webnovel

Caspar yang Misterius

Finland tidak dapat berkata apa-apa saat Caspar menarik tangannya melintasi lobi hotel dan menuju lift. Wajah-wajah staf yang keheranan melihat kehadirannya tidak dapat menyembunyikan rasa ingin tahu. Mereka membungkuk hormat saat Caspar dan Finland lewat, kemudian menoleh memperhatikan keduanya hingga masuk lift.

"A... aku percaya kau memang pemilik hotel Continental ini. Sudah cukup. Terima kasih atas bantuannya..." kata Finland terbata-bata.

Caspar tersenyum, ia memencet tombol 40, lantai tertinggi. "Aku menerima ucapan terima kasih dalam bentuk traktiran makan malam di Restoran Michelin atau kencan seharian di Universal Studios*. Bonus 800 dolar itu banyak banget lho..."

Finland mengerucutkan bibirnya dan pikirannya langsung menghitung angka-angka dengan cepat.

"Makan malam di restoran Michelin kalau begitu..." jawabnya kemudian. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Ia ingat di Singapura ada satu-satunya di dunia, sebuah kedai makanan hawker center yang menjual nasi ayam dan mendapat predikat bintang Michelin, harga satu porsinya tidak sampai 10 dolar. Memang antriannya bisa sampai dua jam... Tapi, Caspar tidak bilang sama sekali kalau Restoran Michelinnya harus di tempat mewah kan?

"Hahahahaha...." saking bangganya dengan dirinya sendiri, Finland tertawa lepas. Caspar melihatnya keheranan.

"Ada yang lucu?"

"Ehm... tidak ada apa-apa. Aku berjanji, kalau bonusku 800 dolar sudah diberikan perusahaan, aku akan mentraktirmu di restoran Michelin," jawab Finland sambil berusaha mengurangi senyum lebarnya.

Lift berhenti di lantai 40 dan pintunya terbuka.

Hanya ada satu pintu di lorong hotel lantai 40 ini. Caspar menempelkan kartunya dan pintu segera terbuka ke sebuah penthouse* paling luas yang pernah dilihat Finland.

"Whoaaa.... apa ini?" tanya Finland keheranan, "Di lantai ini hanya ada satu kamar."

"Ini namanya penthouse. Penthouse adalah unit tertinggi di sebuah gedung hotel yang mengambil tempat setengah atau seluruh lantai. Aku bisa melihat ke sekitarku dengan pandangan hampir 360 derajat. Mau lihat isinya?"

Finland masuk ke penthouse Caspar dengan mulut ternganga lebar. Ia belum pernah melihat ruangan sebesar, semewah, dan seelegan ini... tidak juga di majalah-majalah. Sekarang ia 100% percaya bahwa Caspar adalah pemilik hotel ini. Ia tidak berbohong... tidak bercanda...

Sebagian orang memang terlahir sangat beruntung. Caspar memiliki wajah yang sangat tampan, ia jelas dari keluarga kaya kalau melihat mobilnya, dan penthouse tempat tinggalnya di hotel ini (yang juga merupakan miliknya). Ia juga pasti sangat pintar kalau mengingat profesinya sebagai dokter bedah, apalagi semester ini ia juga mengajar mahasiswa kedokteran di NUS. Singkatnya, Caspar ini sempurna dan Finland tak dapat menemukan kekurangannya sedikit pun. Setidaknya belum.

Membayangkan ini, ia bergidik. Jean benar. Manusia tidak ada yang sempurna. Mereka pasti memiliki kekurangan atau kelemahan, dan biasanya semakin besar kelebihannya, maka kekurangannya juga akan semakin fatal.

Jangan-jangan Caspar ini punya kelainan jiwa... atau mungkin dia sudah punya istri dan senang selingkuh... atau jangan-jangan ia masih single sampai sekarang karena dia suka memukul perempuan... Atau...

Oh Tuhan... kekurangan yang tidak kelihatan itu sungguh menakutkan. Finland lebih siap bila seandainya Caspar itu miskin, atau agak botak sedikit... atau penampilannya norak.. Semua itu bisa dimaklumi. Tapi kalau sampai ia memiliki kekurangan yang tidak kelihatan dan ternyata fatal...

Ugh.. Finland meneguhkan hati, bagaimana pun Caspar terlihat sempurna dan mempesona, ia tak boleh luluh dan jatuh hati. Hidupnya baru mulai membaik, ia sudah bekerja dan punya tabungan, dan punya tempat tinggal yang bagus. Ia tak boleh jatuh lagi dalam kehidupan.

"Hei, kau sedang apa?" tanya Caspar heran melihat Finland komat-kamit sendiri, "Ayo ke sini!"

Ia sedang berdiri di jendela yang tingginya dari lantai hingga langit-langit dan melambaikan tangannya mengajak Finland mendekat.

"Aku ingin menunjukkan Singapura kepadamu."

Finland berjalan perlahan-lahan dan setiap langkahnya mendekat ke jendela, semakin lebar matanya membelalak. Dari jendela itu ia dapat melihat Marina Bay dengan bangunan Marina Bay Sands* yang khas seperti ikan terbang di sebelah kiri, dan di sebelah kanan lampu-lampu Singapore Flyer* yang bergerak memutar mengikuti gerakan komidi putarnya.

Seluruh bagian kota yang dilihatnya dari jendela itu bermandikan cahaya gemerlap. Ia sampai menggigit bibirnya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Singapura dilihat dari sini sungguh rupawan.

"Bagus sekali..." kata Finland lirih. "Terima kasih. Aku belum pernah melihat Singapura dari sudut pandang ini...."

"Kau kutawari tinggal di sini bulan lalu, gratis, tapi kau menolak." Caspar batuk-batuk kecil, "Kau tidak percaya akan niat baikku."

"Maaf, aku memang tidak gampang percaya orang." Finland membenarkan. "Tapi aku juga tidak gampang menerima kebaikan orang. Kalau orang memberiku sesuatu tanpa mengharapkan balasan, aku pasti akan curiga dan bertanya-tanya, apa kira-kira yang diinginkan orang itu dariku. Aku tak bisa membayangkan, kalau aku tinggal di hotelmu ini selama sebulan, apa yang kau inginkan dariku... Aku tak mau menebaknya."

Caspar menatapnya keheranan. "Kau tidak bisa percaya bahwa aku tidak punya pamrih? Aku kasihan melihatmu kesulitan, kau tidak punya tempat tinggal dan bahkan tidak mampu membayar ongkos taksi. Di hotel ini ada banyak kamar. Buatku tidak ada bedanya, kalau ada satu tamu yang menginap gratis."

"Oh..." Wajah Finland tiba-tiba terlihat membeku, dan seketika Caspar sadar ia telah salah bicara.

"Ada apa? Aku salah bicara, ya?"

"Aku tidak suka dikasihani. Maaf ya, aku tahu niatmu baik, tapi aku tidak pernah mengandalkan orang lain dan mengharapkan belas kasihan orang. Aku sekarang sudah mampu menyewa kamar dengan uangku sendiri, dan aku suka tempat tinggalku. Aku memang waktu itu tidak mampu naik taksi, tapi aku bisa menunggu MRT. Aku tidak pernah memintamu mengantarku pulang, jadi aku tidak berhutang budi apa-apa kepadamu. Bantuanmu membooking venue di hotelmu ini juga tidak kuterima dengan cuma-cuma, karena aku sudah berjanji akan membagi uang bonusnya dengan mentraktirmu makan malam." Finland menatap Caspar dengan kening berkerut, "Tolong jangan kasihani aku...."

Caspar tertegun. Sesaat kemudian ia pun mengangguk.

"Aku minta maaf kalau membuatmu tersinggung. Aku hanya suka membantu."

"Tidak apa-apa." Finland membungkukkan badannya lalu permisi pulang, "Terima kasih sudah menunjukkan tempat tinggalmu yang mengagumkan ini. Sekarang aku permisi dulu. Aku harus mengejar bus untuk pulang."

Caspar hanya bisa mengangguk. Setelah Finland hilang dari pandangannya, ia kemudian duduk di sofa Victoria elegan di ruang tamunya dan memandangi Singapura dari jendela besar yang barusan ia tunjukkan kepada Finland. Ia merenung.

Saat pertama melihat gadis itu di bandara, ia tertarik pada sepasang mata Finland yang tampak begitu sedih. Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat pandangan sesedih itu, dan hatinya tersentuh. Ia hanya ingin membantu dan memastikan gadis itu baik-baik saja. Ia bahkan memikirkan berbagai cara untuk membuat gadis itu tersenyum. Tetapi barusan saja Finland mengatakan dengan tegas bahwa ia tak suka dikasihani.

***

Dalam perjalanan pulang, Finland membayangkan Caspar si pemuda sempurna dan merengut saat mengingat bahwa pemuda itu kasihan kepadanya. Mungkin dia itu seperti tipikal anak orang kaya yang tidak pernah mengalami kesulitan dan saat melihat orang miskin mereka menjadi tertarik karena hal itu adalah sesuatu yang asing bagi mereka. Atau seperti orang-orang kulit putih yang punya white savior syndrome, saat mereka datang ke negara dunia ketiga seperti Asia dan Afrika dan mengambil selfie sambil menolong orang miskin...

Finland merasa tersinggung. Ia tidak punya pilihan dalam hidup. Ia dilahirkan tanpa ayah dan ibunya meninggal saat ia masih kecil. Neneknya yang membesarkannya dengan susah payah juga sudah meninggal. Ia masih berhutang kerja tiga tahun kepada pemerintah Singapura.

Yang bisa dilakukannya sekarang adalah bekerja sebaik-baiknya selama tiga tahun, mengumpulkan uang dan baru menentukan arah hidupnya. Ia tidak mau bergantung kepada orang lain dan berhutang budi kepada siapa pun. Kecuali pada Jean... Ah, Jean sudah sangat banyak membantunya, dan Finland sudah bernazar, hidup dan mati pun ia akan selalu mengingat kebaikan Jean selama ini.

[Jean, masih ingat dokter yang aku tabrak di bandara? Ternyata dia kaya sekali. Dia membeli Hotel Continental dan sekarang tinggal di penthouse-nya. Aku barusan ke sana.]

Jean membalas whatsapp Finland satu menit kemudian.

[Wow! Ngapain kalian di penthouse-nya?]

[Tidak apa-apa, kok. Dia cuma mau pamer.]

[Oh. Kalau dia mau pamer segala, tandanya dia suka kepadamu. Apa dia ganteng? Mana fotonya?]

[Tidak ada. Aku tidak punya fotonya.]

[Nama lengkapnya sudah tahu? Kita bisa google.]

Finland mendesah. Ia masih belum tahu nama lengkap Caspar.

[Aku masih belum tahu. Tidak sempat tanya.]

[Misterius sekali sih orangnya. Bulan depan aku pulang ke Singapura, kita bisa selidiki bersama.]

[Oh, kau jadi pulang? Aku tidak sabar! Kebetulan bulan depan kami ada acara peluncuran produk baru Bartz di Singapura, kau harus datang.]

[Lihat nanti ya, aku mungkin ada job juga di Singapura.]

[Dan kau harus berkunjung ke rumahku! Rumahku cantik sekali seperti di negeri dongeng.]

[Tentu saja!]

Finland mengingat-ingat kapan terakhir kalinya ia bertemu Jean. Sudah hampir empat bulan. Terakhir kali Jean ke Singapura ia terlalu sibuk dan mereka hanya sempat bertemu dua kali untuk makan malam. Jean sekarang berumur 24 tahun, dan katanya ia hanya punya waktu maksimal 2 tahun lagi untuk bekerja di runway, karena itu ia selalu menerima tawaran pekerjaan sebanyak-banyaknya. Setelah itu ia akan kembali sekolah atau mencari pekerjaan lain yang tidak mengandalkan penampilan.

Jean senang mengambil video saat bepergian dan ia ingin sekolah film atau menjadi host acara perjalanan wisata. Ia selalu mengatakan bahwa Finland seharusnya menjadi travel writer dan ia akan menjadi videografernya.

Sayangnya, hingga kini Finland belum pernah traveling keluar negeri. Jean sudah menawarkan untuk membawa Finland ke berbagai negara dengan miles frequent flyernya, tetapi Finland selalu menolak.

"Suatu hari nanti akan tiba waktunya bagiku untuk terbang dan menjelajah dunia, Jean. Aku tidak mau menjadi beban siapa pun. Aku ingin menjelajah dunia dengan sayapku sendiri," demikian cara Finland selalu menolak tawarannya.

Tempat pertama yang akan didatangi Finland adalah Finlandia, negara asal ayahnya, dan Paris, tempat Jean tinggal menghabiskan sebagian besar waktunya.

***

Finland sedang mengetik laporan proyek yang sedang ia kerjakan ketika tiba-tiba Ms. Fang memanggilnya.

"Finland, terima kasih atas bantuanmu. Hotel Continental barusan menghubungiku dan mengkonfirmasi acara kita untuk tanggal 10." Senyumnya lebar sekali saat menyampaikan pengumuman itu kepada seisi ruangan. "Acara kita akan sukses! Aku tidak melupakan bonus yang kujanjikan."

Finland hanya bisa mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa. Teman-teman satu departemennya bertepuk tangan meriah, tetapi ia mendengar cibiran di sana-sini.

Seperti yang diduga Caspar, benar saja, orang-orang di kantornya semakin yakin ia memang simpanan petinggi hotel Continental. Ugh...

Tidak apa-apa... pikirnya dalam hati. Toh, ia tahu kebenarannya. Ia memperoleh venue itu dengan cara menjanjikan pemilik hotel makan malam di restoran berbintang Michelin. Orang lain tidak perlu tahu.

Ia mengetik SMS kepada Caspar untuk mengucapkan terima kasih.

[Konfirmasi venue sudah kami terima. Terima kasih banyak. Aku berhutang makan malam. Aku bersedia mentraktirmu kapan pun kau tidak sibuk.]

[Aku tidak sibuk malam ini.]

Oh, cepat sekali... pikir Finland. Tetapi ia tidak mau menjilat ludahnya sendiri, karena itu ia segera membalas, [Baiklah, aku yang pilih tempatnya. Kujemput di rumah sakit?]

[Oh, hari ini aku mengajar mahasiswa kedokteran di NUS. Jemput di kampus saja?]

[OK]

Caspar mengirim lokasi dan jadwalnya hari itu. Finland mencatatnya baik-baik. Tiba-tiba ia terpikir sesuatu.

[Kalau aku tidak bisa menemukan kelasmu, aku harus tanya siapa? Aku tidak tahu nama lengkapmu. Kau kan tidak mungkin bisa ditelpon kalau sedang mengajar.]

Kena kau, pikir Finland. Akhirnya aku bisa tahu nama lengkapmu...

Sayangnya lama sekali tidak ada balasan dari Caspar. Finland mulai was-was... jangan-jangan Caspar sama sekali tidak ingin ia mengetahui tentang dirinya.

Jam makan siang tiba dan seperti biasa Finland makan di kubikelnya, bekal yang ia bawa dari rumah. Ia baru menyelesaikan makan siangnya dan sedang akan ke pantry untuk mencuci kotak bekalnya, ketika Jennie, office manager datang ke mejanya dengan membawa sebuah rangkaian bunga yang cantik sekali.

"Finland, ada kiriman untukmu. Barusan diantar. Di kartunya ada logo Hotel Continental," katanya sambil menyerahkan karangan bunga itu kepada Finland yang kaget setengah mati. Ugh... mungkin ini cara Caspar menggodanya, sekarang orang akan sungguh-sungguh berpikir dia adalah seorang simpanan...

"Terima kasih," kata Finland lesu. Ia menaruh bunga itu di mejanya dan membaca tulisan di kartu. Bisik-bisik di sekitarnya mulai mengganggu tetapi ia pura-pura tidak mendengar.

[Aku tunggu acara makan malam kita - di Restoran Michelin, kan? - Heinrich Schneider.]

Oh... ternyata ini nama asli Caspar!

Finland menahan napas sesaat saat membaca namanya. Sayup-sayup ia mendengar bisik-bisik semakin keras dari orang di sekitarnya. Rupanya sudah ada yang membaca isi kartu tersebut dan menyebarkan isinya. Mereka tahu bahwa pengirim bunga tersebut adalah seseorang bernama Heinrich Schneider, dan banyak yang segera menggoogle namanya.

"Eh, dia itu kan pengusaha pemilik Grup Schneider yang baru-baru ini membeli Hotel Continental?"

"Pantas saja Finland bisa mendapatkan venue-nya..." kata Lily lirih kepada Tran di sebelahnya.

"Di Google tidak ada fotonya, pasti ini angmoh (bule) tua." komentar Tran. Mereka berdua memandang Finland dengan pandangan sedikit mencela.

Saat itu ingin rasanya Finland ke NUS dan menyeret Caspar ke kantornya, biar orang-orang itu melihat betapa muda dan tampannya pemilik hotel Continental dan berhenti menggosipkannya, tetapi ditahannya keinginan itu dan ia menenangkan diri dengan menghela napas panjang-panjang.

.

1] penthouse = suite/apartemen yang terletak di lantai paling atas dan biasanya berukuran sangat luas

2] Universal Studios = Taman hiburan di Singapura yang memiliki berbagai wahana seperti Dufan.

3] Marina Bay Sands = salah satu bangunan paling ikonik di Singapura berupa dua gedung yang di bagian atasnya menyatu dengan bentuk seperti ikan terbang

 4] Singapore Flyer = bianglala raksasa yang menjadi ciri khas Singapura.

Chapter ini dibuat spesial untuk pembaca yang sudah begitu sabar menunggu dan mendukung novel ini. Ada lebih dari 2000 kata. Semoga kalian suka yaaa... Kalau tidak sibuk, besok saya publish chapter baru.

Kalau suka dengan novel ini, jangan lupa kirim dukungan dengan pilih batu kuasa (vote power stone) biar rankingnya naik yaa...

...

Salam sayang,

Vina

Missrealitybitescreators' thoughts
Next chapter