webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Teen
Not enough ratings
295 Chs

MENDAPAT HUKUMAN

-POV Reza-

Ovhie lantas keluar. Ia seperti ketakutan saja.

"Apa yang telah dia katakan?" tanya saya pada Nayla. Tapi, gadis itu tidak menjawab. Ia malah terus menunduk.

Tak lama, saya mendengar pintu dapur kembali dibuka. Ternyata Beni. Saya menoleh dan memintanya untuk segera membuatkan minum untuk dua rentenir di depan.

"Tapi, 'kan kerjaan bikin minum, tanggung jawab Nayla, Pak."

Berani sekali Beni membantah saya. Tapi, ia seketika menciut saat saya berikan tatapan tajam ini. Ya, mata saya memang cenderung memiliki sorot yang tajam. Dalam keadaan biasa saja, sudah mampu membuat orang-orang merasa menciut membalas tatapan ini.

"Ba -baik, Pak."

Beni lantas menunduk dan segera menyiapkan dua gelas minuman.

"Kamu di sini saja, jangan keluar dulu, ya. Saya akan selesaikan masalah dengan mereka."

Saya setengah berbisik bicara pada Nayla, seperti komunikasi pasangan pengantin baru. Tetapi, Nayla tidak menggubris. Ia bergeming saja.

Saya lalu memegang lengannya. Kemudian menuntunnya untuk duduk di kursi dapur, yang spesial saya pesan untuk dirinya, yang sehari-hari bekerja di dapur.

"Ya sudah nanti kita bicara lagi. Kamu tetap tenang ya."

Hampir saja bibir ini mendarat lagi di keningnya entah kenapa, sudah menjadi candu saja rasanya.

Saya lalu keluar dari dapur, dan menuju pustaka, di sana Chika berada. Dia yang dipercaya memegang keuangan kantor. Laporannya sangat rapi sekali, terkait apa saja.

"Pagi, Mbak Chika."

Saya sadar, saya harus menghargainya sebagai orang yang lebih tua.

Chika terkejut mendapati kedatangan saya yang tiba-tiba. Terakhir, hubungan saya dan dia memang kurang membaik, karena dia telah berani membuat Nayla saya menangis.

"Ya. Ada apa, Pak Reza?"

Saya lalu duduk di hadapannya.

"Begini, Mbak. Saya butuh uang tunai sekitar tujuh belas juta, hari ini. Masukkan ke dalam daftar tagihan saya. Saat gajian nanti, langsung saja tarik semuanya."

Saya lihat Chika tampak terkejut. Tapi, entah karena apa, saya juga tidak tahu.

"Kenapa Pak Reza tidak langsung minta Pak Dendra aja?"

Saya cukup terkejut mendengar pertanyaan ini. Sungguh, terkejut sekali. Bisa-bisanya dia menyarankan sesuatu yang tidak ingin saya lakukan.

"Begini, Mbak Chika. Saya di sini statusnya adalah seorang CEO. Dan Nabastala ini didirikan oleh Bapak Dendra, adalah mutlak untuk saya. Jadi, sebagai bawahan, seharusnya Mbak Chika menuruti saja apa yang saya minta. Toh, ini adalah perusahaan saya juga. Kalau rugi, saya juga yang akan menanggungnya."

Saya risih, sungguh. Walau pun dia adalah karyawan terlama dan terpercaya di sini. Bahkan, Chika juga merupakan anak Bapak Herman, Direksi Kepatuhan DA group, tapi, ia tidak layak menjawab saya seperti itu.

"Oh, maaf, Pak. Tetapi, keuangan Nabastala, masih harus terus dilaporkan kepada DA group, karena kita belum resmi split off dari DA. Saya takut, nanti kena masalah, saat melaporkan mengenai dana Nabastala, yang keluar sebanyak ini. Sebab, kita juga butuh untuk menyiasati produksi terakhir di bulan ini."

Ia masih berargumen dengan saya. Saya paham apa yang dia maksud dan khawatirkan.

"Baiklah, begini saja. Buat keterangan di sana, hutang saya. Nanti, biar saya yang akan menjelaskan pada Direksi Keuangan DA, nantinya."

Saya kehabisan akal, yang terpikir saat ini adalah hal yang baru terucap.

Chika masih terlihat agak ragu, sebelum akhirnya, ia membuka brankas, dan memberikan kepada saya sejumlah uang yang tadi diminta.

"Terima kasih."

Dengan langkah gamang, saya pun keluar. Saya harap, tindakan saya ini, tidak akan berdampak buruk ke depannya.

Saya segera menyusul dua orang itu di depan.

"Maaf, lama."

Mereka tampak gusar menanti saya. Namun, ketika melihat sebuah kantong coklat di tangan saya, mereka berubah semringah.

"Nah, gini dong. Duit."

Mereka tertawa besar saat saya angsurkan bungkusan uang itu pada mereka.

"Makasih ya, Bos."

Tanpa dikeluarkan atau bahkan dihitung, mereka langsung berdiri, meninggalkan minuman yang masih tersisa.

"Hei, tolong tunggu sebentar."

Saya berdiri, dan memanggil mereka. Tapi, mereka tidak mendengar. Petugas keamanan pun juga tidak ingin memanggilkan mereka. Mungkin karena bau yang ditimbulkan ini, begitu menyesakkan dada.

Saya benci sesuatu yang mubazir seperti ini. Tetapi, mau bagaimana lagi.

Sedetik kemudian, saya teringat mobil yang masih berada di bawah. Ini sudah sangat lama. Apa yang akan terjadi di bawah sana?

Saya segera berlari keluar, turun melewati lift. Lantas kembali berlari sekencang mungkin hingga jalanan, yang sudah mulai lancar terkendali.

Di mana mobil saya?

Ha?

Saya mencari-cari ke sekitar lokasi, tidak juga menemukan. Bagaimana ini?

Saya lantas mengeluarkan kunci, dan memencet remotenya, juga tak bisa terdeteksi di mana mobil itu berada.

Tak lama, ponsel saya berdering.

Dari Papa.

Apa lagi ini?

"Kau memang selalu membuat onar. Segera datang ke ruangan Papa!"

Saya menarik nafas dalam. Sudah tidak salah lagi, ini pasti terkait mobil itu. Dengan langkah gontai saya berjalan menuju kembali ke gedung kantor.

Saat memasuki kantor DA Group. Banyak yang menyapa saya, tapi, tak begitu saya tanggapi, tulang belulang ini sedang letih. Rambut juga sudah acak kadut, karena berlari hilir mudik.

Masuk ke dalam ruangan Ketua Group, jantung ini seakan tidak terkendali. Saya tetap berjalan masuk, setelah pintu dibukakan oleh penjaga keamanan, yang berjaga di luar ruangan. Langkah gontai ini, mungkin akan membuat Papa semakin muak melihat saya. Tapi, apa boleh buat. Saya adalah anaknya, meski dibesarkan untuk mematuhi segala keinginannya.

Saya memilih untuk berdiri saja di depan meja kebesaran itu.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya, Reza? Kau ingin hancurkan popularitas Papa? Kau ingin semua lawan bisnis Papa bertepuk tangan atas kelakukan bodohmu itu? Kau kembali menjadi sorotan. Apa-apaan itu? Seolah tidak punya otak, meninggalkan mobil di saat jalanan sedang dipadati kendaraan seperti itu?"

Saya hanya menundukkan pandangan, sambil berdiri tegap di hadapannya.

"Atau kau mau membunuh Papa pelan-pelan? Tugasmu hanya menjalankan semua ini, semua yang sudah susah payah Papa raih, membesarkannya hingga seperti sekarang. Kau hanya perlu menuruti apa yang Papa perintahkan, semua sudah diatur untuk kebaikanmu, kemajuan kita. Tapi, kenapa, belum cukup satu bulan kamu di sini, semua seolah sudah kacau balau saja?"

Saya menahan nafas mendengar bentakkannya tersebut.

"Katakan, apa yang kau inginkan sebenarnya?"

Pertanyaan itu memaksa mata saya menatapnya, sebentar saja. Lantas saya turunkan lagi.

"Tidak ada, Pa."

"Lalu kenapa, kau berbuat seperti ini?"

Saya tidak lagi menjawab.

"Pergilah, kemasi pakaianmu, kau akan berlibur selama satu minggu, di Pulau Mentawai."

Mentawai?

"Tiket perjalanan sudah siap. Silahkan nikmati masa cutimu di sana."

Papa lantas menyuruh saya keluar, setelah memberikan sebuah amplop berisi tiket pesawat, dan bukti booking cottage di sana.

Kenapa harus Pulau Mentawai? Apa ia sengaja ingin membuang saya ke sana!

***

***