webnovel

The Eternal Love : Hazel Star

Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memiliki profesi sebagai presenter berita INDOnews, sekaligus kekasih dari jurnalis yang memiliki julukan "Face Genius" karena ketampanannya, Zaidan Abriana.

MillaMuezza · General
Not enough ratings
17 Chs

BAB 6 (Hazel Eyes)

"Pejamkan matamu, jika apa yang kau lihat bisa membuatmu takut dan menangis." Bisik sosok pria dibalik helm yang sukses menyembunyikan identitasnya.

Seakan terkena sihir, Hazel menuruti perintah pria berhelm didepannya. Memejamkan matanya cepat sambil terus mengeratkan remasan tangannya pada jas sang pria. Bayang-bayang potongan mimpi perlahan kembali memenuhi jiwanya. Dan sosok didepannya ini memang mengingatkannya pada malaikat tanpa nama yang ditemuinya dalam mimpi.

"Jangan bergerak dan jangan lakukan apapun tanpa intruksi dariku."

Bukan hanya meminta sang wanita untuk memejamkan matanya, pria itu juga menutup mata Hazel dengan dasi miliknya tanpa persetujuan sang wanita. Meski berbuat seenaknya tanpa izin, entah kenapa, Hazel tetap menuruti perintah sang pria layaknya robot kendali.

Bugh! Bugh! Bugh!

Terdengar suara gaduh tak jauh dari tempat Hazel berdiri. Hazel tahu bahwa pria itu tengah memukuli sang penguntit misterius. Mungkin karena itu juga dia meminta Hazel untuk menutup mata. Sepertinya dia memang tak menginginkan Hazel menonton aksi brutalnya. Seharusnya Hazel yang melakukan semua itu, bukan orang lain. Tapi jika difikir-fikir lagi, penguntit memang itu bukan memang tandingannya. Pria berhelm itu lebih pantas mewakili dan menyumbangkan tinju untuknya.

Dan tak lama kemudian pria itu kembali dengan nafas terengah. "Beri aku waktu 5 menit. Jika saat itu aku tak kembali, buka matamu dan segera hubungi polisi." Pinta sang pria setelah melihat sang penguntit kabur menjauh dengan menyeret kaki kirinya yang terluka.

Hazel gelagapan. "T-tapi ponselku—"

"Kamu tahu cara mengendarai sepeda motor? Bawa motorku ke kantor polisi terdekat. Sepertinya hanya lecet dibeberapa bagian dan masih bisa dikendarai untuk saat ini. Jika tidak—" ucapannya terputus, menatap wajah Hazel dengan tatapan serius. Dia bisa melihat wajah sang wanita dibalik helmnya, walaupun Hazel sendiri tidak bisa melihat siapa sosok dibalik helm full face didepannya itu.

Pria itu berbalik, siap berlari untuk mengejar sang penguntit. "Jika dalam waktu lima menit aku tak kembali juga, maka pergilah, selamatkan dirimu. Jangan menungguku, aku tak ingin kau melakukan itu." Tubuhnya hilang dalam gelap malam dibawah derasnya air hujan. Berlari cepat mengejar sang penguntit dibalik topeng mistriusnya.

Hazel mengangguk. "Aku akan menuruti pintamu, meski aku sendiri tidak tahu untuk apa aku menunggumu."

Perempuan malang itu kini berjongkok sambil memeluk lututnya didepan toko. Menjulurkan tangan kanannya kedepan, membiarkan air hujan jatuh tepat ditelapak tangannya, membasahi sebagian lengan blousenya sampai siku. Bibirnya mulai memucat dan bergetar hebat, dia mengigil kedingnan.

"Satu ...."

"Dua ...."

"Ti-tiga ...."

Perempuan itu menghitung setiap detik yang telah berlalu. Menunggu dan terus menunggu kedatangan pria berhelm tanpa lelah dan menyerah. Dia takkan membiarkan orang yang menyelamatkan hidupnya pergi begitu saja. "Ti-ga ra-tusss." Perempuan itu kembali memeluk kedua lututnya.

Dia menangis setelah hitungannya mencapai angka 300. Hitungan jari 300 detik sama artinya dengan hitungan lima menit waktu berlalu. Dan pria itu belum juga kembali menepati janjinya. Hazel masih belum menyerah, dia kembali memulai dari hitungan awal. Lagi dan lagi, sampai menit-menit berlalu begitu cepat, sampai tubuhnya mulai merasa kebas dan membeku karena rasa dingin yang semakin menusuk sampai tulang.

"To-tolong kembalilah. Aku mohon." Hazel terisak dengan suara tertahan.

Hingga menit demi menit telah berlalu, dia masih setia dengan posisinya semula. Berjongkok, memeluk kedua lutut, dan menjulurkan telapak tangannya kedepan sambil terus berhitung tanpa henti. Namun, tak lama kemudian bibirnya tersenyum saat menyadari seseorang tengah menyelimuti tubuhnya dengan kain berbentuk jas tebal. Pria berhelm itu telah kembali.

"A-apakah kau sudah kembali?" tanya Hazel. Merasakan sesuatu yang hangat tengah mengusap kedua pipinya.

Hazel meraih dan menggenggam tangan pria yang kini tengah mengusap setiap air yang menetes dari matanya. Dia tersenyum bahagia, mendapati pria yang didambakannya telah kembali padanya. Walau kenyataannya dia kembali memang tidak tepat pada waktunya, pria itu tidak menepati janjinya untuk kembali dalam waktu lima menit. Tapi tak apa, karena Hazel tetap membutuhkan sosok itu kembali seberapa lama pun dia pergi.

Pria itu tersenyum kemudian mengangguk. Dia begitu bodoh, melakukan hal seperti itu didepan perempuan yang sama sekali tak bisa melihatnya. "Sekarang berjanjilah padaku untuk tidak menangis tanpa aku disisimu. Mulai sekarang, hanya aku yang berhak menghapus air matamu," ujarnya lembut.

"Bolehkah aku buka mata sekarang?" tanya hazel penuh harap.

Dan detik kemudian Hazel tersenyum saat merasakan tangan sang pria membantunya melepaskan ikatan dasi yang menutupi matanya. Jantungnya ikut bergemuruh saat merasakan kedua ibu jari sang pria mengusap kelopak matanya yang masih terpejam, membersihkan jejak air mata disekeliling mata dan juga area wajahnya. Dia begitu lembut dan juga manis. Namun tak lama kemudian Hazel mulai menyadari sesuatu yang terasa janggal. Meskipun kini matanya bebas melihat apapun disekitarnya, tapi tidak dengan pria didepannnya.

Pria itu masih menutup kaca helmnya, sama seperti yang dia lakukan sebelum menutup mata Hazel tadi. Kaca berwarna hitam yang takkan memperlihatkan wajah orang didalamnya. Dan kali ini Hazel mengakui kebodohannya. Seharusnya dia paham dan mengerti, sedari awal bahwa pria itu memang enggan menunjukan identitasnya.

"Who are you?" gumam Hazel. Memandangi wajah dibalik kaca helm didepannya.

DEG! DEG! DEG!

Hazel merasakan detak jantungnya kini berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Sejak awal dia memang penasaran dengan sosok hero didepannya ini. Dan sekarang sosok misterius itu berdiri tepat didepannya, siap mengungkapkan identitasnya. Sang power ranger itu baru saja membuka kaca helmnya, menampilkan sepasang mata cantik yang sangat memikat. Hazel eyes. Warna mata cokelat terang kehijau-hijauan itu bersinar dengan kesua sudut bibir terangkat.

"I'm your boyfriend." Ucap sang pria setelah melepaskan helmnya. Tersenyum sambil memandang wajah Hazel lembut. Memindahkan helm dari kepalanya ke kepala sang wanita secara perlahan. Mengunci dan menepuk bagian atasnya, usil. Mencubit kedua pipi Hazel dan menarik batang hidung sang kekasih hingga memerah. Mengusap dan mengakhirinya dengan kecupan singkat tepat dipucuk hidung Hazel. "I'm your Hero."

~~~@~~~

Hazel menangis terisak dibelakang punggung kekasihnya, Zaidan. Sedangkan Zaidan hanya bisa menggigit bibir menahan sesak saat mendengar isakan tangis sang kekasih. Sebenarnya pria itu tengah berusaha untuk tetap tegar akan gejolak amarah didadanya. Bayang-bayang si penguntit masih merasuki kepalanya, membuat sosok lain dalam dirinya memberontak liar. Semua rasa itu muncul setelah kepalan tangannya melayang diwajah sang penguntit. Dan tanpa Hazel tahu, bahwa Zaidan hampir saja membunuh sosok misterius itu, jika saja penguntit itu tak melarikan diri dan berhasil menutupii identitasnya.

Ada perasaan lain yang tidak bisa diutarakan dengan kata atau kalimat apapun. Perasaan yang begitu menggunung dan memanas. Lebih dari sekedar amarah dan emosi. Lebih dari sekedar rasa ingin melindungi. Bahkan sekarang Zaidan mulai merasakan adanya jiwa lain yang kembali bangkit dalam dirinya. Jiwa yang bisa membangkitkan apa yang telah ia kubur selama ini. Dan jiwa yang selalu membawanya kedalam lubang hitam dimasa lalu.

"Berpegangan!" pinta Zaidan seraya meraih lengan kiri Hazel dan menempatkannya dipinggang. Sedikit berteriak karena gerimis masih terus menampar wajahnya.

Tak ada penolakan atau reaksi lain selain menuruti apa yang diperintahkan Zaidan. Walau terlihat sedikit gugup, namun Hazel tetap melingkarkan kedua tangannya disekeliling perut kekasihnya. Agak canggung memang, tapi mau bagaimanapun dia tetap melakukannya. Karena Hazel tahu kalau Zaidan akan menambah laju kecepatan motornya setelah ini.

Keduanya saat ini tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat. Zaidan belum memberi tahu arah tujuan mereka dan Hazel sama sekali tidak melayangkan pertanyaan apapun pada pria didepannya. Bukan hanya pertanyaan, kata atau kalimat lain pun tidak ada yang keluar dari mulutnya sedari tadi. Sejak dia tahu bahwa pria yang menolongnya malam ini adalah kekasihnya sendiri, Zaidan Abriana.

Hazel semakin mengeratkan pelukannya diperut sang kekasih. "Zaidan––"

"Aww!" teriak Zaidan terdengar pilu. Ia pun meringis kesakitan.

"Are you oke?" tanya Hazel khawatir. Menaruh dagu diatas bahu kekasihnya. Mencoba melihat wajah Zaidan dari samping.

Zaidan menggeleng sambil tersenyum. "I'm oke."

Hening.

Tak ada percakapan lain diantara mereka setelah sang pria mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Keduanya terdiam bukan berarti tak ada pembahasan atau permasalahan yang harus dibicarakan. Justru karena sebaliknya. Terlalu banyak pertanyaan dan hal yang harus dibahas diantara mereka, membuat Hazel memilih diam karena merasa bingung untuk membuka pembicaraan.

"Hazel!" panggil Zaidan.

Hazel terkejut dan langsung mengerjapkan matanya. "I-iya?"

"Sudah sampai." Ujarnya sambil memarkirkan motornya di garasi khusus sebuah rumah mirip mansion megah. Pekarangannya begitu luas dengan adanya taman bunga dan barisan pohon pinus disepanjang jalan menuju gedung utama.

"I-ini rumah siapa?"

Pria itu mengerutkan keningnya bingung. "Ini rumah orang tuaku, kamu lupa?" Kemudian melepaskan jas hitam miliknya ditubuh Hazel dan mengenakannya kembali ditubuhnya, sebelum menuntun sang kekasih memasuki rumah megah tersebut.

"Selamat datang, Hazel. Duh, kenapa larut sekali sampainya?" sambut nyonya Sarah dengan kimono tidur berwarna peach. Wanita cantik itu sedikit berlari menuruni tangga, memeluk Hazel dan Zaidan bergantian. "Kalian hujan-hujanan?"

Hazel mengangguk malu, tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Di luar hujan deras, Tante."

"Sepertinya aku kembali masuk kedalam novel itu." Hazel bergumam dalam hati setelah melihat langsung isi mansion dan orang-orang didalamnya. Semuanya mirip dengan gambaran didalam cerita novel.

"Mas Zaidan, sih. Padahal udah Aurellie bilangin pakai mobil saja. Malah sok-sokan jadi cowok manly pakai motor gede segala. Pacarnya kehujanan baru tahu rasa!" gerutu Aurellie, adik perempuan Zaidan. Berjalan dengan kaki telanjang tanpa alas kaki sambil menenteng gelas berisi air putih.

"Dasar bawel!" celetuk Zaidan. Mencubit kedua pipi sang adik, gemas.

"Selamat malam." Hazel dan Zaidan membungkuk sambil menyalami seseorang yang baru saja datang menyambut mereka. Pria tua berusia sekitar enam puluh tahun, berkacamata dan bertubuh gempal, dibalut baju tidur berwarna putih. Frans Wijaya, kepala keluarga di mansion ini.

"Siapa?" tanya Frans dengan sedikit senyum diwajahnya. Meski sebelumnya Hazel Star pernah berkunjung ke kediaman Wijaya, tapi baru kali ini kekasih dari Zaidan itu berkesempatan menyapa Frans secara langsung.

"Ah, i-itu––" Zaidan kikuk. Menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal.

"Bilang aja pacar. Katanya gentle, bilang gitu aja gak bisa. Huh dasar!" ledek Aurellie lagi sambil menjulurkan lidahnya.

"Calon istri gue, sekaligus calon kakak ipar lo. Puas?!" balas Zaidan tak mau kalah.

Hazel membulatkan matanya. Ini baru pertama kalinya dia mendengar seorang pria mengklaim dirinya sebagai calon isrti. Hatinya meloncat kegirangan saat mendengar pengakuan seperti itu dari mulut sang kekasih didepan keluarganya sendiri. Namun, sedetik kemudian raut bahagia diwajahnya hilang begitu saja mengingat semua ini bukanlah realita. Entah dia tengah masuk kedalam novel, bermimpi, atau sekedar khayalan gila sekalipun, Hazel tetap tak bisa berharap lebih apalagi menginginkan semua ini menjadi kenyataan.