4 Dipaksa pergi

(Daniel Ricciardo)

"Queen, tunggu saja aku pasti akan segera memilikimu dan tidak akan ada siapapun orang lain selain aku yang berhak untukmu," gumam ku saat semua rencana ku gagal sia-sia hingga ditolak oleh seorang wanita.

Baru kali ini wanita berani menolak ku. Padahal aku selalu dipuja-puja dikalangan para wanita namun, anehnya satu wanita tidak bisa melihat ketampanan ku. Entah dia memang tidak bisa melihat mana yang sempurna dan yang tidak hingga aku mengajaknya menikah ia tidak mau tetapi justru membuatku malu di depan bawahan ku.

'Tapi, aneh kok aku bisa sampai mengajaknya menikah? Padahal aku sendiri baru mengenalnya. Ah sudahlah mungkin ini karena aku menyukai wajah cantiknya juga tubuhnya. Ya benar mana mungkin aku langsung bisa jatuh cinta pada wanita biasa meskipun dia memang cantik tapi, derajatnya jauh lebih rendah dariku yang seorang miliader,' batinku.

Aku sudah sampai di kediaman setelah melanjutkan perjalanan dari rumah Queen. Rasanya aku tidak sabar ingin memberitahukan pada keluargaku tentang siapa calon istriku.

Tepat sekali seperti yang ku harapkan. Mama, Papa, dan Hardiem. Sedang duduk bersamaan itu artinya kesempatan buatku. Memang jika orang baik pasti akan diberikan waktu yang baik.

"Hai semuanya ...," sapaku saat sedang masuk kerumah.

"Hallo anak Mama yang ganteng. Dari mana aja, Nak?" tanya Mama seraya membawaku duduk di sampingnya.

"Oh itu abis dari rumah calon istri. Wah keknya enak nih bagi dong!" sahutku sembari langsung mengambil cemilan dari tangan Hardiem tanpa menunggu ia memberikannya.

"Apa calon istri?!" Secara bersamaan mereka semua terkejut dengan berita yang ku sampaikan.

"Sebentar? Sejak kapan kamu ada calon istri? Bukannya kamu baru putus sama Sheila? Cepat banget dapet yang baru langsung calon istri lagi. Pantesan datang-datang ceria pakai sapa semua orang segala, biasanya ogah!" timpal Hardiem yang sengaja meledekku.

"Baru putus sama Sheila? Pacaran aja enggak gimana mau putus! Itu pasti cuma akal-akalan perempuan itu. Lagian aku enggak suka sama Sheila, dia genit males. Ah ya kalaupun aku yang duluan dapat jodoh berarti aku hebat dong udah bisa melangkah lebih dulu dari kakakku sendiri," sahutku dengan gaya membanggakan diri.

Entah kenapa hari ini aku bisa berbicara lebih dari pada keluargaku. Biasanya aku sangat males menjawab hal-hal yang tidak penting tetapi, hari ini sangat berbeda aku sendiri bahkan tidak paham dengan diriku sendiri.

Hardiem bangun dari duduknya seraya ia mencoba mendekatiku lalu ia memukul wajahnya sendiri dan juga memukul wajahku tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Woy ngapain pukul orang?! Mau ngajak gelud kamu?" bentak ku ingin menang.

"Duh kalian berdua! Udah deh ah nanti anak-anakku jadinya ribut. Mama enggak suka lihat kalian ribut-ribut," ucap Mama berusaha membantu.

"Bukan mau ribut, Mama. Tapi, dia tuh aneh banget hari ini enggak kaya biasanya dia ngobrol panjang kali lebar kali tinggi. Aku aja sampai kaget lihat dia hari ini. Woy Daniel! Habis makan apa kamu? Bisa baik gitu sama aku terus ajak aku ngobrol segala," sahut Hardiem.

"Lagian kamu juga salah kalau adik kamu bisa ngobrol lama-lama kaya begini itu tandanya dia lagi senang. Udah Mama mau belanja dulu, jangan lagi ribut kaya anak kecil aja," timpal Mama seraya pamit.

"Hati-hati, Mama."

Selepas Mama beranjak pergi aku juga berniat pergi keluar mencari udara segar. Namun, langkahku terpaksa terhenti karena Hardiem yang sengaja berdiri di depanku saat aku melangkah.

"Minggir."

"Aku enggak mau sebelum kamu kasih tahu siapa calon istrimu?" Hardiem terus berusaha agar aku memberitahukannya.

"Ogah!"

"It's okay enggak masalah. Tapi, aku bakalan cari tahu siapa wanita malang yang bakalan jadi istrimu itu," ancam Hardiem yang tidak ingin mengalah.

"Silahkan! Udah ah aku mau pergi bye!" sahutku lalu menghilang dari pandangannya.

'Sialan, Hardiem. Enak banget dia mau tahu calon istriku. Sebaiknya aku harus pastikan agar Queen benar-benar jadi milikku sebelum semuanya terlambat sebab aku enggak mau sampai Hardiem turun tangan dan mengganggu rencana ku,' batinku selepas pergi dari hadapannya.

Bukan Hardiem namanya jika dia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu. Aku takut sampai ia menggagalkan rencana ku. Sebelum semaunya sia-sia aku harus melakukan sesuatu dengan cepat. Mengambil ponsel dan berusaha menghubungi seseorang yang bisa membantu untuk mempercepat pernikahan ini. Tanpa menunggu lama panggilan yang ingin ku tuju langsung tersambung.

"Hallo."

"Hallo, Tuan. Tumben sekali Anda menghubungiku, suatu kehormatan bagiku. Um, apa ada sesuatu yang ketinggalan di rumah kami?" tanya Om Heri dari balik ponselku.

"Ya sesuatu yang sangat penting. Persiapkan Queen malam ini untuk datang ke tempatku, nanti akan ada yang menjemputnya. Jika malam ini keinginanku tidak terlaksana, kamu pasti tahukan akibatnya."

"Baik, Tuan. Malam ini sesuai pesanan Queen akan datang untukmu."

"Bagus," ucapku seraya mematikan panggilan sebelah pihak.

Ada senyuman dibalik raut wajahku yang tegas. Betapa senangnya aku setiap yang kuinginkan semuanya bisa langsung terwujud. Memang benar jika sudah menjadi orang besar semuanya akan lebih mudah untuk kita raih, hanya menggunakan sedikit tindakan semuanya akan menjadi milikku.

'Sebaiknya aku harus langsung siap-siap untuk pulang ke apartemen dan menyambut Queen malam ini,' batinku.

(Queen Caroline)

Helaan nafasku seakan tertimbun lumpur. Sepotong bayang bersih memberatkan angan, ingin kulantangkan suara. Namun, pijak dahaga memelas. Duduk termenung seorang diri tanpa adanya teman, sahabat yang bisa menemaniku. Setelah kepergian pria tampan yang memiliki hati sangat kejam itu pergi dari rumahku. Tak mampu lagi berdiri tegap. Sejenak ingin lepaskan segalanya. Sekedar hati ingin tertidur pulas. Namun, mata tidak sanggup pejamkan. Banyak orang berkata. Roda 'kan berputar, benarkah? Tapi lihatlah untuk apa aku hidup? Bila hidup ini bak alang-alang di selokan yang selalu dibuang.

"Queen! Keluar kamu, cepat!"

Suara teriakan dari balik pintu kamarku membuat aku tersadar bahwa hidupku masih berada dalam kesengsaraan.

Klek! Suara pintu terbuka.

"Iya Tante, Om. Ada apa?"

"Jangan banyak tanya! Cepat kemaskan barangmu malam ini," perintah Tante Ratna.

"Kemaskan barangku? Kenapa Tante, apa aku berbuat salah sampai aku harus pergi dari rumahku sendiri? Aku tidak mau! Kalian tidak berhak mengusirku dari sini!"

"Heh jangan banyak drama! Cepat bereskan barang mu gadis sial. Apa kamu tuli atau mau aku yang menyeret mu? Denger ya harusnya itu kamu bersyukur bisa pindah dari rumah ini karena di sana kamu bisa hidup enak. Tapi, ingat jangan lupa setiap bulan kirimkan setoran untuk kami di sini," ancam Tante terus bersikap tidak baik denganku.

"Apa maksudnya kalian benar-benar akan menjual ku? Apa kalian tidak takut karma menyiksa gadis yatim-piatu sepertiku sengsara? Apalagi aku ini keponakan kalian."

avataravatar
Next chapter