webnovel

The Dark Side of Namara

“Dia rela menjadi budak seks demi membalaskan dendam kematian orang tuanya.” Orang tua Namara dibunuh oleh klan Sayap Hitam. Dia ingin membalaskan dendam kematian mereka. Sayangnya dia sangat lemah, tidak ada kekuatan apa pun yang bisa dipelajari, bahkan jika itu hanya sihir rendahan. Namara ingin masuk ke istana klan Sayap Hitam dan menghancurkan mereka secara perlahan. Hanya ada satu cara agar dia bisa masuk ke sana, yaitu menjadi budak seks putra ke dua kepala klan yang bernama Eros. Apakah setelah mengorbankan harga diri dan martabatnya, Namara akan berhasil? Bagaimana jika tiba-tiba Eros menemukan rahasia di balik tubuh Namara yang menyangkut identitas aslinya? Namara sama sekali bukan wanita sederhana. * MAMPIR JUGA YA KE CERITAKU YANG LAIN - RAYUAN SANG LAIRD

Yulia_R · Fantasy
Not enough ratings
348 Chs

Bertemu Leor

"Nona, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," ucap Elise setelah masuk kembali ke kamar.

Tanpa sadar Namara mengerutkan dahi. Dia mencoba mengorek-ngorek informasi mengenai seseorang bernama Leor. Leor … siapakah dia? Sepertinya nama itu tidak begitu asing di telinga.

Oh, dia tahu sekarang.

"Maksudmu saudara Tuan Eros?" tanya Namara. Dia sedikit tidak percaya. Untuk apa pria itu ingin menemuinya? Perasaan Namara menjadi agak resah.

Leor tidak mungkin mengetahui tujuannya, kan?

"Benar, Nona. Namun, jika Nona menemuinya pasti Tuan Eros akan marah," desah Elise yang merasa sedikit frustrasi. Sebagai seorang bawahan kadan-kadang dia ditempatkan pada situasi yang sulit.

Namara terdiam. "Kalau begitu tidak usah temui dia," ucapnya setelah beberapa saat. Demi langit dan bumi, dia tidak ingin berurusan dengan para petinggi klan secara langsung.

Elise mendesah gusar. "Nona tahu sendiri dia adalah calon kepala klan. Membuatnya marah juga bukan hal yang baik," balasnya.

Ya, harus diakui itu memang benar. Mau tidak mau Namara harus menemuinya. Dia hanya bisa berharap Leor tidak mengetahui identitas dan tujuan sebenarnya.

"Kalau begitu aku akan menemuinya, tapi …." Hanya kau dan aku yang tahu.

Sepetinya Elise memahami pemikiran Namara. Dia mengangguk. "Biar kuantar Nona ke sana," katanya. Setelah itu dia pun memimpin Namara menuju taman belakang istana Bulan.

Sebenarnya Namara sangat malas bergerak. Tubuhnya terasa lemas dan, ah, pokoknya dia merasa tidak keruan. Punggungnya juga sakit. Sangat mengganggu.

"Hatchii!" Dia bersin lagi. Hidungnya yang gatal kembali digosok. Untungnya tidak ada ingus yang keluar. Itu tidak elegan sama sekali.

"Di mana? Apa masih lama?" Kini suaranya terdengar sengau.

"Sebentar lagi," jawab Elise.

Sepanjang ruangan yang mereka lewati tidak ada seorang pun yang terlihat. Ada apa ini? Yang Namara tahu biasanya ada orang-orang yang berjaga.

Itu pasti bukan keberuntungan. Ya, Namara tahu dia tidak pernah semujur itu. Jadi, kemungkinannya semua sudah diatur oleh Leor. Bagus! Pria itu cukup hati-hati.

Namara mendengkus lalu kembali bersin. Itu sangat menyebalkan baginya. Kabar baik pintu keluar sudah terlihat. Dia bisa mengintip sedikit pemandangan hijau di balik pintu.

Selera keindahan orang-orang klan Sayap Hitam sepertinya sangat rendah. Taman itu tidak begitu cocok disebut taman. Tidak ada bunga berwarna-warni, tidak ada rerumputan yang dipangkas dengan cantik.

Hanya ada pavilion kecil yang lebih terlihat seperti pondok berbatu. Taman itu pun tidak tampak seperti taman, itu lebih pantas disebut pemakaman!

Di antara rerumputan hijau itu tersebar banyak batu yang memiliki beragam bentu serta ukiran. Baiklah, ini lebih baik daripada hanya tekurung di dalam istana.

Dari kejauhan Namara bisa melihat pria yang sedang duduk di dalam pavilion. Pria itu sedikit lebih dewasa dari Eros dan rupanya lebih buruk darinya.

Ya, sejauh ini belum ada yang mengungguli ketampanan Eros. Mungkin hanya ini rekor Eros yang belum dipecahkan orang lain.

"Nona, aku akan menunggu di sini," ucap Elise.

Hattchhii!

Dasar bersin yang terkutuk. Dia tidak mengenal di mana dan apa yang sedang Namara hadapi.

"Baik." Namara melangkah mendekat. Jujur saja jantungnya berdebum-debum. Namun, dia berusaha menjaga ekspresi agar tetap terlihat tenang.

"Mohon maaf sudah membuat Tuan Leor menunggu lama," ucap Namara setelah tiba di luar pavilion. Dia tidak akan masuk jika tidak diperintah.

Leor menatap Namara lalu tersenyum ramah. Ya, wajah itu tidak terlihat jahat atau dingin seperti Eros. Lagi-lagi dia membandingkan dengan pria busuk itu.

"Masuklah," katanya.

Barulah Namara berjalan masuk. "Dan duduk," imbuh Leor.

Namara menduduki kursi batu di seberang Leor. Sial sekali pantatnya kembali sakit ketika duduk. Ini salah Eros! Oke. Dia harus fokus dulu ke masalah.

Sekarang perasaannya mulai gugup. Tentu saja, itu karena dia berhadapan dengan seseorang yang statusnya lebih tinggi dari Eros. Risiko terancam pun semakin tinggi.

"Kenapa Tuan memanggilku?" tanya Namara. Dia bisa mati penasaran kenapa Leor bisa memanggilnya ke sini dan kenapa pria itu bisa mengerti ada seorang Namara di istana Eros.

"Pertanyaan bagus. Kau orang yang sangat langsung," komentar Leor. Tatapannya berubah menjadi hati-hati dan seperti sedang menelisik dalam-dalam.

"Namamu Namara?" Namara mengangguk.

"Aku dengar banyak wanita sepertimu yang bernasib malang di tangan Eros. Jadi, aku ingin tahu bagaimana dia memperlakukanmu."

Namara tidak tahu apa niat Leor sebenarnya. Kedengarannya pria itu sangat baik, seakan peduli padanya. Namun, Namara tidak akan percaya pada klan Sayap Hitam. Dia harus memikirkan ucapannya dengan hati-hati.

"Tuan, aku tidak tahu bagaimana cara Tuan Eros memperlakukan wanita lain. Namun, selama aku tinggal di sini dia tidak sekejam yang mereka katakan," balas Namara.

"Oh ya? Apa dia benar-benar menyentuhmu?"

Wajah Namara menjadi kaku. Kenapa Leor harus menanyakan hal semacam itu?

"Emm, Tuan, kurasa itu seharusnya bisa ditebak. Tuan Eros membawaku dari rumah bordil. Jadi, aku adalah …." Namara menggantung ucapannya sampai Leor mengangguk.

"Sudah berapa hari kau di sini?"

"Setidaknya empat hari," balas Namara. Kemudian dia bersin lagi. Sungguh momen yang tidak tepat. "Maaf."

Leor tidak banyak bereaksi. Dia masih mengamati dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca. Setidaknya Namara merasa lega karena pria itu sepertinya tidak mencurigai identitasnya.

"Selama empat hari itu sudah berapa kali dia menyentuhmu? Apa dia mabuk atau berbuat sembarangan?"

Dasar tidak sopan! Ingin sekali Namara berteriak seperti itu. Bagaimana bisa Leor menanyakan hal itu lebih detail lagi? Itu benar-benar tidak sopan.

Entah kenapa Namara merasa si Leor ini sedang menyelidiki kedekatannya dengan Eros. Atau bahkan pria itu sedang menyelidiki Eros. Ada apa dengan mereka berdua?

Karena merasa jengah akhirnya Namara menyibakkan rambutnya ke belakang. Hal itu menyebabkan jejak-jejak merah di lehernya langsung terlihat jelas oleh orang lain.

Gerakannya dilakakukan dengan cara yang sangat alami sehingga tidak terlihat begitu mencolok. Puas kau, Leor?!

"Tuan, aku malu mengatakannya," balas Namara dengan malu-malu.

Leor memerhatikan leher Namara yang terdapat banyak jejak-jejak merah. Dia langsung terdiam. 'Jadi mereka benar-benar melakukan itu,' pikirnya.

"Baiklah. Kau boleh pergi sekarang," ucap Leor. Dia tersenyum tipis.

"Terima kasih," ucap Namara. Dia balas tersenyum sebelum akhirnya melangkah pergi. Demi langit dan bumi, dia tidak betah berlama-lama dengan pria itu.

Setelah sosok Namara benar-benar pergi, Leor mengepalkan telapak tangannya. Buku-buku jarinya sampai memutih.

"Apa dia benar-benar sebajingan itu? Aku meragukan itu. Akan bagus jika dia memang bajingan, bagaimana jika dia hanya menyembunyikan watak sebenarnya?"

Leor terlihat cukup gelisah. Ketika Falmos datang dia langsung bertanya, "Tuan, apa lagi yang membuat Tuan merasa gelisah?"

"Bodoh!" Leor menggertak.

"Eros adalah ancaman terbesarku. Jika dia hanya berpura-pura menjadi bajingan, maka …. Kau pikirkan saja sendiri apa akibatnya!"