Lea terbungkam. Masih dengan air mata yang turun deras.
"Aku tau, agama mu bukan agama yang mengajarkan umatnya pendendam. Bukankah semua agama mengajarkan seperti itu? Kau juga mengimani agamamu dengan baik juga bukan? Lantas, mengapa kau tidak mau dengan lapang dada memafkan seseorang? Tuhan saja sangat mudah memafaakan dosa para hambanya sebesar apapun itu. Lantas apa daya kita yang hanyalah manusia biasa, tempat nya salah dan dosa." tutur Tiya dengan lembut.
"Aku tau Lea, wanita itu memang pemaaf, tapi bukan pelupa. Jika memaafkan bisa menyembuhkan luka, lalu mengapa tidak kau coba?" lanjut Tiya dengan nada lembutnya.
Setelah beberapa saat diam dan menangis meresapi setiap ucapan yang di ucapjan oleh Tiya, Lea akhirnya mengangguk secara perlahan.
"Ya, kau benar Tiya. walaupun pria itu mungkin memiliki kesalahan padaku, tak sepantasnya aku membencinya terlalu berlebihan seperti ini, aku dan dengannya sama saja, sama sama tempatnya salah dan dosa, jadi tak sepatutnya aku tak memaafkan nya. Dengan nama tuhanku, Allah SWT aku memaafkan tuan Deril. Aku tidak akan dendam lagi dengannya. Lagi pula, aku pun tidak tau alasan kenapa tuan Deril melakukan itu semua padaku," ucap Lea dengan senyum yang terukir di bibirnya, sembari mengengam tangan Tiya yang berada di bahu kanan nya.
Tangan Lea mulai memberanikan diri menyentuh tangan Deril yang terasa dingin, dan mengegamnya dengan erat.
"Aku minta maaf, jika memang aku lah yang membuatmu seperti ini. Alex dan Tiya mengatakan jika selama aku koma, kau lah yang menjagaku. Kau yang selalu mendampingiku, bahkan kau sampai ikut koma seperti ini. Ku ucapkan terima kasih padamu."
Lea menghampiri rambut Deril yang acak acak an tak terawat, dan mengusapnya secara perlahan.
"Tenanglah, aku akan menjagamu. Walau ku tau kau pria menakutkan yang seharusnya aku hindari, tapi-"
"Kau pun berjasa dalam hidupku. Jika saja ibu tiriku menjualku kepada pria lain yang lebih kejam dan menakutkan, entah apa yang akan terjadi pada diriku saat ini."
"Pasti sangat menyakitkan mendapatkan banyak luka tembak. Secara aku saja yang hanya mendapatkan satu tembakan di perut saja itu sangat sakit. Apa lagi kau?" sembari tetap mengusap dan memandang wajah pucat milik Deril.
"Aku akan tetap disini untuk menjagamu, karena ketika aku koma, kau selalu menjagaku dan menemaniku, tapi bersama Tiya. Agar tidak menimbulkan dosa yang pernah kukatakan tempo hari padamu," ucap Lea di dampingi kekehan kecil.
Tiya dan Lea sama sama terkekeh. Hingga suara lengkuhan kecil terdengar dari arah Deril.
"Engghh ..."
Lea menatap Deril terkejut.
"K-kau ... S-sudah ... sadar?" ucap Deril yang sedikit terbata bata dan juga terdengar kurang jelas karena terhalang oleh alat oksigen.
Lea mulai meniti kan air mata saat tangan Deril membalas gengaman tangan Lea.
Lengguhan kembari terdengar dari mulut Deril.
"Apa terasa sakit? Dimana?" rasa khawatir Lea justru mengundang kekehan kecil dari Deril.
"Apa?" tanya Lea polos.
"Kau mengemaskan baby." gumam Deril.
"Jangan panggil aku seperti itu, aku merasa geli mendengar kalimat itu." dengan menampilkan ekspresi datar Lea, yang di sambut kekehan kecil oleh Deril.
"Akan saya panggilkan dokter tuan," pamit Tiya. Karena ia tau mereka berdua butuh waktu untuk berbicara.
"Kau seperti ini pasti karenaku. Alex dan Exhel pun menjelaskan itu padaku."
"Benarkah? Mereka sepertinya ingin merasakan bagaimana terbaring di sini."
"Hah ... sudah lah, jangan terlalu banyak bicara. Luka jahitanmu belum kering." elak Lea.
"Kau cerewet baby ..." goda Deril.
"Deril!" sentak Lea sembari memanyunkan bibirnya dan juga mengembungkan pipinya.
Dan itu semua tak membuat Deril merasa bersalah, namun ia malah di buat gemas olehnya.
Lama Deril tak memperhatikan Lea yang mengenakan hijab hitam, dan kini Lea nampak begitu lebih bersinar, sedangkan Lea yang merasa di perhatikanpun menjadi salah tingkah.
"A-ada yang salahkah denganku?"
"Sepertinya kau sekarang sudah tak phobia lagi denganku?"
"Kau sebenarnya bukan sesuatu yang menakutkan hingga menjadi objek untuk phobia, Deril."
"Tiya mengatakan berkali kali jika aku wanita pertama yang spesial untukmu, Tiya juga mengatakan bahwa kau mulai menyangiku. Jadi maka dari itu mana mungkin kau akan menyakitiku? Padahal jika di ibaratkan, aku ini hanyalah barang yang kau beli bukan? Kau seperti ini hanya karena barangmu, jadi sudah sepatutnya kau menjaganya dan merawatnya, iya kan? Tolong lah, jelaskan itu semua kepada Tiya, agar dia percaya."
Deril yang mendengar itu menggelengkan kepalanya pelan dengan di sertai wajah yang seketika menjadi datar.
"Haruskah kau selalu berfikir negatif tentangku? aku tak akan melakukan itu jika seseorang itu tak mengusik kehidupanku."
"Ya, memang awal mulanya aku membelimu hanya untuk kujadikan wanita tidurku. Namun, entah mengapa aku melihatmu itu berbeda. Kau terkesan sedikit aneh di mataku, namun sekarang aku tau keanehanmu itu untuk melindungimu dan karena agamamu," Jelas Deril.
"Jadi, bagaimana menurut mu jika pria tua sepertiku, yang penuh dengan hal gelap ini benar benar jatuh cinta kepada gadis polos yang memegang teguh agamanya sepertimu?"
Lea seketika diam dan mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Deril.
"Apa kau mau mendampingi pria yang menuju kehidupan yang penuh dengan kebaikan, kebenaran yang sebenarnya, dan selamanya?"
"Apakah kau mau menjadi satu satunya komitmen yang harus ku jaga dan ku lindungi?"
"M-maksudmu?" tanya Lea bingung. Entah kenapa mendengar ucapan Deril saat ini seketika membuat otaknya Lemot.
"Adelea Fajrin Elvara mau kah kau gadis berhijab yang polos dan cantik ini menjadi istriku?"
"Adelea Fajrin Elvara mau kah kau gadis berhijab yang polos dan cantik ini menjadi istriku?"
Lea lagi lagi terdiam sesaat. "Kau ... Overdosis obat bius kah?"
Tanya Lea ragu.
Deril menaikkan tinggi kepala brankarnya dan pria itu kini sedikit meringis kesakitan. Lalu melepas selang oksigen yang ia kenakan. Lea sedikit terkejut dengan kelakuan Deril.
"Apa kau mengajak ku bercanda? Aku sedang melamarmu dan saat ini kau tidak sadar? Jika aku sungguh terlihat konyol dan bodoh di depan wanita, lagi lagi wanita itu adalah diri mu."
Lea menghembuskan nafasnya dan mengangguk faham.
"Maafkan aku yang selalu membuatmu terlihat bodoh," gumam Lea sembari menindukkan kepalanya.
"Aku tidak ingin mendengarkan kata atau kalimat bahwa kau menolak ku. Entah kau telah mencintai ku atau belum, aku akan menikahimu. Itu bersifat pasti ataupun memaksa, jika tidak begitu anggap saja itu adalah sebuah perintah, karena aku T.u.a.n mu," ucap deril sembari menekan kata Tuan.
"Sebenarnya, aku akan menikah dengan siapa, itu bukan masalah bagiku. Intinya, siapa yang ingin melamar ku untuk menjadi kan aku sebagai istrinya dia harus seiman dengan ku. Aku tidak ingin memiliki suami beda keyakinan dengan ku apalagi ... Ekhem,"
"Ya, aku paham. Aku awalnya memang tak percaya tuhan. Tapi kini aku sadar, saat kau sekarat aku benar benar tidak tau harus minta tolong kepada siapa selain Tuhan. Aku menyadari bahwa selama ini aku pun hanya manusia lemah. Jadi, aku akan masuk islam." tutur Deril dengan lugas.
"Jangan masuk islam hanya karena kau akan menikahi-"
"Tidak!" sahut Deril cepat.
Lea mengerutkan keningnya.
"Aku akan menjadi mualaf karena kesadaran diri. Bukan karena cinta atau hanya masalah wanita. Aku mendapatkan ini dari dalam hati dan pikiranku."