webnovel

Membuka Mata

Aileen merentangkan tangannya serta menutup kedua mata agar dapat merasakan lebih dalam keindangan alam di atas sana. Ia selalu bermimpi pergi ke bulan dan jatuh di antara bintang-bintang. Tetapi itu hanya mimpi saja dan tidak untuk terwujud.

Wuss…

Tiba-tiba terasa ada yang datang. Aileen menoleh, dan benar saja kalau sekarang Damian telah berada tepat di sampingnya. Ia pun membetulkan posisi tidurnya menjadi duduk. Wajah Damian terlihat tegang tanpa ekspresi apa-apa.

"Kau kenapa?" tanya Aileen membuka pembicaraan.

"Aku sedang kesal dengan kau."

Aileen mengkerutkan dahinya, "Kesal? Kenapa?"

"Aku tidak suka kalau kau merawat pria asing itu."

Mendengar penjelasan yang diberikan oleh Damian, mampu membuat Aileen terkekeh geli. Sudah jelas ayahnya saja mengizinkan, dan Damian masih tidak suka. Damian melempar batu kecil ke arah sebuah pohon besar yang letaknya jauh.

Dan berhasil, terdengar suata benturan antara batu dan batang pohon. Aileen menghentikan tawanya dan menatap wajah Damian. Ia tahu kecemasan yang sedang Damian rasakan, tapi ia berusaha untuk meyakinkannya kembali.

"Memangnya kenapa kalau aku merawat dia? Bukannya aku telah berjanji akan merahasiakan identitas kita sebagai manusia serigala?"

Damian mendengus kesal dan meraih kedua tangan Aileen, "Apa kau tahu? Aku tidak ingin kau jatuh hati padanya."

Seketika Aileen terdiam, ia tidak mampu mengatakan apa-apa lagi. Ia terpaku pada wajah Damian. Aileen melepaskan genggaman tangan itu. Rasa canggung langsung menyelimuti malam itu. Aileen mengalihkan pandangannya menatap hamparan rumput hijau yang ada di sana.

Sementara Damian terus saja melihat tingkah laku Aileen sampai membuatnya salah tingkah. Kemudian Damian menarik bahu Aileen sehingga membuat tubuhnya berhadapan langsung dengannya.

"Ada apa lagi, Damian?" Nada bicara Aileen terdengar kesal.

"Berjanji, kau tidak akan menyukai pria itu," pinta Damian.

"Jangan buat perjanjian seperti itu. Apa kau tidak tahu, siapa dia? Dan siapa aku?"

Aileen berada di ambang batas emosinya. Tidak mau bertengkar, akhirnya Aileen memutuskan untuk pergi kembali ke rumah serta meninggalkan Damian sendiri. Geram dengan Aileen yang tidak mau berjanji, Damian melayangkan pukulan keras pada batu yang ada di depannya.

"Arrgghh. Sejak dulu, kau selalu saja begitu," ujar Damian yang wajahnya telah berubah menjadi merah.

Aileen tidak memperdulikan Damian yang marah. Ia kesal dan pergi ke kamarnya. Malam semakin larut, dan saat ini rasa kantuk mulai menyerang. Aileen melepaskan aksesoris yang menempel di kepalanya serta meregangkan otot kepala yang terasa tegang. Setelah itu, ia tertidur lelap menyusuri mimpi indah yang menemaninya setiap malam.

**

Esok harinya.

Jendela telah terbuka, sinar matahari masuk ke dalam kamar itu. Aileen memicingkan kedua matanya karena terpapar sinar matahari langsung. Ia menggeliatkan tubuhnya dan mulai sadar menuju alam yang nyata.

"Bangun. Atau kau akan terlambat berlatih pagi ini." Suara Jelena terdengar jelas.

Aileen menghela napas panjang, "Aku masih mengantuk, Bu. Berikan aku waktu sebentar lagi."

"Tidak, Aileen. Pekerjaan kamu pagi ini menumpuk. Kamu harus segera pergi ke tempat berlatih sebelum Ayah sampai duluan."

Aileen membuka kedua matanya sempurna, "Apa?! Ayah? Apa Ayah yang akan mengisi latihan hari ini?"

Jelena menanggapi dengan anggukan kepala.

Tubuh Aileen langsung lemas. Beberapa kali ia menepuk dahinya. Itu artinya akan berlangsung latihan yang tidak ada jeda sama sekali. Dan juga latihan keras akan ia hadapi pagi ini jika benar ayahnya akan mengajarkan mereka.

Tanpa membuang waktu lama, segera Aileen bangkit untuk membasuh tubuhnya. Tetapi berhasil dicegah oleh Jelena.

"Ada apa, Bu?" Aileen tidak ada semangat di pagi ini.

"Tadi Damian datang. Dan mengatakan akan menjemput kamu kalau pergi ke tempat latihan."

"Aku bisa sendiri, dan tidak perlu dijemput seperti itu," jawab Aileen ketus.

Ia pun segera pergi sebab tidak mau membuang waktu lebih lama lagi hanya memikirkan Damia. Saat hendak pergi membasuh tubuh, Aileen teringat akan pria asing yang sedang dirawatnya. Kemudian ia memutar arah dan pergi menuju kamar di mana pria itu berada.

Di sisi lain.

Pria itu membuka mata lebar, ia melihat ada cahaya yang terang sekali. Bahkan sampai memicingkan mata. Tidak lama kemudian, terlihat jelas sosok pria berwajah tampan serta bersikap dingin tengah menatapnya dalam-dalam.

Bulu kuduk pria itu berdiri sempurna, ia memundurkan tubuhnya agar dapat menjauh. Tetapi sosok yang dilihatnya semakin mendekat.

"Hexa." Panggilnya dengan suara menyeramkan.

"Hexa? Siapa itu Hexa?" Ia menjawab kebingungan.

"Aku datang untuk menjemput kau," ujarnya lagi.

"Pergi! Jangan mendekat, atau aku akan berteriak," ancamnya.

Dia adalah helios, malaikat pencabut nyawa. Semakin lama helios semakin mendekat, menyebabkan teriakan hebat akibat ketakutan. Pria itu menutup kedua tangannya dan berusaha untuk menghentikan helios. Saat tiba waktunya, cahaya perlahan menghilang. Tubuh pria itu gemetar dan keringat dingin bermunculan.

Dan timbul seorang wanita cantik yang menepuk pundaknya. Membuat pria itu terkejut serta berteriak hebat. Aileen datang dan menenangkannya.

"Hei, kau telah sadar? Kau kenapa? Jangan takut," ucap Aileen yang mencoba untuk menenangkannya.

"S-siapa, kamu?"

"Aku Aileen. Apa namamu Hexa?"

"A-aku, tidak tahu," jawabnya masih dalam keadaan takut.

Aileen menghela napas dan duduk di sampingnya. Mengusap lengan yang berkeringat dingin itu. Perlahan ketakutannya menghilang. Aileen mampu mencipatakan kehangatan dan kedamaian. Dengan hati-hati, Aileen bertanya seputar asal usul pria yang ada di sampingnya.

"Coba ingat kembali, dari mana kau berasal?"

Pria itu menarik napas dalam-dalam, serta berpikir dalam waktu yang lama. Hingga akhirnya, ia seperti menemukan titik terang. Kepalanya terasa berdenyut, yang menyebabkan rasa sakit hebat. Ia berteriak, dan membuat Aileen cemas.

"Apa kau baik-baik saja?"

"Arrgh. Kepalaku sakit sekali."

Aileen meraih segelas air minum yang ada di meja, "Minum. Jangan terlalu dipaksa kalau memang kau tidak bisa mengingatnya."

"Aku ingat. Namaku Hexa. Dan tadi ada sosok pria datang serta memanggil namaku."

Sekarang Aileen mengetahui nama dari pria yang ditemukannya. Aileen tidak langsung bertanya perihal kejadian yang menimpanya. Ia membiarkan agar Hexa benar-benar pulih dan dapat menceritakan semua kepadanya.

Meneguk sampai habis air minum itu. Sekarang keadaan Hexa membaik. Luka di sekujur tubuhnya mongering karena ramuan yang diracik oleh Jelena. Beberapa kali terdengar suara Hexa yang mengatur napas. Dadanya terasa sesak seperti terbentur oleh batu besar.

Memang di bagian dadanya, terdapat luka parah pada saat Aileen menemukannya. Hexa baru sadar kalau ia tidak memakai pakaian. Hexa menutupi bagian dadanya yang terlihat.

"Apa saat kau menemukan diriku sudah seperti ini?" tanya Hexa.

"Iya. Tapi keadaan kamu sangat parah sekali. Apa kamu benar-benar tidak mengingat apa pun?"

Hexa menggelengkan kepalanya.

"Ya sudah kalau begitu. Aku akan pergi membasuh diri terlebih dulu."

Ketika hendak pergi, Hector dan Jelena datang. Mereka mendengar percakapan antara anaknya dan pria asing itu. Kemudian Hexa memperkenalkan diri. Hanya namanya saja, tidak lebih dari itu karena memang ia tidak mengingat apa pun selain namanya.

Jelena menyambut dengan penuh kehangatan, sementara Hector bersikap tegas dan dingin dan tidak menanggapi apa pun. Jelena telah mempersiapkan sarapan pagi untuk mereka. Dan memerintahkan agar Hexa membasuh tubuhnya serta berganti pakaian.

"Aku telah mempersiapkan pakaian untuk kamu. Silakan pakai saja dan anggap seperti rumah sendiri," ucap Jelena.

"Terima kasih, Nyonya," jawab Hexa santun.

"Aileen, kau belum beranjak untuk membersihkan tubuh?" Jelena masih melihat anaknya dalam keadaan sama seperti tadi.

Aileen tersenyum memperlihatkan giginya. Ia berlari pergi agar terhindar dari kemarahan sang ibu dan juga ayahnya yang telah memasang wajah intens. Setelah itu, Aileen berjalan menuju meja makan. Perutnya sudah lapar dan sudah tidak sabar untuk menyantap hidangan yang disiapkan oleh ibunya.

Hector lebih dulu berada di sana dan menunggu anaknya serta Hexa yang belum kunjung selesai bersiap. Aileen menoleh mencari keberadaan Hexa.

"Aileen," panggil Hector.

"Iya, Ayah."

"Ingat, jangan tunjukkan hal yang mencurigakan dan akan menyebabkan identitas kita terbongkar."

"Iya, Ayah. Aku telah berjanji, dan tidak akan melanggarnya."

Hector dapat bernapas lega setelah mendengar janji dari anaknya.