webnovel

The Alchemists: Cinta Abadi

Finland adalah gadis paling kesepian di dunia, yang harus berani menghadapi dunia yang sulit di Singapura sendirian setelah lulus dari universitas dengan beasiswa. Setelah dibesarkan sebagai anak yatim dalam kemiskinan di pinggiran Jakarta dan selalu dibully gadis-gadis kaya di sekolahnya, ia sangat kuat membentengi dirinya agar tidak disakiti oleh orang lain. Secara kebetulan, Finland bertemu Caspar, seorang alchemist generasi kedua yang telah hidup selama 438 tahun dan sebenarnya abadi. Caspar telah menumpuk kekayaan, pengetahuan, dan kesempurnaan di dalam hidupnya (yang sangat panjang). Ia tidak pernah jatuh cinta dan bergonta-ganti kekasih sebulan sekali, sampai akhirnya karma membalas Caspar ketika dia bertemu satu-satunya gadis yang tidak peduli pada ketampanannya dan kekayaannya yang luar biasa, dan pada gilirannya membuatnya jatuh cinta setengah mati. Copyright: @2019 Missrealitybites *** Follow FB Page "Missrealitybites" untuk ngobrol dengan saya tentang novel-novel saya: 1. The Alchemists 2. Kisah Cinta Ludwina & Andrea 3. Katerina 4. Glass Heart : Kojiro - Nana 5. 1912-1932 6. Altair & Vega 7. Pangeran Yang Dikutuk 8. Finding Stardust / Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang Lihat visual novel ini di Instagram @casparthealchemist Instagram @missrealitybites

Missrealitybites ยท Fantasy
Not enough ratings
1144 Chs

Bertemu Rory

Finland mencari-cari nomor telepon manajer Jean yang diterimanya dari Katia. Waktu itu ia menelepon sewaktu masih di Singapura dan teleponnya ditolak. Ia akan mencoba menelepon dengan nomor T-Mobile Amerikanya.

Semoga kali ini diangkat, pikirnya.

Setelah nada dering ketiga, panggilannya diangkat.

"Hallo, aku sahabat Jean... dan aku sangat kuatir selama ini dengan kondisi Jean, tolong beri tahu aku keadaannya. Aku bukan reporter pencari berita, namaku Finland, aku benar-benar sahabatnya. Tanyakan namaku kepada Jean, dia pasti bisa mengonfirmasi..." ucap Finland buru-buru sebelum telepon ditutup. "Namaku Finland... Tanyakan saja kepadanya...."

"Jean sedang tidur nanti kalau dia sudah bangun akan kutanyakan." Akhirnya manajer Jean menjawab setelah terdiam agak lama.

"Tolong beri tahu Jean bahwa aku sangat mencemaskannya. Aku sudah pindah ke Amerika. Aku akan ke Prancis beberapa bulan lagi..."

"Baiklah, nanti aku sampaikan."

"Terima kasih...." Finland menutup telepon dan jatuh terduduk ke kursinya dengan lega. Ia mendekap ponselnya di dada dan mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena menahan tangis.

Oh... akhirnya Jean benar-benar sadar.... Ia lega sekali.

"Kau menelepon siapa? Kenapa menjadi sedih?" tanya Anne yang kuatir melihat Finland duduk dengan air mata bercucuran.

"Aku menelepon temanku...." kata Finland, "ini bukan air mata sedih, tetapi air mata kebahagiaan..."

"Apa yang terjadi?" tanya Anne tidak mengerti.

"Ia baru sadar dari koma."

"Oh... syukurlah. Di mana dia?"

"Dia di Prancis. Aku tidak bisa ke sana sekarang, mesti tunggu anakku lahir dulu..."

Finland sangat bahagia karena Jean sudah bangun. Ia tak sabar segera mendengar kabarnya. Semoga Jean bisa segera pulih sepenuhnya.

Setiap hari Finland mengirim SMS menanyakan kabar Jean tetapi manajernya tidak juga membalas. Akhirnya tiga hari kemudian dengan pertimbangan Jean pasti sudah membaik dan bisa diajak bicara ia menelepon kembali. Setelah belasan kali bunyi deringan akhirnya panggilannya diangkat.

"Hallo, maaf, bisa aku bicara dengan Jean? Tolong berikan teleponnya kepada Jean, dia pasti mau bicara denganku. Dia akan marah kalau kau tidak membiarkanku bicara dengannya..."

Terdengar suara menghela napas di ujung sana. "Maaf, siapa namamu?"

"Namaku Finland. Finland Makela. Jean yang menemukan ayahku. Ia sahabatku. Ia pasti mengenaliku."

"Uhm... Maaf, Nona. Jean bilang dia tidak kenal Anda."

Finland yang sedang berjalan pulang di trotoar seketika menjadi terhuyung. Ia harus berpegangan pada tembok karena sepasang kakinya terasa terlalu lemah untuk berdiri.

"Ti... tidak mungkin... Aku sahabatnya... " Ia terduduk sambil menangis. Suara tangisnya membuat manajer Jean menjadi kasihan.

Ia lalu berkata, "Jean ada di sini, akan kuberikan teleponnya kepadanya. Kalau memang kau sahabatnya, dia akan mengenalimu..."

"Oh...baiklah, terima kasih..." Finland menghapus air matanya dan berusaha terdengar lebih tenang. Jean baru sadar dari koma panjang, pikirannya mungkin masih berkabut.

"Hallo..." terdengar suara Jean dari ujung telepon.

"Oh, Jean... syukurlah kau baik-baik saja... Aku sangat kuatir... Ini aku Finland."

"Uhmm... maaf, aku tidak kenal. Kau siapa?"

Deg!

"A... aku sahabatmu. Kita sempat kuliah bersama di Singapura..."

"Aku hanya kuliah sebentar di Singapura dan langsung pindah ke Prancis. Aku tidak ingat siapa pun di sana..." suara Jean terdengar lelah. "Mungkin kau mengenalku dari jauh karena kita sekampus..."

"Tidak... kita bersahabat sampai sekarang. Walaupun kau pindah ke Paris, kita masih berhubungan..."

"Aku sangat sibuk... bagaimana mungkin kita bisa tetap berhubungan?" tanya Jean bingung. Ia kemudian bertanya pada manajernya, "Apakah aku pernah menceritakan tentang teman di Singapura?"

"Kau ada beberapa teman di Singapura tapi tidak akrab. Aku tidak tahu nama Finland," jawab manajernya.

"Aku tahu semua tentangmu... kau sangat suka berjalan kaki, kau ingin dikenal dengan satu nama saja, dan kau juga memakai kacamata plus..."

"Aku tidak memakai kacamata," tukas Jean cepat. "Mataku baik-baik saja."

"Tidak mungkin... kau memakai kacamata plus untuk membaca, walaupun kau menyembunyikannya. Aku punya bukti..." Finland buru-buru mencari foto Jean di Singapura saat ia sedang membaca dengan menggunakan kacamatanya. "Aku punya fotomu dengan kacamata..."

Terdengar suara terkejut dari seberang sana ketika Jean dan manajernya menerima foto itu.

"Aku tidak ingat foto ini...."

"Sekarang banyak orang bisa photoshop, Jean. Apa kau benar menggunakan kacamata?" tanya manajer Jean. Jean menggeleng.

"Coba ambilkan buku itu..." ia menerima buku dari tangan manajernya dan membuka halaman demi halaman, "Aku bisa membacanya dengan baik. Aku tidak perlu kacamata..."

"Oh, Jean... tidak mungkin. Aku sahabatmu.... Kenapa kau bisa melupakanku? Kau bahkan membawaku ke Colmar dan menunjukkan makam ayahku. Kita baru pulang dari Colmar ketika tiba-tiba Famke datang dan menembakmu... Maafkan aku, kau menjadi terlibat seperti ini..."

Finland kembali menangis sesenggukan. Jean tidak ingat kepadanya... Jean sudah melupakannya...

"Apa kau bilang? Kau kenal dengan orang yang menembak Jean?" Manajer Jean sudah mengambil alih teleponnya. "Siapa namamu tadi?"

Seketika Finland tersadar ia telah bicara terlalu banyak. Ia buru-buru menutup teleponnya dan tangannya yang gemetar tidak sengaja menjatuhkan ponsel itu.

Ia tidak bisa lagi mendekati Jean seperti ini. Ia dapat diselidiki polisi terkait penembakan Jean. Di saat ia sedang hamil besar dan hampir melahirkan ia tak boleh mencari masalah... Ia tak boleh mengambil risiko.

Entah Jean melupakannya karena akibat koma, atau ramuan penghilang ingatan yang sempat diminumnya telah terlanjur bereaksi, Finland tidak tahu. Yang jelas hatinya merasa sangat sakit karena satu-satunya orang yang ditunggunya untuk sembuh ternyata telah melupakannya...

Ia meninggalkan Caspar karena perbuatannya pada Jean, dan kini Jean juga telah melupakannya... Finland kembali merasa menjadi perempuan paling malang di dunia.

Kepalanya memusing dan ia pun terkulai pingsan. Sebelum tubuhnya jatuh membentur trotoar, Finland sempat merasa sepasang tangan yang kuat menangkap pinggangnya.

***

Finland bangun di rumah sakit dengan tubuh seperti remuk. Ia melihat seseorang duduk di kursi di samping tempat tidurnya sedang membaca buku.

"Si... siapa kau?" tanyanya dengan suara lemah.

"Hei... namaku Rory." Pemuda itu meletakkan bukunya. "Bagaimana keadaanmu?"

"Badanku seperti remuk," Finland mengaku. "Kau yang menolongku?"

"Ya, benar. Kebetulan aku datang di saat yang tepat, kalau tidak kau sudah membentur trotoar dan mungkin sekarang sudah terpaksa melahirkan. Dokter bilang kau harus bedrest sampai saatnya melahirkan, kalau tidak bayimu bisa mati."

"Oh...." Finland segera ingat apa yang terjadi. Ia menelepon Jean dan ternyata Jean sudah melupakannya... Ingatan itu membuat air matanya perlahan-lahan kembali mengucur membuat Rory terkejut.

"Ada apa? Kau ingat nomor telepon kekasih atau suamimu? Aku bisa meneleponnya untukmu... Ponselmu hilang di jalan saat aku panik membawamu ke rumah sakit."

Finland tidak ingat nomor telepon Caspar ataupun Jean. Semua tersimpan di ponsel tuanya. Semua nomor kontak dan semua kenangannya ada di ponsel itu.

Ia menggeleng dengan putus asa. Bagaimana ini...? Ia tidak bisa menghubungi siapa-siapa...

"Ssshh... jangan menangis. Kau tidak boleh stress. Sebaiknya istirahat dulu. Kau ingat alamat rumahmu? Aku bisa memberi tahu orang di rumahmu tentang kondisimu." Rory mencoba menenangkan Finland.

"Aku tinggal sendiri, aku yatim piatu dan tak punya siapa-siapa..." Finland berusaha menahan tangisnya.

Rory seketika tampak tertegun.

"Kau sebatang kara?" tanyanya lirih. "Aku juga tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini."

Ia mendekat dan duduk di kaki tempat tidur dan memegang tangan Finland. Suaranya terdengar lembut sekali.

"Aku akan menolongmu. Jangan kuatir. Kau bisa meminta tolong kepadaku apa pun."

"A... aku tidak mau merepotkan orang lain..." kata Finland menolak. Tetapi air matanya tidak juga berhenti membanjir.

"Siapa namamu?" tanya Rory.

"A... aku Finland Makela..." jawab Finland.

Rory menggenggam tangan Finland dan menatap wajahnya lekat-lekat. "Finland, aku tidak percaya dengan kebetulan. Aku menyelamatkanmu di saat yang tepat. Ini pasti takdir. Aku tidak pernah bekerja setengah-setengah. Aku akan membantumu sampai kau pulih dan anakmu lahir dan kalian berdua baik-baik saja."

Finland yang tidak terbiasa menerima kebaikan dari orang asing menjadi terkesima mendengar kesungguhan dalam kata-kata Rory. Ia mulai memperhatikan pemuda itu baik-baik.

Rory tampak seusia dengan Finland dan wajahnya tampan sekali dengan rambut panjang sedagu yang dibiarkan berantakan tetapi terlihat sempurna membingkai wajahnya. Matanya memiliki dua warna berbeda tetapi tidak terlalu mencolok karena ia mengenakan kacamata, Setengah bagian matanya hijau dan setengah lagi biru. Finland belum pernah bertemu orang yang mengidap heterochromia* sebelumnya.

Sesaat ia terkesima melihat Rory, tetapi ketika ia tergugah cepat-cepat dilepaskannya tangannya dari genggaman pemuda itu.

"Aku tidak mau merepotkanmu... Terima kasih. Aku akan baik-baik saja..." kata Finland tetap berusaha menolak.

"Kau jangan egois," kata Rory kemudian. Suaranya berubah menjadi tajam. "Kau pikir dengan kau berpura-pura kuat kau akan berubah menjadi super woman yang bisa mengatasi segalanya. Aku mengerti bahwa sebagai orang yang terbiasa hidup sendiri, kita harus berusaha untuk mandiri dan tidak tergantung kepada orang, tetapi meminta pertolongan orang lain di saat kita kesulitan itu bukanlah suatu dosa. Kau harus memikirkan anakmu..."

Finland menggigit bibirnya... Ia tahu Rory benar. Di saat seperti ini ia benar-benar merasa tak berdaya dan sendirian. Alangkah indah hidupnya dulu di saat ia mempunyai Jean tempatnya mengadu, dan ada Caspar yang mencintainya... Kini Jean sudah kehilangan ingatannya, dan Finland juga tak dapat menghubungi Caspar.

"Kau benar..." Finland tertunduk. "Aku tidak kuat, aku membutuhkan bantuan... Aku tidak punya siapa-siapa..."

"Baiklah. Kau bedrest saja. Aku mau pulang dulu dan ganti baju. Mau kubawakan apa dari luar rumah sakit?"

"Aku tidak perlu apa-apa. Terima kasih. Uhmm... tolong mampir ke kantorku besok, LTX International di Financial District, tolong beri tahu kantorku kalau aku sedang di rumah sakit."

"Baiklah."

Rory berjalan keluar, tetapi sebelum ia mencapai pintu Finland memanggilnya.

"Rory..."

Rory berbalik dan bertanya, "Ada apa?"

"Terima kasih. Aku berhutang budi kepadamu."

"Tidak usah dipikirkan."

Setelah Rory pergi Finland kembali menangis.

***

Di rumah sakit di Prancis, Rosalind Marchal sedang menjenguk Jean yang baru selesai fisioterapi. Wajahnya tampak letih tetapi lega karena Jean akhirnya bangun.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rosalind sambil duduk di samping tempat tidur. "Kapan kau bisa mulai berjalan?"

"Dengan fisioterapi intensif, dokter bilang aku akan dapat kembali berjalan dalam waktu 4 minggu..." kata Jean. "Aku berharap bisa lebih cepat. Tidak enak di rumah sakit terus."

Rosalind menyerahkan sebuah tas kertas kepadanya dan Jean segera membuka isinya.

"Ini ponsel baru dan beberapa buku bacaan dari manajermu. Aku juga membawakan perlengkapan mandi dan alat cukur," kata Rosalind.

"Terima kasih, Maman." Jean tiba-tiba tertegun, ia meraba dagu dan atas bibirnya yang klimis tanpa rambut, "Aku tidak ingat ada yang mencukurku selama seminggu ini..."

"Tapi wajahmu tidak berkumis sama sekali, bekas-bekas rambut dicukur juga tidak ada..." kata Rosalind keheranan.

"Hmm... mungkin pertumbuhan rambutku menjadi melambat setelah koma..." Jean mengangkat bahu. "Terima kasih sudah membawakannya. Nanti kalau aku sudah perlu, aku akan bercukur..."

Ia membuka salah satu buku yang dibawakan ibunya dan mulai membaca.

"Kau bisa membaca tanpa kacamata?" tanya Rosalind tiba-tiba. Ia baru memperhatikan bahwa Jean sedang membaca buku dari jarak dekat tanpa kesulitan. "Matamu kan rabun dekat."

Jean terkejut sekali mendengarnya hingga bukunya terjatuh dari tangan.

"Apa Maman bilang? Aku rabun dekat...?"

"Iya, kau mulai menggunakan kaca mata tahun lalu. Kau tidak bilang kepada siapa-siapa, tapi aku tahu. Kau tidak suka pakai kacamata dan hanya memakainya untuk membaca diam-diam."

Seketika ingatan Jean melayang pada gadis yang kemarin bersikeras mengaku sebagai sahabatnya dan mengirimnya foto sedang memakai kacamata. Hatinya menjadi terusik.

"Maman... apakah aku mempunyai seorang sahabat di Singapura?" tanyanya lirih.

Rosalind mengangguk. "Iya, namanya Finland. Kau bahkan membawanya ke rumah Maman untuk makan malam sebelum kalian ke Colmar."

Kepala Jean seakan memusing. Ia buru-buru mengangkat teleponnya dan menelepon manajernya.

Lagi bingung antara nama 'Rory' atau 'Riel' untuk tokoh baru ini. Kalian lebih suka yang mana?

Missrealitybitescreators' thoughts