webnovel

Terbelenggu Dendam Duda Kaya Raya

Menikah dengan seorang duda tampan kaya raya, justru membuat Clara semakin hidup di dalam neraka dunia. Sudah lama keluarga Wesly menyimpan dendam yang begitu mendalam kepada keluarga gadis itu. Tak tahu apa penyebabnya, yang jelas itu semua berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Erlan menaikkan salah satu alisnya. Memberi tatapan yang tak biasa, seakan memastikan tatapan itu akan menjadi tatapan maut yang akan selalu ia ingat. Wanita di hadapannya ini, tidak lain hanya seekor kupu-kupu kecil yang sebentar lagi akan terperangkap masuk ke dalam jebakannya. ‘’Apa yang bisa saya berikan?’’ ‘’Seperti yang aku bilang tadi, tidak ada yang gratis di dunia ini. Kebaikan yang selama ini aku beri, kelak akan kuminta ganti rugi. Jika kamu tidak bisa menggantinya dengan materi, aku hanya minta satu hal : tubuhmu!’’

Mlla_Pngst · Urban
Not enough ratings
268 Chs

Bab 24 Makan Malam Bersama

"Sayang, kamu sudah pulang?" sambut Carlis ketika melihat kedatangan Erlan. Kemudian memperhatikan gerak-gerik putranya, terlihat sangat kelelahan. 

"Tentu, Mom." 

Suara mereka berdua terdengar samar di dalam kamar Clara, namun ia yakin kalau suara itu adalah suara suaminya yang baru datang dari kantor. Viola segera bergegas keluar dari dalam kamar. Untung saja, dia sudah selesai menjalankan tugasnya. 

"Bagaimana dengan anak manja itu, sudah datang?" tanya Erlan.

"Sudah, dijemput sopir." 

"Sampai kapan kakak panggil aku anak manja? Hah?" 

Tiba-tiba Nichol datang menghampiri mereka berdua. 

Sejak kecil, Nichol memang memiliki sifat manja daripada Erlan. Sejak itu pula menurut Erlan, Nichol memanggil adiknya anak manja. Bahkan sampai tumbuh dewasa, karakter manja Nichol masih tetap sama, tidak ada perubahan sama sekali. 

"Sampai kapan pun, kamu tetap menjadi anak manja," jawab Erlan dengan datar. Si pria berwajah datar itu memasang wajah dingin pada Nichol. 

"Baik, si muka pucat." 

Balas Nichol dengan bibir manyun. Sudah lama tidak bertemu, namun kakaknya itu masih sama seperti dulu. Seorang pria tanpa ekspresi, bahkan sangat jarang orang bisa membuatnya tersenyum. 

"Hai kakak ipar, kenapa masih di atas? Sini, turun ke bawah. Suamimu sudah datang." 

Nichol melihat Clara yang sedang mengintip dari atas tangga, dengan polosnya juga menyuruh Clara untuk menyambut kedatangan Erlan. 

Karena sudah ketangkap basah, Clara pun segera turun untuk bergabung dengan mereka. Menuruni tangga setapak demi setapak, berharap apa yang dia rencanakan tidak sia-sia. Sedangkan Viola, gadis itu mengawasi dari kejauhan. 

"Kakak ipar, kamu masak seperti tadi pagi? Masakanmu sangat enak," puji Nichol pada Clara. 

Mendengar pujian itu, pipi Clara memerah tersipu malu. Baru kali ini ada seorang pria yang memuji masakannya, meskipun pujian itu tidak keluar dari suaminya, paling tidak sebagai kakak beradik selera mereka sama. 

"Tentu, baguslah kalau kamu suka. Aku akan memasak setiap hari untukmu," balas Clara tanpa mempedulikan Erlan di sampingnya. 

"Ayo semua, kita makan. Ayo kakak ipar." 

Nichol menarik tangan Clara sebagai kode mengajak ke meja makan. 

"Tidak bisa, dia tidak boleh ikut makan bersama kita." Belum saja melangkahkan kaki, Erlan langsung melarang Clara untuk bergabung makan dengannya. 

"Kenapa kak? Bukankah dia istrimu? Astaga! Sama istri sendiri saja kakak sinis, pantas saja muka cepat tua.'' 

"Kamu…." Sedikit tersinggung dengan jawaban Nichol, Erlan tidak melanjutkan perkataannya. 

"Baiklah, Kak. Kalau kakak ipar gaboleh makan bareng, ayo kita makan di luar." 

Ajak Nichol pada Clara, semakin mempererat tarikan tangannya. 

"Tunggu, biarkan dia ikut makan bersama kita," cegah Carlis. Menyetujui permintaan Nichol untuk mengajak Clara makan bersamanya. Mendengar ucapan itu, Nichol langsung berhenti menarik tangan Clara. 

Sejenak Clara mengingat ucapan Viola, memastikan bahwa dirinya akan ikut makan bersama, asal ada Nichol, hal itu akan teratasi. 

Memang benar, seolah tidak berkutik, Carlis langsung mengijinkannya untuk ikut makan bersama. 

"Masakan kakak ipar benar-benar lezat, kalau aku yang jadi suami kakak, aku tidak akan pernah mau makan di luar rumah." 

Huhuk… Huhuk…

Mendengar ucapan Nichol, Erlan langsung tersedak air putih yang diminumnya. Entah kenapa dia tidak suka melihat adiknya yang memuji Clara secara berlebihan. Lebih tepatnya, tidak terima. 

"Wah, terimakasih banyak," balas Clara sambil melempar senyum pada Nichol. Seolah tidak menghiraukan Erlan yang sedang sibuk mensterilkan kondisinya. 

Ada beberapa hal yang merusak pikiran Erlan saat ini, entah kapan dan di mana, adiknya itu terlihat sangat akrab dengan Clara. Tentu dia tidak menyukai keakraban mereka berdua. Terlepas dari hal itu, adiknya sendiri juga doyan makan. Meskipun demikian, selera rasa Nichol sangatlah tinggi, dia akan berkata tidak enak jika makanan yang ia makan memang tidak enak. Begitu juga sebaliknya, itu artinya masakan Clara memang sangat enak. Sehingga berhasil meluluhkan lidah Nichol. 

Di sisi lain ada yang berbeda dari biasanya, Erlan berlanjut memperhatikan penampilan Clara. Seolah melihat sosok lain dari dalam istrinya. Clara perempuan lugu dengan penampilan seadanya, kini sudah terganti dengan seorang perempuan berpenampilan anggun dan cantik. 

Ditambah ketika melihat senyuman di bibir Clara, gadis itu terlihat sangatlah manis. 

"Kakak ipar mau itu lagi satu." Sambil menunjuk ayam rempah lengkuas di meja makan dengan nada manja. 

"Heem. Makan yang banyak," ucap Clara sambil menaruh paha ayam di piringnya. Tidak sengaja kedua matanya melakukan kontak fisik dengan kedua mata suaminya. Sebuah lirikan tajam yang ia dapat, seolah berisi lirikan larangan. 

"Jangan bersikap manja, kamu bisa mengambilnya sendiri," tutur Erlan pada Nichol. 

"Apa, kakak cemburu sama adik sendiri? Mom, lihatlah anakmu ini. Sama adiknya saja cemburu." 

"Tidak, saya tidak cemburu," bantah Erlan dengan cepat. 

"Bahkan saat cemburu pun kamu masih sempat mengelak dan berbicara kaku? Mom, lihatlah sekali lagi. Didikan siapa ini." 

Brak!! 

Erlan langsung bangkit dari tempat duduknya, kemudian segera beranjak meninggalkan meja makannya.

"Erlan, kamu mau ke mana? Makan dulu, Nak," ucap Carlis sedikit berteriak. 

Namun Erlan tidak menghiraukan ucapannya. Ia terus melangkahkan kakinya ke depan tanpa menengok ke belakang. 

"Tidak perlu khawatir, Mom. Kakak sudah kenyang, lihat saja piringnya sudah kosong. Tidak ada makanan yang tersisa sedikit pun."  

Mendengar hal itu, Carlis dan Clara segera melihat ke piring Erlan. Memang benar, dia sudah menyapu bersih makanan di piringnya. 

 

*** 

Jam makan malam telah usai, semua piring kotor sudah tertata bersih di rak dapur. Dengan dibantu Viola dan satu pelayan lainnya, Clara dengan cepat membersihkan dapurnya. 

"Bagaimana reaksi Tuan Erlan?" tanya Viola, ia ingin tahu dengan reaksi majikannya perihal penampilan baru Clara. 

Clara menggeleng kepala, memberi jawaban tidak ada reaksi sedikit pun. 

"Tenang, masih ada malam ini. Nona harus bisa menggoyahkan sifat dinginnya." 

Sambil terus meyakinkan Clara, Viola berusaha mengembalikan semangat Clara yang hampir redup. 

"Baik, semoga saja dia benar-benar melihatku berbeda kali ini."

Clara segera masuk ke dalam kamarnya, baru saja sejengkal kakinya masuk ke dalam, dirinya sudah dihadang oleh seorang laki-laki bertubuh kekar. 

"Apa yang sedang kamu rencanakan? Berusaha mendekati adik saya? Wanita jalang!" Dengan melingkari leher Clara dengan lengannya, Erlan terus menekan agar Clara mau menjawab pertanyaannya. Kedua tubuh mereka berhimpitan, punggung Clara yang menempel di tembok, membuat jarak kedua wajah mereka hanya beberapa jengkal saja. 

"Tidak, sama sekali tidak ada niat untuk mendekati Nichol, adik kamu." Dengan menahan rintih, Clara berusaha menjawab pertanyaan suaminya. Niat mencari perhatian sang suami, tidak disangka malah ada prasangka lain. 

"Saya tidak percaya. Jangan kau pikir dengan mendekati Nichol, seorang wanita jalang sepertimu bisa menguasai rumah ini. Mimpi! Semua itu hanya ada di khayalanmu saja. Saya tidak akan membiarkanmu menebar kejahatan di keluarga ini."