kepalanya. Detik berikutnya Pak Erlon mengaluarkan sapu tangan dari sku celananya dengan gerakan cepat, menutup hidung Bi Inem. Bi Inem mencoba memberontak, namun kalah tenaga. Beberapa detik kemudian, tubuh Bi Inem melemas. Matanya menutup perlahan. Bi Inem pingsan. Pak Erlon menidurkannya di sofa.

Bella memasang posisi bersiap. Dia meraih remot tivi di sofa, mengacungkannya ke depan sebagai pertahanan diri.

"Maafkan saya, Putri. Tapi saya harus melakukannya."

Dalam satu gerakan, [ak Erlon berhasil meraih tangan Bella, membekap bagian yang serupa dengan Bi Inem tadi. Kesadaran Bella lenyap. Pak Erlon menidurkan Bella di sofa juga.

"Apa yang Bapak lakukan?" tanyaku dengan suara gemetar. Aku tidak bisa bohong kalau aku tengah ketakutan. Tubuhku bergetar dan desir darahku tidak normal. Melihat bagaimana Pak Erlon mendekap Bi Inem dan Bella membuatku merasa awas dan takut secara bersamaan. Aku menelan ludah. Apa yang ingin Pak Erlon lakukan sebenarnya?

"Dengarkan saya, Putri Ileana. Kita sudah tidak punya waktu lagi." Pak Erlon berusaha mendekatiku. Aku melangkah mundur, berusaha menjaga jarak dari Pak Erlon. Siapa pula yang percaya dengan ucapannya setelah apa yang dia lakukan?

"Pergi dari sini atau saya akan menelepon polisi?" Aku mengancam. Kalimat itu spontan keluar, padahal ponselku tertinggal di kamar.

Entah apa yang ada di kepala Pak Erlon sekarang, aku tidak tahu. Kenapa dia jadi semakin berani seperti ini?

"Tuan Putri, mohon dengarkan saya. Kita tidak punya waktu lagi." Dari nada bicaranya, Pak Erlon terlihat sedikit putus asa. Aku melihat ada harapan besar di matanya saat mengatakan kalimat itu.

"Pergi!" pekikku.

Aku balik badan, berusaha lari menaiki anak tangga. Aku hendak bersembunyi di kamar. Namun aku kalah cepat. Pak Erlon lebih dulu meraih tanganku.

"Maafkan saya, Tuan Putri."

Pak Erlon mengeluarkan sapu tangan baru lagi di saku celana kirinya, membekapku. Mataku langsung berat seketika, lalu kesadaranku hilang. Aroma yang terhirup membuat kepalaku pening.