webnovel

Senja

Keadaan terasa sengit. Di mana dua orang pria sedang beradu pandang. Dengan tatapan tajam, mereka saling bergerak. Seakan pukulan itu melayang begitu saja. Aileen panik menyaksikannya. Ia berusaha untuk meredam emosi dari keduanya.

"Hentikan! Kalian ini seperti anak kecil saja," pekik Aileen.

Hexa dan Damian menoleh secara bersamaan.

"Diam kau Aileen!" bentak Damian.

Suaranya itu terdengar nyaring. Sehingga, membuat warga sekitar ikut mendengarnya. Alhasil, seluruh warga berkumpul. Menonton perdebatan di antara mereka. Aileen tetap mencegah agar Damian tidak membawa Hexa untuk bertarung. Sebab, jika itu terjadi maka Hexa dalam bahaya. Manusia serigala jika bertarung dalam keadaan marah, maka akan berubah wujud.

Sehingga sudah pasti Hexa akan merasa takut. Tetapi, Hexa terus mencoba untuk menerima tantangan yang diberikan rivalnya. Sebagai seorang pria, sudah pasti Hexa ingin membuktikan pada Aileen tentang keseriusannya.

"Jangan mengambil keputusan begitu saja, Hexa. Aku tidak setuju jika kamu bertarung dengan Damian," ujar Aileen dengan nada pelan.

"Izinkan aku, Aileen."

Aileen menjawab dengan gelengan kepala.

Seluruh warga yang ada di situ juga tidak setuju.

"Aku tunggu di lapangan distrik petang nanti." Kalimat terakhir yang terlontar sebelum Damian meninggalkan tempat itu.

Keduanya saling bertatapan. Sementara warga masih berkerumun. Mereka kesal dengan sikap Damian yang keras kepala. Karena perilakunya itu, akan mengancam identitas warga sekitar. Tentu saja warga tidak tinggal diam. Mereka berencana untuk melaporkan tindakan Damian. Agar pria itu mendapatkan hukuman yang setimpal. Kemudian Aileen mengajak Hexa pergi dari tempat itu.

"Kita harus lapor pada Tuan Hector. Bagaimanapun, Damian telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh ketua kita," ujar salah satu dari mereka.

"Iya, kau benar sekali. Sekarang, sebaiknya kita temui Tuan Hector."

Seluruh warga berbondong-bondong pergi ke rumah Hector. Kebetulan Jelena sedang berada di luar. Ia terkejut ketika melihat para warga distrik berkerumun menghampiri rumahnya. Semua berteriak memanggil Hector.

"Di mana Tuan Hector?"

Jelena gugup, "Be-beliau sedang keluar."

"Kami ingin bicara dengan Tuan Hector," balas seseorang yang ada di dalam kerumunan tersebut.

"Mungkin sebentar lagi datang."

Ternyata benar, Hector datang dan langsung menenangkan para warganya. Semua tampak ricuh. Meminta agar Damian dihukum seberat-beratnya. Sebab, Damian telah melanggar peraturan yang dibuat oleh ketua mereka.

"Kami ingin Damian dihukum seberat-beratnya. Karena perilakunya telah membahayakan warga sekitar."

"Iya benar!" sahut yang lain secara serempak.

"Saya harap semuanya tenang. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik." Hector mencoba merelai keributan yang telah terjadi.

"Tidak bisa, Tuan! Damian benar-benar sudah tidak bisa diberi ampun. Kami harap Tuan bijak dalam menangani masalah ini."

"Iya, saya tahu sekali. Tapi, tidak perlu ada keributan. Karena saya yang akan memikirkan ini semua. Jadi, saya harap kalian bisa kembali ke rumah masing-masing."

Setelah mendapatkan arahan, seluruh warga kembali ke tempat masing-masing. Mereka berharap jika Hector memberikan hukuman berat pada Damian. Tiba-tiba saja kepala Hector terasa berdenyut. Ia penat memikirkan masalah yang ada di distrik ini.

Sehingga, Hector memutuskan untuk duduk. Sementara itu, Jelena dengan sigap mengambil air minum untuk suaminya. Sesaat kemudian, Hector terlihat memijat pelipisnya. Jelena masih berada di sampingnya, sampai pria itu benar-benar merasa tenang kembali.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Jelena.

Hector menggelengkan kepala, "Tidak mungkin aku berikan hukuman pada Damian."

"Mengapa tidak mungkin?"

Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Hector.

Pria itu kemudian masuk ke dalam untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sedangkan Jelena, menghela napas panjang. Terlalu banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh suaminya. Sehingga tidak bisa mengambil keputusan begitu saja.

**

Ketika petang tiba, seluruh warga distrik berkumpul di lapangan. Begitupun dengan Damian. Tetapi tidak dengan Aileen dan Hexa. Sebab, Aileen sengaja mengajak Hexa ke tempat lain. Agar pria itu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat ini.

Semua berbicara. Meminta agar Hector segera menghukum Damian. Sementara itu, tampak Damian tidak menundukkan kepala dan merasa bersalah. Bahkan dengan angkuhnya ia menengadahkan kepala. Merasa paling benar karena dirinya sangat dekat dengan ketua di distrik ini.

"Saya di sini akan mengumumkan bahwasannya, Damian sudah dimaafkan." Hector bicara serta membuat semuanya terkejut.

"Kenapa dimaafkan, Tuan? Apakah ini sebuah lelucon?"

"Damian telah menyadari kesalahannya. Sehingga, kita perlu memberikan kesempatan pada Damian."

"Wah… Tidak bisa seperti itu." Rupanya warga masih belum terima dengan keputusan yang diambil oleh Hector.

"Tenang semuanya. Saya berjanji tidak akan menganggu ketenangan yang ada di distrik ini," timpal Damian.

"Kalian bisa dengar sendiri. Damian telah mengakui kesalahannya. Jadi, masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan. Dan semuanya bisa kembali pulang."

Hector mengakhiri ucapannya. Ia meminta agar warga pulang ke rumah. Damian tersenyum penuh kemenangan. Sebab, tidak mungkin bagi Hector memberikan hukuman padanya. Mereka terlalu dekat, sehingga dengan mudahnya Hector memaafkan dirinya.

Karena kejadian ini, acara makan besar gagal total. Sehingga Hector memerintah agar seluruh daging buruan dibagikan pada warga yang ada di distrik tanpa terkecuali. Ia kemudian pergi, meninggalkan Damian seorang diri. Sejujurnya, Damian tidak jera. Ia tetap menaruh rasa dendam pada Hexa. Terlebih, Hexa telah merebut Aileen dari tangannya.

**

Sementara itu di tempat lain.

Hexa sedang terdiam seraya menatap ke arah matahari yang perlahan mulai tenggelam. Keadaan sekitar yang senyap dan sunyi, menambah kesan damai di tempat itu. Diam-diam Aileen mendekatinya. Dengan membawa beberapa buah yang ia petik langsung dari pohonnya.

"Ini untukmu," ucap Aileen sambil memberikan buah tersebut.

Hexa menoleh, "Terima kasih."

"Iya," balas Aileen singkat.

"Lihat itu. Senja yang begitu indah. Sama sepertimu."

"A-apa yang kau maksud?" Aileen berpura-pura tidak mengerti.

Mendengar hal itu, Hexa menatap wajahnya. "Iya, senja itu indah. Sama seperti wajahmu, indah serta menawan."

Blush…

Aileen tidak bisa menyembunyikan pipi merona akibat pujian yang dilontarkan oleh Hexa. Senyum tipis tergambar jelas di bibir Hexa. Ketika ia melihat betapa cantiknya Aileen saat sedang salah tingkah. Mereka saling terdiam dalam beberapa saat.

"Ada apa dengan pipimu?" tanya Hexa. Berusaha untuk menyentuh areal wajah Aileen.

Secepatnya Aileen menghindar, "Ti-tidak apa-apa."

"Oh, aku kira ada sesuatu sampai membuat pipimu merah seperti itu."

Aileen tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih dan bersih.

Kemudian mereka sama-sama memandangi senja yang perlahan mulai memudar. Di mana keindahan itu tercipta. Warna jingga mendominasi, menambah kesan sempurna di petang itu. Tidak henti-hentinya Aileen berdecak kagum. Selama ini ia tidak pernah duduk serta melihat matahari tenggelam.

"Kamu tahu tidak, kenapa aku suka sekali duduk di sini?"

"Kenapa?" Aileen menyernyitkan dahinya.

"Sebab, di sini kita merasa tenang. Lebih tepatnya, aku ingin segera mengingat tentang siapa aku sebenarnya. Dan aku berharap, dengan kondisi damai akan membuat ingatanku segera kembali."

Aileen terdiam, ia tidak menyangka dengan jawaban yang diberikan oleh Hexa. Pria itu masih berharap jika ingatannya kembali. Sementara Aileen, tidak menginginkan hal itu terjadi. Jika Hexa mengingat kembali tentang masalalunya, maka sudah pasti pria itu akan meninggalkan Aileen dan juga kehidupan yang ada di distrik ini.

Wajah Aileen berubah menjadi sedih. Diam-diam ia mengamati Hexa. Tentu saja tanpa sepengetahuannya. Sepertinya ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pria itu. Terlalu banyak kenangan di antara mereka berdua.