webnovel

Terjebak Pernikahan Mr. Arrogant

Paras cantik wajahnya mampu membuat setiap lelaki ingin langsung berhubungan dengannya. Tapi, hidupnya tidak pernah bisa bahagia apalagi berniat memiliki pacar. Ia sudah di garis bawahi bahwa hidupnya sudah dijodohkan demi membayar semua hutang. Hingga tidak sengaja pertemuan mereka begitu mengesankan. “Cantik dan juga menarik pilihan yang tepat.” Daniel. ”Siapa cantik dan menarik? Ngomong enggak jelas banget!” Queen. Siapa sangka pertemuan ketidaksengajaan membuat Queen harus menerima sebuah jebakan pernikahan dari tuan muda miliader tampan, namun sangat terkenal dengan sikap yang arrogant. Ia dikenal dengan sebutan Mr. Arrogant. Seperti apa kisah pernikahan diantara mereka? Simak kisah romansa moderen, Cinderella abad ke-21.

Meldy_Wita · Urban
Not enough ratings
224 Chs

Dipaksa pergi 2

"Udah deh ya jangan banyak drama! Males aku dnger anak sok polos, sok baik kayak kamu ini! Udah sana siap-siap biar jangan kemalaman. Yuk Papa, kita pergi nonton dari pada tungguin dia," ajak Tante Ratna pada suaminya.

"Mereka berdua telah menghilang dari pandanganku. Apa yang harus kulakukan kali ini? Mereka tidak main-main akan menjual ku, seakan aku ini barang. Apa aku harus lari, tapi bagaimana? Aku tidak tahu arah kemana harus ku tempuh," gumam ku tidak menentu arah.

Tidak ada jalan lain selain dari kata pasrah. Hidup yang sudah di garis takdir oleh orang lain membuatku tidak bisa untuk memilih kemana arah yang harus ku lalui. Semua kenangan bersama orangtuaku di sini akan berakhir terkubur dalam kekecewaan yang mengharuskan hidupku hancur lebur. Entahlah bagaimana nasibku jika hidup bersama Pria yang tidak memiliki hati seperti dia.

Air mata tidak henti-hentinya jatuh saat aku sedang sibuk bersiap-siap mengemasi barang-barang yang ada. Akhir dari semua mimpiku, pendidikan yang sedang ku tempuh harus segera ku tinggalkan. Menjadi primadona kampus juga hanya akan jadi kenangan terindah setelah itu aku hanya pasrah entah apa yang akan terjadi didepan aku tidak tahu.

Aku tidak tahu luka ini terus seperti ini, seiring waktu yang kujalani hanya penuh dengan rasa kecewa. Seakan kepedihan terus yang kurasa. Bertahan dalam kesakitan, sungguh sangat menyiksa. Mencoba tegar namun tak jua mendapatkan kedamaian. Haruskah hidup ku hentikan?

Semua sudah selesai ku kemas. Hari ini terakhir aku berada di rumah tercintaku. Rumah yang sudah sekian tahun lamanya aku tepati harus ku tinggalkan dengan cara yang tidak benar. Tapi, inilah takdir mungkin Tuhan sedang mengujiku dengan sesuatu yang lebih indah.

Aku keluar menemui Tante Ratna dan Om Heri yang sedang asyik menonton televisi. Melangkah mendekati mereka dengan menarik koper besar seraya menenteng tas ransel lainnya.

"Om, Tante. Aku sudah selesai berkemas," ucapku sambil menunduk.

Tante Ratna banget sembari mendekatiku, "Bagus! Kalau sudah berkemas selanjutnya kamu cuci piring terus nyuci baju soalnya kalau kamu sudah keluar dari sini aku yang ada capek sendirian. Sana cepet masih ada waktu untukmu sekitar dua jam lagi jadi cepat kerjakan apa ku suruh," perintah Tante Ratna sembari mendorong tubuhku.

"Tapi Tante, bukannya waktu segitu enggak cukup apalagi untuk aku harus nyuci baju lagi." Lagi-lagi Tante Ratna bersikap seenaknya denganku.

"Jangan banyak ngelawan kamu ya! Kalau aku bilang kerja ya kerja jangan bantah. Lagian sebentar lagi kamu bakalan pindah dari sini jadi apa salahnya kalau hari terakhir kamu itu di isi dengan bersih-bersih. Udah sana jangan banyak ngoceh!" bentak Tante Ratna.

"Baik, Tante."

Dengan keterpaksaan aku harus menuruti semua keinginan yang mereka inginkan. Selama perjalanan menuju ke dapur tidak ada habis-habisnya air mataku terus mengalir mengingat semua perlakuan buruk dari keluargaku sendiri. Tidak jauh dari tempatku berdiri ada sebuah pisau yang membuatku berpikir yang tidak-tidak.

'Mama, sampai kapan penderitaan ini berakhir? Aku sudah sangat tidak nyaman. Bila memilih mati, aku akan memilih untuk mati. Apa aku harus bunuh diri? Tidak! Tidak, pasti Mama dan Papa akan sedih melihatku bunuh diri dan mungkin saja mereka tidak akan di terima di surga oleh ulahku," batinku yang sedang sibuk membasuh piring-piring yang selesai di cuci.

Pikiran jahat sangat menganggu diriku. Dengan cepat aku berusaha menyingkirkan niatku untuk bunuh diri. Semua piring sudah tertata rapi di tempatnya, aku langsung berniat melanjutkan dengan mengambil baju-baju kotor. Tapi, langkahku terhenti saat melihat Tante sudah berdiri tidak jauh di depanku dengan tangan lipatan di dada.

"Ada apa, Tante?" tanyaku sembari berjalan lebih mendekat.

"Udah selesai semua kerjaannya?" Dengan ketusnya Tante bertanya kembali.

"Piring sih udah Tan, tapi nyuci baju belum," sahutku jujur.

"Kamu itu lelet banget ya! Bukannya selesaikan dulu. Oh aku tahu kamu pasti sengaja 'kan lama-lama nyuci piring biar aku itu capek terus kamu bisa pergi dengan tinggalin tugas kamu, gitu, 'kan?" tuduh Tante dengan seenaknya.

"Enggak kok, Tante! Aku beneran enggak main-main nyuci piringnya lagian juga piring kotor banyak banget jadi ngga mungkin bisa langsung siap. Tapi, Tante jangan khawatir aku sekarang mau langsung nyuci baju kok," ungkapku seraya beranjak dengan buru-buru dari hadapannya.

"Mau kemana kamu?!" bentak Tante Ratna saat aku sedang melewati dirinya.

"Ta-tapi katanya Tante, aku harus nyuci baju dulu. Bukannya tadi Tante sendiri yang bilangin?" tanyaku dengan pelan-pelan.

"Udah engga ada waktu lagi! Kamu itu pasti sengaja buat gua capek saat kamu pergi. Tampang kamu doang sok polos gini yah, padahal kamu ternyata licik!" bentak Tante Ratna yang tidak hentinya memarahiku.

"Ta-tante, a-aku beneran nggak bermaksud gitu. Ya udah sekarang aku cepat-cepat nyuci, Tan." Aku berniat berlari dari hadapan nenek lampir ini. Namun, lenganku berhasil ia cekal.

"Udah enggak usah lagi mending nanti kamu minta duit aja sama calon suamimu itu biar aku bawa semua baju kotor masuk laundry, awas kalau kamu ngga minta duit sama dia!" Lagi-lagi ancaman yang mengerikan yang ku terima darinya.

"Tapi, Tan, mana mungkin aku berani?"

"Aku ngga mau tahu! Pokoknya kamu harus minta duit apapun caranya. Udah sana pergi jemputan dari calon suamimu udah dateng tuh," ucap Tante seraya menunjuk kearah luar.

'Hah? Jadi secepat ini aku benar-benar akan dijual oleh mereka?' batinku.

"Kenapa malah bengong di sini?! Udah sana pergi males lama-lama lihatin muka sok polos! Anak sama Ibu sama aja, sama-sama bikin hidupku sengsara," ungkap Tante Ratna yang tidak ku mengerti.

"Ba-baik, Tante. Aku pamit dulu," ucapku seraya menyalami tangannya.

"Iya! Jangan lupa yang aku pesan tadi, duit!"

Aku tidak menjawab permintaan terakhir yang Tante mau, hanya mengangguk. Bagiku ini mungkin memang kesialan bukannya keindahan. Di jual dan di jadikan alat untuk pelunasan hutang mereka.

Mobil mewah bermerek lamborghini sudah terparkir di depan rumahku. Dua orang berjalan kedalam rumahku, mereka yang bisa ku sebut supir pribadi keluar dari mobil tersebut. Ia lalu menemui ku dan mengambil barang-barang yang aku bawa. Selesai sudah, aku sudah masuk kedalam mobil. Mereka yang akan membawaku, tapi entah kemana aku akan dibawa?

Tanda tanya sangat besar ada di kepalaku. Pertama kemana aku akan dibawa? Kedua menyangkut pernikahan. Jika pun seperti yang sudah di katakan oleh Tante, aku akan dinikahkan. Namun, pernikahan seperti apa yang tidak di hadirkan oleh waliku. Apa itu bisa dikatakan pernikahan atau aku akan di perkosa?

Air mataku perlahan keluar sembari memikirkan hal yang belum terjadi. Semua pikiran negatif bersarang di kepalaku.

'Apa memang mungkin aku akan dijual dan setelah itu akan diperkosa? Atau aku akan di jual lagi ketempat penjualan wanita? Di mana semua wanita malam berada. Akankah aku akan di bawa kesana? Bagaimana aku harus lari jika memang tujuan mereka membawaku ketempat setan seperti itu?' batinku.