webnovel

PERTEMUAN DENGAN DESIGNER GUNAWAN

-POV REZA-

Siang ini, saya keluar kantor, setelah berpamitan pada Nayla di dapur. Ya, meski pun semula saya sangat ingin bisa makan siang berdua dengannya. Tetapi, tidak jadi pun tak mengapa. Sayang kalau bekal yang sudah dibawa Nayla jadi tak termakan.

Sehabis makan siang, saya mencoba menghubungi Designer Gunawan. Tetapi, tidak diangkat.

Mungkin dia sangat sibuk sekali.

Saya akan langsung saja ke kantornya. Siapa tahu, dia sedang di sana? Jika pun tidak, saya bisa buat janji temu dengan dia.

Ketika sampai, ternyata dia memang tidak berada di tempat. Sekretarisnya mencoba menghubungi manager Gunawan, diangkat. Dan saya sempat berbicara dengan sang manager. Dia berkata akan coba tanyakan pada Gunawan, kapan bisa bertemu.

Saya menunggu beberapa saat di ruang tamu. Tak lama kemudian, sekretaris tadi kembali memberikan telepon kepada saya.

"Hallo Bapak Reza, ini saya Gunawan."

Wah, saya langsung bisa berbicara dengan Gunawan.

"Oh iya Bapak Gunawan. Saya sangat tersanjung sekali bisa langsung berbicara dengan anda."

Ini bukan basa-basi, tetapi adab berbicara dengan orang sesukses dia. Setidaknya, dia juga akan merasa nyaman untuk mau meluangkan waktu berbicara lebih panjang dengan saya.

"Ah, jangan berlebihan begitu. Oh iya, saya punya waktu besok malam. Kebetulan Mama saya berulang tahun. Saya rasa tidak masalah jika kita bertemu di acara tersebut. Ada room meetingnya nanti."

Saya tahu, selevel orang sesibuk dia, pasti akan susah sekali meluangkan waktu. Saya berharap nanti akan dimudahkan untuk urusan selanjutnya, sebelum bulan ini berakhir, dan jadwal terbit majalah kami pun tiba.

"Ah, tidak masalah Pak Gunawan, saya akan sangat merasa istimewa, jika bisa hadir menjadi salah satu undangan di acara ulang tahun Mama Pak Gunawan."

Gunawan terdengar tertawa. Dia ramah sekali aslinya. Hanya terkendala waktu saja, sehingga membuat dia seolah-olah susah sekali untuk ditemui, pun dihubungi.

"Baiklah, Pak Reza. Saya akan kirim undangan resminya ke kantor Bapak. Bisa tolong tinggalkan kartu nama pada sekretaris saya. Nanti saya akan ke kantor untuk mengambilnya."

Senang sekali rasanya mendengar jawaban dari Gunawan ini.

"Oh, baik, Pak. Segera akan saya tinggalkan. Terima kasih banyak atas waktunya Pak Gunawan."

Dia menyahut dengan sangat ramah diseberang sana, sebelum memutus sambungan telepon.

Saya lalu menuju meja sekretarisnya, kemudian menyerahkan kembali telepon itu, dan meninggalkan kartu nama di sana.

***

***

Urusan dengan Gunawan, bisa dikatakan hampir lancar. Mudah-mudahan setelah membuat janji dengannya, tak ada kendala berarti.

Tinggal mengontak Soraya lagi. Setidaknya meski belum menentukan kapan jadwal pemotretan pasti, yang sebenarnya mepet sekali. Saya sudah memberikan aba-aba agar dia bisa meluangkan waktu dalam minggu depan.

Saya harus bisa menentukan sikap untuk sebuah keputusan penting. Tidak boleh memberikan sesuatu yang tak pasti. Apalagi ini berhubungan dengan mereka-mereka yang terkenal sangat sibuk.

Supermodel seperti Soraya ini, juga waktunya sangat terbatas. Hah! Entah kenapa, Ketua Grup DA menjebak saya seperti ini. Padahal, tak perlu harus Soraya, yang hanya ingin menggunakan design Gunawan untuk pemotretannya.

Terlalu selektif model satu ini. Tapi, apa ini hanya akal-akalan saja. Saya pernah melihat Soraya melakukan pemotretan pada Sejagad Magazine, dan designer yang mereka gunakan, bukan Gunawan.

Saya sudah menekan tombol untuk menghubunginya.

Dan tak lama Soraya mengangkat.

"Hallo, Tuan Reza."

Dia masiih saja menggunakan lelucon ini.

"Hallo Nona Soraya. Apa anda sedang sibuk?"

Tak mengapa ikuti saja.

Soraya terdengar tertawa ringan.

"Untuk Tuan Reza, saya takkan pernah bisa sibuk."

Ah, benar-benar basa-basi sekali.

"Saya menghubungi bermaksud hendak mengabari mengenai pemotretan yang pernah kita bicarakan beberapa hari lalu."

"Oh iya, bagaimana kelanjutannya, Tuan?"

Saya ternyata risih dipanggil begitu.

"Maaf Nona Soraya, sebaiknya anda memanggil saya Reza saja. Terdengar terlalu berlebihan begitu rasanya."

Soraya kembali tertawa.

"Kalau begitu, kamu juga manggil Soraya aja deh."

Saya menghela nafas.

"Baiklah, Soraya."

"Aku biasa dipanggil Aya. Kamu bisa manggil gitu juga kok, kalo susah banget nyebut Soraya, kepanjangan."

Dia kembali tertawa.

"Baiklah, Aya. Saya langsung saja. Saya sudah membuat janji bertemu dengan Designer Gunawan, dan saya sudah merencakan jadwal pemotretan memakai design beliau di dalam minggu besok. Apa kamu bisa menyisakan waktu untuk itu?"

"Pastinya kapan?"

Saya bingung menjawab ini. Namun, jika pertemuan besok berhasil. Lusa harus sudah ada pemotretan.

"Lusa, kita akan adakan pemotretan hari itu. Kamu bisa datang pukul sembilan pagi, Ya. Saya akan siapkan segera perjanjian kerja sama kita."

"Kita…?"

Dan Soraya kembali terdengar tertawa.

Apa ada yang salah dengan kata-kata itu?

"Iya, kita, antara kamu dan perusahaan yang saya wakili. Apa ada yang salah dengan itu, Ya?"

Saya sungguh agak risih dengan pembawaan Soraya yang cenderung seolah menganggap apa yang saya katakan itu lelucon, atau membuat seakan saya ini hanyalah sebuah bahan bercandaan.

Ini adalah saat paling genting untuk saya, dan Nabastala. Saya sangat tidak ingin melewatkan tantangan yang diberikan DA grup secara tidak langsung pada saya.

Meski sampai detik ini, saya belum bicara serius dengan Papa, pun juga belum jadi mengunjungi serta berkenalan dengan rekan-rekan kerjanya.

"Hmm, nggak, Za. Aku tadi cuma bercanda aja kok. Oke deh, lusa aku ke kantor kamu."

Saya tak berniat untuk memperpanjang pembicaraan. Rasanya sudah cukup.

"Baiklah…"

"Hm.. Za.."

Kami jadi berbicara hampir bersamaan. Saya akan persilahkan saja dia untuk menyampaikan sesuatu terlebih dahulu.

"Silahkan, Soraya. Ladies first."

Tetapi, Soraya tak langsung bicara. Ia seolah sedang merancang beberapa kata, yang akan di sampaikan pada saya. Ini hanya menurut analisa saya saja.

"Apa tidak ada pertemuan secara pribadi dulu, sebelum memulai project bareng?"

Agresif juga perempuan ini. Saya rasanya sangat sibuk sekali untuk meluangkan waktu agar dapat melakukan sebuah pertemuan pribadi.

"Atau kamu butuh partner nggak, buat ketemu Designer Gunawan, Aku bisa lho memperlancar urusan dengan dia. Kamu tau kan, dia juga sangat senang kalo designnya aku yang pake."

Rasanya ini bisa saya atasi sendiri. Lagi pula saya tipikal orang yang tak suka berhutang budi dengan orang lain, apalagi orang yang seolah-olah ada udang dibalik batu.

"Oh saya rasa tidak perlu, Ya. Ini urusan Nabastala dengan Designer Gunawan, kamu hanya perlu menunggu saja, jadwal selanjutnya dari kami."

Saya harus menghentikan segera rencana-rencana yang sedang dipikirkan oleh Soraya, agar bisa lebih dekat dengan saya.

Saya pun harus membuat batasan, agar tidak kebablasan dengan dia. Nanti Nayla bisa cemburu, atau saya akan kehilangan kepercayaan dari dia.

"Kamu yakin, Za?"

Ah entah apa yang dia maksud dengan pertanyaan ini. Namun, untuk apapun, saya akan bilang bahwa…

"Saya yakin, Ya. Serahkan semuanya pada saya. Terima kasih atas kepedulian dan tawaran bantuanmu tadi."

Soraya terdengar menghela nafas.

"Baiklah kalau begitu. Sepertinya aku ada urusan lain. Udahan dulu ya, Za. Bye."

Syukurlah, dia menyudahi sendiri pembicaraan ini.

"Oke Soraya. Saya harap kamu bisa memaklumi."

Dan tidak ada lagi yang ia jawab. Telepon itu segera saja dimatikan.

***

***

Hallo semua...

Maafkeun ya, udah up cerita ini cuma dua kali seminggu. Insya Allah, mulai hari ni, aku upnya tiap harinya. Semoga tetap setia menanti sebuah jawaban...

da_pinkcreators' thoughts
Next chapter