Alex masuk ke dalam ruang perawatan Lea. Ada Tiya dan juga dokter Nina yang tengah makan malam disana.
"Ah, kau sudah makan malam?, suruh anak buahmu untuk mengisi perut terlebih dahulu." ucap Tiya sembari memberikan cup teh hangat pada Alex.
"Tuan tertembak saat menghadiri pertemuan di Madrid." ucap Alex to the point sembari menerima teh yang di ulurkan oleh Tiya.
Tiya dan juga dokter Nina yang mendengar itu sama sama terdiam untuk mencerna ucapan Alex.
"Apa? Siapa yang tertembak?" tanya dokter Nina sembari mencerna ucapan Alex.
"Tuan Deril, dia tertembak di Madrid saat akan menghadiri pertemuan yang ternyata itu semua hanyalah jebakan." Tiya yang mendengar itu terkekeh garing.
"Tuan Deril sudah biasa menghadapi itu bukan? dia kuat bukan? Jadi, tak perlu terlalu di khawatirkan." ucap Tiya enteng, karena menurutnya Deril sudah biasa tertembak.
"Masalahnya bukan itu Tiya. Dia memaksakan diri untuk di operasi di sini. Padahal jaraknya antara ke dua kota itu memakan waktu yang kurang lebih 4 jam, sedangkan tuan Deril mendapatkan 3 luka tembak."
Dokter Nina yang mendengar itu langsung bangkit.
"Dengan tanpa pertolongan pertama tuan Deril akan terancam bahaya."
"Dasar pria keras kepala selalu saja seperti itu, tak bisakah ia tanpa membuat semua orang merasa Khawatir?" geram Tiya.
Tanpa mereka sadari, perlahan lahan jari telunjuk Lea bergerak. Lalu beberapa saat kemudian, perlahan lahan kedua kelopak mata Lea juga terbuka. Lea mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam indra pengelihatannya itu, dengan pandangan yang sedikit kabur yang Lea rasakan saat ini.
Hingga dokter Nina yang pertama kali menyadari bahwa Lea telah sadar dari komanya.
"Astaga! Nona?!" ucap Dokter Nina antusias.
Semua mendekati brankar yang Lea kenakan.
Dokter Nina segera mengecek seluruh tubuh Lea. Setelah di nyatakan stabil, semua orang yang ada di ruangan mengucap syukur.
"Syukurlah, kau telah melewati masa kritismu nona," ucap dokter Nina.
Dengan mata sayu, Lea membentuk senyuman tipis di bibir pucat miliknya.
"Kau membuat seisi rumah khawatir," gurau Tiya.
"Maafkan aku," gumam Lea dengan suara lemahnya.
"Semua alat ini akan di lepas sebentar lagi, jadi tahan sebentar, Oke?" ucap dokter Nina.
Lea menjawab melalui kedipan mata.
***
Pagi hari, semua alat yang menempel di tubuh Lea telah di lepas, kecuali infus yang ada di tangan kanannya. Tubuhnya masih lemas dan rasa sakit di luka jahitan masih terasa sesaat setelah Lea benar benar sadar semalam. Tiya kini tengah menyuapi Lea sarapan pagi menggunakan bubur.
"Walaupun kau sakit, kau tetap menjaga hijabmu, aku bangga padamu." Lea yang mendengar itu terkekeh malu dan mengulas senyum tipis.
Tiba tiba Alex datang dengan membawa kursi roda.
"Nona."
"Ya?"
"Kau belum mengetahui jika tuan Deril berada di rumah sakit ini bukan?"
Lea terdiam, menatap Tiya dan Alex secara bergantian.
Alex yang paham akan kebingungan mengenai ucapannya pun berusaha untuk menjelaskannya. "Tuan Deril tertembak oleh komplotan orang yang melakukan kudeta terhadap dirinya."
"Tapi, dia yang menembak ku, lalu kenapa dia juga di operasi karena luka tembak? Apakah mama tiriku yang melakukannya?"
Alex menggeleng. "Mama tiri anda telah mati seketika di tangan tuan Deril sendiri. Ini semua lain cerita lagi."
"Lalu aku harus apa? Dan ... Apa hubungannya denganku?"
Lea nampak acuh, acuh dalam artian Lea waspada, siapa tau ia akan kembali di tembak atau bahkan di bunuh secara kejam. Takdir tidak ada yang tau bukan?
"Asal kau tau nona, selama kau tak sadarkan diri tuan Deril selalu menjagamu. Memang kemarin dia tidak menjagamu dan karena saat ini lah dia sekarat. Bahkan Exhel menjadi sasaran emosi tuan Deril karena dia mengingatkannya,pasal tuan Deril menagisimu selama kau koma nona." tutur Alex.
"Lalu kau salahkan aku karena tuanmu sekarat?! KAU JUGA HARUS TAU, BAHWA DIA JUGA BERUSAHA MEMBUNUHKU!" sulut Lea emosi. Dan dengan sigap Tiya langsung memeluk Lea untuk menenangkannya.
"Tenangkanlah dirimu Lea, luka jahitanmu masih basah. Berbahaya jika kau seperti itu."
Kini Lea mulai menangis, mungkin hanya ini yang Lea bisa. Lea tak menduga ternyata Deril lebih kejam di banding ekspetasinya.
"Tapi aku kira kau salah. Bisa saja saat ini tuan Deril mungkin mulai menyagangimu," ucap Tiya.
"Itu konyol Tiya," sahut Alex.
"Perhatikan saja. Apa tuan pernah melakukan semua ini kepada wanita lain? Hanya Lea yang mendapatkan itu."
Tiya masih berusaha menenangkan Lea. "Keluar. Biar aku yang tangani ini." usir Tiya pada Alex.
Alex mengangguk dan berlalu pergi.
"Hiks! Dia mencoba membunuhku, padahal sebisa mungkin aku tidak membantah perkataannya ..." ucap Lea lemah.
"Ssttt, hey. Menurutku, tuan pasti memiliki alasan dia melakukan itu. Pasti ada sesuatu yang membuat tuan tega untuk menembak mu. Tapi kau tau? Tuan Deril mati matian membawa kau dari daerah terpencil itu menuju rumah sakit. Dan juga menutupi luka di tubuhmu agar kau tidak mati kehabisan darah."
"Tuan Deril tidak pernah melakukan seperti itu kepada siapapun. Jika tuan Deril benar benar ingin membunuh seseorang, maka ia akan membunuh orang itu tanpa ampun, dan tak akan mengantarkannya ke rumah sakit. Tapi lihatlah, jika ia benar benar ingin membunuhmu, untuk apa dia membawamu kerumah sakit, dan berusaha untuk menyelamatkan nyawamu?" tutur Tiya dengan di iringi kekehan kecil.
"Apakah itu masih kurang untuk mengartikan bahwa tuan Deril benar benar mulai menyayangimu?"
Lea yang mendengar itu hanya bisa terdiam dan mencerna setiap ucapan Tiya.
***
Dengan menggunakan kursi roda, Tiya mengantarkan Lea menuju ruang perawatan Deril.
Ruangan Deril do khususkan di lantai yang sama dengan Lea. Tiya berhasil membujuk Lea agar mau hanya sekedar menjenguk Deril. Lea tidak benci dengan Deril maupun para anak buahnya. Tapi Lea juga trauma dengan kejadian baru baru ini tempo minggu ini.
Tiya membawa Lea masuk ke dalam ruangan Deril. Banyak pria yang berpakaian serba hitam berjejer di depan ruangan Deril.
Lea dapat melihat pria yang biasanya memiliki wibawa tinggi dengan wajah yang selalu garang. Kini berbeda, Deril terbaring lemah dan juga wajahnya pucat sayu.
"Tuan Deril sempat kehilangan denyut nadinya." ucap Tiya sembari menatap sayu Tuannya yang tengah terbaring lemah tak berdaya.
Lea mendongak ke atas melihat wajah Tiya saat wanita paruh baya itu mengatakan kalimat itu.
"Namun, beruntung mereka berhasil menyelamatkannya." lanjut Tiya sembari tersenyum simpul.
"Dia seperti itu karenamu. Karena kau wanita yang sepesial di matanya."
"Tidak! dia hanya menganggapku sebagai barangnya. Karena memang itu Kenyataannya dan aku tidak ingin berharap lebih," ucap datar Lea dengan mata yang terus memperhatikan wajah Deril.
Tiya mendorong kursi roda Lea untuk lebih mendekat ke brankar yang di tempati oleh Deril.
"Apakah semua cerita yang ku ceritakan padamu tidak bisa membuatmu berhenti untuk takut atau benci terhadap tuan Deril?"
"Kenapa kau seolah olah memaksaku, Tiya! Dia menakutkan, pria ini psikopat, pria ini membuatku gila karena ketakutan." ucap Lea meluapkan perasaan yang Lea rasakan selama bersama Deril, di iringi dengan bulir bulir air mata yang jatuh dari pelupuk mata nya.
"Karena selama ini hidup tuan Deril tidak berwarna. Hanya dengan kehadiranmu, yang membuat tuan Deril tak sekejam sekarang. yah, walaupun mungkin pertemuan kalian di awal kurang mengenakkan. Tapi, cobalah lihat! Dia seperti ini karena dia melindungimu."
"Lalu, kenapa lagi lagi seolah disini aku yang salah?! Dia yang telah menembak ku, lalu dia bertanggung jawab dengan membawaku ke rumah sakit, memang sudah sepatutnya dia seperti itu, bukan?" kekeh Lea.
"Bukankah Alex telah menceritakan semuanya padamu? Maafkan lah tuan Deril sebagai mana agama mu mengajarkan nya."