Layar-layar persegi asing bermunculan. Bukan persegi biasa, layaknya gerbang, mereka mampu membawa segala jenis makhluk hidup agar berpindah dengan sekejap ke ujung dunia yang lain. Dunia yang baru. Ancaman tidak diketahui mengintai di baliknya, menunggu, menelan korban hingga ribuan. Pandangan manusia menjadi terbagi, sebagian termakan oleh rasa takut sendiri, sebagian mengganggapnya sebagai potensi. Semesta perlahan berubah, Bumi tak bisa mengelak, manusia dipaksa mengubah, dan aku mulai bergerak. ***
Hangat matahari memudar, tertutup pekatnya mendung. Embusan angin pantai kuat menerjang pepohonan kelapa yang menjulang. Aroma laut terbawa oleh setiap angin yang menerpa, campuran amis dan asin.
Tidak seperti biasanya pria-pria yang seharusnya melaut – menangkap ikan dan udang – kini tidak terlihat mengarungi ombak. Kumpulan wanita-wanita yang asyik berbincang di depan rumah pun tidak lagi terdengar. Jejak-jejak kaki anak kecil juga tidak menempel di atas pasir kelabu.
Segala hal yang biasa terjadi di desa ini kini sedang terhenti. Tergantikan satu pemandangan yang tidak pernah terjadi. Puluhan orang berkumpul, mengitari satu barang asing yang baru pertama mereka lihat.
Bahasa tubuh mereka seragam. Khawatir berbalut rasa iba, ditujukan pada seorang wanita yang tengah mengerang, terduduk di atas pasir kelabu, menangis tidak terkontrol.
Sesekali pandangan mata orang-orang berbelok, mengamati benda itu, penyebab utama yang mengubah suasana desa ini menjadi tidak karuan.
"Isabel! Isabel!" erangan semakin keras, beberapa mencoba menenangkan, beberapa membangun pagar dengan tubuh mereka, menghalau warga lain agar jangan menyentuh dan mendekati benda asing tersebut.
Satu pemuda berkemeja putih lengkap dengan sepatu hitam mendekati kerumunan. Berlari dari kejauhan, segesit mungkin melibas pasir-pasir kelabu. Menuju barisan paling belakang, empat orang yang ia kenal.
"...A-apa yang terjadi?" napas tersenggal, dadanya mengembang dan mengempis, mengambil udara. Empat pemuda lain yang ia tanyai menjawab tanpa suara dengan menunjukkan jari mereka ke satu objek.
Dikawal tujuh orang, tinggi tepat tiga meter, lebarnya pun tepat tiga meter. Tipis, setipis daun kopi. Keempat sisinya lurus membentuk persegi yang sempurna. Pinggirannya memijarkan cahaya putih kebiruan yang temaram.
"Isabel, sepupumu ...," salah satu dari empat orang mencoba memberi konteks, tiga lainnya hanya mengangguk pelan. "... dia hilang."
Raut wajah pemuda berkemeja mengerut, kebingungan, mencoba merangkai kesimpulan. Bagaimana bisa? Apa maksudnya? Isabel diculik? Bagaimana mungkin?
"Paman Juan menelponmu untuk segera pulang, 'kan? Aku tidak tahu banyak, coba temui dia di sana," acungan telunjuk itu menunjuk lagi, ke arah yang sama.
Tidak sabar, pemuda itu dengan segera berjalan melewati kerumunan, mencoba maju mendekati wanita yang belum lelah mengerang, adik dari ibunya, mendekati "layar bercahaya".
Wajah pemuda itu menjadi semakin bingung ketika ia sampai di barisan terdepan, menghadap secara langsung dengan bagian depan "layar" itu.
Sosok tubuhnya terpantul secara sempurna di depan "layar", layaknya seperti cermin jernih. Sangat jernih, hingga bekas luka goresan lama yang ada di tangannya mampu terlihat jelas dipantulkan oleh "layar".
Fitur-fitur tubuhnya. Mulai dari warna kulitnya yang coklat gelap, hingga setiap helai rambut hitamnya yang cepak tercermin di "layar" dengan sangat baik.
"Cermin siapa ini?" pemuda itu bertanya lagi, kali ini ke kerumunan wanita tua yang sedang menenangkan wanita yang kini semakin meledak-ledak, berteriak.
Lima detik berlalu, mulut mereka tidak memberi jawaban.
"Permisi, aku perlu penjelasan." Juan agak ragu bertanya lagi, tetapi ia membutuhkan keterangan secepatnya. "Siapa yang meletakkan cermin ini? Ada apa dengan Bibi Maria?"
Lima detik berlalu, wanita yang menangis - Bibi Maria - semakin sedu. Salah seorang wanita yang memegang pundaknya menatap pemuda berkemeja sambil menahan kesal.
"Cermin? Kau bilang benda terkutuk itu cermin? Dia memakan Isabel! Benda terkutuk itu mengambil nyawa gadis malang!"
Dia memaksa senyum dan semakin kebingungan. Memakan? Cermin memakan manusia? Kalau begitu kenapa mereka tidak menghancurkan cermin ini saja? Apa susahnya?
Sadar dirinya tidak akan mendapat jawaban dari mereka, pagar manusia yang berjejeran kini ia dekati. Figur yang paling senior di lingkungan ini, Juan, menggerakkan jarinya dari kejauhan, mengisyaratkan agar pemuda berkerah itu untuk segera kemari.
"Cuero, kemarilah," perintah Juan pada pemuda berkerah itu.
"Tentu ..., tapi." Mata Juan memandang Cuero, mengantisipasi pertanyaan. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
Sedikit tidak nyaman, berusaha dengan suara terkecil yang dimilikinya, Juan berbisik pelan.
"Isabel menghilang setelah ada benda ini." Pemuda berkerah, Cuero, kurang paham. Potongan-potongan puzzle informasi yang didapatkan belum mencukupi untuk membuat gambaran paling umum, kesimpulan paling dasar.
Sadar Cuero masih kebingungan, Juan melirik Maria, memastikan jaraknya dengan gerombolan wanita itu cukup jauh.
"Beberapa hari lalu layar ini muncul begitu saja," jelas Juan, masih berbisik lirih. Pemuda di depannya menempelkan telinga sedekat mungkin dengan mulut pembicara, berharap dia mampu memahami situasi desa saat ini.
"Kami pikir pemerintah yang memasangnya untuk turis atau apapun itu, tapi benda ini tumbuh! Lalu ...." Juan terhenti, berpikir sesaat. Cuero mengantisipasi. "Tadi pagi, benda ini bercahaya! Cukup untuk membuat kami curiga."
Turis, daerah desa ini memang tidak semaju kota-kota lainnya. Tumaco. Sisi pesisir Kolombia. Hanya wisata pantai tropis yang menjadi andalannya. Sayang, pandemi yang tidak kunjung mencapai titik akhir memaksa bandara dan akses masuk menjadi tertutup rapat, membuat hamparan pasir kelabu ini sunyi, hanya ada kerang, kepiting, dan camar yang menguasai.
"Isabel, dia kenapa?" tanya Cuero, lirih.
"Dia menyentuh benda ini," jawab Juan singkat dan agak keras. Cuero masih bingung.
"Maksudmu ... Isabel ...."
"Dia menyentuh benda ini, lalu lenyap, tanpa sisa. Kecuali jejak kakinya."
Pemuda berkemeja tampak tidak percaya. Menatap layar cermin di depannya dengan sedikit sinis. Dia tahu betul bahwa warga desanya jarang duduk untuk belajar, tapi fakta bahwa mereka terbodohi oleh sesuatu yang tidak masuk akal seperti ini benar-benar menyedihkan.
"Sudah berapa lama dia ... lenyap?" Cuero agak ragu dengan pemilihan katanya.
"Enam jam, mungkin lebih, aku agak terlambat datang kemari."
"Polisi, Paman sudah menelpon mereka?"
"Tepat sebelum aku menelponmu ...," Paman Juan Kembali berkata lirih, kali ini dia menutupi mulut dengan tangan agar tidak ada orang lain yang mencoba membaca bibirnya.
"Mereka bilang 'tunggu satu hari', setelah itu mereka mau kemari."
"Sial, bagaimana bisa polisi-polisi itu berbuat seenaknya? Tunggu satu hari? Astaga, kalau saja kami bukan orang miskin, pasti mereka akan langsung ke sini," pikir Cuero.
"Kalian sudah mencoba mencari Isabel? Barangkali dia sembunyi atau bermain entah ke mana?" tanyanya lagi, masih belum percaya.
Juan mendengus.
"Kau pikir kami menghabiskan waktu enam jam terakhir hanya diam dan melihat Maria seperti ini? Aku sudah mengobrak-abrik belasan rumah! Dia dimakan cermin ini!"
Kini Cuero yang mendengus, cermin pemakan manusia ..., konsep itu bisa menjadi tulisan fiksi menarik, tapi tidak rasional, terlalu khayal.
"Hanya ada satu hal yang belum kami coba," tambah Juan. "Menyentuh benda ini, seperti Isabel."
"Aku tidak percaya."
Pria tua yang hanya berbalut baju dalam longgar itu sudah mengantisipasinya. Dia tahu betul kalimat itu akan muncul dari Cuero entah kapan itu.
"Aku tahu, mana mungkin orang pandai sepertimu akan percaya. Tapi kami semua saksinya"
Cuero tertantang. Berpikir, mana mungkin benda seperti ini logis. Dia bingung pada pola pikir warga desanya, tidak percaya, mereka begitu paranoid.
"Baik, akan kucari sekarang," remehnya, memanjangkan tangan berusaha menyentuh cermin.
!!!
Tangan Juan sigap menepis, mencegah Cuero menyentuhnya.
"Hentikkan! Maria sudah sangat sedih kehilangan Isabel, jika kau ikut lenyap, pikirkan kondisi bibimu itu!" teriak Juan, semua orang kini melirik dua orang itu, kecuali Maria yang belum berhenti menangisi putrinya.
Cuero semakin tertantang, ingin membuktikan ketakutan mereka salah. Selalu ada penjelasan logis di balik semua fenomena. Hal ini contohnya. Jika cermin ini memang sehebat itu, tentulah dunia pasti akan menggunakannya untuk melenyapkan orang.
"Kalian semua lihatlah! Benda semacam ini tidak nyata! Lihat setelah aku menyentuh benda ini!" pelan namun pasti, jari telunjuk Cuero mendekat.
Juan berguling menghindar, enam orang lain di dekatnya ikut menjauh.
Ujung jari Cuero terhenti.
Dia menoleh, menatap semua wajah orang yang memasang ekspresi takut, menahan napas.
Ia tersenyum, bergerak lagi.
"Sudah kubilang ...."
"... semuanya ....
"... akan baik-baik ...."
" ... sa- ...."
"..."
Cuero lenyap, hilang, pergi. Kurang dari satu detik, eksistensinya sirna, tubuhnya musnah tanpa meninggalkan jejak.
Juan terbelalak. Semua orang tidak bergerak. Maria mematung, melihat seseorang dari keluarganya lenyap, lagi.
...
Sunyi kembali menghampiri. Deburan ombak lirih menepi. Tapi hanya angin yang mengisi sepi, mengembuskan kering, amis, dan asinnya lautan. []