-POV REZA-
Saya menutup rapat perdana ini setelah menyampaikan empat aturan yang harus diikuti oleh seluruh karyawan Nabastala.
"Saudari Ovhie, saya tunggu anda di ruangan."
Ucap saya sebelum keluar ruangan.
Saya tidak melihat reaksinya, dan tidak pula peduli.
Saat masuk ke dalam ruangan CEO. Sudah ada satu cangkir kopi di atas meja.
Ya, saya memang membutuhkan ini. Semalaman tidak bisa tidur nyenyak. Otak ini bekerja menyusun strategi kepemimpinan di perusahaan yang saya pimpin. Rancangan untuk mengubah life style mereka dalam bekerja, sudah terpikir sejak sidak pertama sore itu.
Alhasil, mata saya jadi sangat mengantuk. Tidak ada kesempatan untuk tidur, sejak dahulu saya sudah menetapkan prinsip, jika waktu adalah uang. Jadi satu detik saja terlewati untuk hal-hal yang tidak penting, rasanya sungguh merugi.
Saya menyesap kopi itu.
Seketika mata nyalang. Sangat enak, untuk ukuran kopi hitam biasa.
Baru akan menyesap yang kedua kali, pintu ruangan diketuk. Layer kaca selalu saya gunakan yang nomor satu, jika ada yang berkunjung ke dalam ruangan.
"Permisi, Pak."
Saya mengangguk, Ovhie sudah masuk dan duduk di hadapan saya.
Matanya kini tak lagi tampak kosong, tapi menatap saya lekat.
"Sebelum kedatangan saya, apa yang sudah dipersiapkan untuk penerbitan ke dua bulan ini?"
Ovhie sempat tersentak, matanya mengedip, lalu meletakkan agenda yang ia bawa di atas meja.
Ia membacakan satu per satu, tapi tidak ada agenda pemotretan untuk design terbaru fashion designer kondang, Gunawan. Lalu, siapa yang merancang ini? Saya hanya fokus pada hal yang satu itu, karena ada janji pertemuan dengan model sebentar lagi.
"Tidak ada jadwal pemotretan untuk model edisi ini?"
"Tidak, Pak. Kita lebih fokus ke gossip artis."
Mata saya terbelalak.
"Apa?"
Ovhie tampak terkejut.
"Sejak kapan Nabastala menjadi majalah gossip? Ide siapa ini?"
"Tidak ada konten yang bisa diangkat selain ini, Pak."
Ini benar-benar merendahkan citra Nabastala.
"Tidak ada konten? Saya tanya siapa yang punya ide gila ini? Fokus pada gossip artis!"
Mata Ovhie berkedip berkali-kali. Ia gugup.
"Mohon maaf, Pak. Ini ide kami semua, karena mentok."
Saya menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya kasar.
"Beritahukan pada yang lain, agar menggunakan otak, karena satu per satu akan saya tanyai besok pagi. Anda bisa keluar."
Ovhie pun keluar dengan segera.
Saya menghembuskan nafas berat, lalu bersandar pada sandaran kursi kebesaran ini. Mengganti layer kaca jadi nomor dua, lalu memutar kursi ke belakang. Baru dua hari saya di sini. Banyak sekali persoalan yang bermunculan.
Saya benar-benar harus kembali mempelajari terbitan Nabastala dalam lima bulan belakang, lalu membandingkan dengan tiga majalah dengan ratting teratas.
Setelah beberapa saat menenangkan pikiran, telepon di ruangan saya berdering.
" Hallo."
{Ibu Soraya sudah datang, Pak. Apakah langsung masuk saja?}
Saya melirik jam dipergelangan tangan. Baru jam setengah sepuluh.
" Tolong antarkan ke ruangan saya."
{Baik Bapak.}
Telepon itu pun ditutup.
Ada apa sebenarnya ini?
Tidak ada agenda atau jadwal dengan model ini, tapi kenapa Soraya berkata bahwa ia sudah punya agenda dengan Nabastala.
"Selamat pagi Tuan Reza."
Ucapnya saat sudah berada di hadapan saya.
Dia tersenyum sangat manis pagi ini. Saya jadi gugup.
"Selamat pagi, Nona Soraya."
"Maaf, karena terlalu bersemangat, makanya saya datang lebih awal."
Beberapa saat, saya dan dia sama-sama terdiam, seperti mengingat sesuatu.
Saya baru menyadari, bahwa inilah wanita yang saya kejar di lobi kemaren, yang saya pikir Nayla, tetapi bukan.
Dan dia pun tampaknya juga seolah mengingat sesuatu juga.
"Anda yang kemaren di lobi, bukan?"
"Ya, saya juga baru ingat, bahwa anda yang saya kejar di lobi kemaren."
Kami lalu tergelak bersama. Suatu kebetulan yang tidak disengaja.
"Oh, sebentar ya, saya akan meminta seseorang untuk mengantar minuman."
Saya lalu melihat daftar nomor extension kantor, yang langsung terhubung ke dapur.
Hah, dapur. Pasti wanita itu yang akan mengangkat. Chika saja.
"{Tolong minuman ke ruangan saya. Sedang ada tamu}"
Chika pun lalu mengiyakan. Ia juga tidak bertanya kenapa menghubunginya, kan saya bisa langsung menelpon dapur. Tapi, ya mungkin dia tak berpikir sampai ke sana.
Tak lama, wanita penggangu pandangan itu pun masuk. Ia sudah membawa satu cangkir teh.
Seperti biasa, saya tak menatapnya. Ketika ia meletakkan minuman di hadapan Soraya, saya justru sibuk menunduk melihat time line berita luar di Tab saya.
Setelah wanita itu pergi, barulah saya kembali membuka percakapan dengan Soraya.
"Sebelumnya, saya minta maaf. Kalau boleh saya tahu, siapakah yang memberi undangan kerja sama kepada anda?"
Soraya tampak terkejut, "Loh, bukannya anda sudah tahu seharusnya?"
Saya juga terkejut jadinya, ada apa ini?
"Bapak Herman menghubungi saya, beliau kan dari DA grup, meminta untuk mendatangi Nabastala. Beliau berkata, CEO baru yang bernama Reza yang akan menjelaskan detailnya."
Apa yang harus saya lakukan? Seperti dikerjai saja rasanya. Waktu yang tersisa malah tinggal sepuluh hari lagi. Orang seperti Gunawan tentu akan sangat sibuk sekali, belum lagi acara-acara TV yang harus ia kunjungi.
"Baiklah, Nona. Mungkin saya yang lupa. Dalam beberapa hari lagi, akan saya hubungi kembali."
Soraya tampak tersenyum.
"Silahkan diminum dulu."
Saya memersilahkan ia untuk minum.
Apa ini kerjaan Papa? Tapi, tidak ada pembicaraan apa-apa pada saya.
***
***