30 Chapter 4 Filo

Kamu tidur sampai siang karena Raphtalia tetap terjaga sampai larut malam. Dia memegang buku sihir dengan satu tangan dan bergumam sampai larur malam. Aku? Aku memanggang herbal untuk membuat obat sepanjang malam.

Aku ingin menutup waktu yang hilang, jadi aku bergegas membuat persiapanku untuk pagi hari. Aku ingin segera berangkat.

"Oh! Sepertinya telurnya akan menetas!"

Aku menaruh telur yang kami beli di jendela semalaman, dan Raphtalia menyadari ada retakan halus dibagian samping.

Dari retakan itu, kau bisa melihat sesuatu, sesuatu yang lembut, seperti bulu atau rambut halus.

"Iya kah..?"

Aku tertarik untuk melihat apa yang akan menetas, jadi aku mendekat.

Retakannya meluas dan terbuka dengan suara pacah yang bisa terdengar, dan wajah seekor monster keluar dari lubangnya.

"Cuit!"

Itu seperti seekor anak ayam berwarna merah muda. Berbalut bulu-bulu halus, dan ada pecahan telur kecil yang menempel di kepalanya, seperti topi. Burung itu menatapku.

"Cuit!"

Burung itu berkicau dan tiba-tiba terbang kearahku, dan menabrak wajahku. Memang nggak sakit, tapi aku terkejut burung itu begitu enerjik, padahal baru menetas.

"Monster apa ini namanya? Seperti seekor burung, apa itu seekor PikyuPikyu?"

PikyuPikyu seperti rajawali yang gak bisa terbang dengan baik. Monster ini kelihatan seperti bayi PikyuPikyu. Paruhnya tajam, jadi aku bisa mengharapkan serangan yang bagus dari dia daripada para balloon.

"Oh... Aku nggak tau banyak mengenai monster...."

Raphtalia juga kelihatan sama bingung kayak aku.

"Baiklah kalau begitu, ayo tanya warga siapa tau mereka tau monster apa ini."

Kalau itu adalah seekor monster yang bisa dijual di toko, pasti itu bukan monster yang sangat berbahaya. Kalau aku bertanya, aku mungkin bisa mendapatkan jawabannya dari seseorang. Aku mengulurkan tanganku pada burung kecil itu, dan dia melompat ke telapak tanganku, lalu terbang ke pundakku, dan kemudian melompat keatas kepalaku.

"Cuiiiiiit!"

Burung itu terus berkicau dan menggosokkan wajahnya pada wajahku. Burung itu cukup lucu.

"Oh lihat! Kurasa kamu adalah orangtuanya, Tuan Naofumi."

"Pasti semacam penandaan."

Aku sudah mendaftarkan burung itu pada layar statusku, dan aku adalah yang pertama dia lihat setelah dia menetas. Kurasa itu wajar bahwa dia menganggap aku adalah ayahnya.

Aku memutuskan untuk membersihkan pecahan cangkang telurnya, dan saat aku melakukannya, perisaiku mulai bereaksi. Betul juga, kalau aku membiarkan perisaiku menyerap cangkang telurnya, itu mungkin akan memberitahuku monster jenis apa burung ini. Jadi aku memegang sekeping cangkang telur dan membiarkan perisaiku menyerapnya.

Monster User Shield: persyaratan terpenuhi

Monster Egg Shield: persyaratan terpenuhi

Monster User Shield:

Kemampuan belum terbuka

Bonus equip: penyesuaian pendewasaan monster (kecil)

Monster Egg Shield:

Kemampuan belum terbuka

Bonus equip: skill memasak +2

Bukan itu yang Kuharapkan. Tapi kayaknya masih bisa berguna, hasi aku mengubah perisaiku dari Slave User Shield II (yang mana aku gunakan untuk membuka kemampuannya) menjadi Monster User Shield.

"Apa kamu sudah mengetahuinya?"

"Belum, itu membuka sesuatu yang lain."

Aku masih belum tau jenis monster apa burung ini. Aku berharap penduduk desa bisa memberitahuku sesuatu mengenai burung ini.

Kami berjalan-jalan di desa yang setengah hancur, dan mulai berpikir tentang dimana tempat yang bagus untuk leveling.

Tempat paling efesien, mempertimbangkan level kami, kemungkinan besar adalah area rawa di bagian barat desa. Sebelumnya kami pergi ke area pegunungan di utara, jadi aku berharap menemukan tempat lain untuk didatangi. Aku berpapasan dengan beberapa penduduk yang lewat, dan mereka menyapaku.

"Halo, Pahlawan Perisai."

"Pagi."

"Selamat pagi!"

Aku menghabiskan sekitar seminggu disini, dan setelah itu aku melindungi mereka semua selama gelombang kehancuran menyerang, kurasa sebagian besar dari mereka sudah mengenali aku.

Salah satu dari mereka membungkuk dalam-dalam padaku, yang mana membuatku canggung.

"Cuit!"

Anak ayam di kepalaku berkicau menyapa dengan caranya sendiri.

"Apa itu?"

Penduduk desa melihat burung yang ada di kepalaku.

"Apa yang terjadi?"

Mereka mengarahkan jari mereka pada burung itu dan bertanya secara serempak.

"Aku membeli telur dari seorang pelatih monster."

"Ah, jadi begitu."

"Apa kalian tau monster jenis apa ini?"

Mereka mendekat untuk memperhatikan dengan cermat.

"Hmm... Ya... Menurutku burung itu mirip seekor Filolial. Iya kan?"

"Burung besar yang menarik kereta?"

Kalau mereka betul, itu artinya aku masih bisa dapat sedikit keuntungan pada investasiku— mengingat berapa banyak biaya untuk membeli seekor Filolial. Kalau meraka betul....

"Yah, aku nggak sepenuhnya yakin, tapi disana ada peternakan kecil di pinggir kota. Mampir saja kesana dan bertanya disana."

"Ide bagus. Ayo kesana."

Aku dan Raphtalia menemukan dimana pemilik peternakan tinggal, dan memutuskan mengunjungi rumahnya.

Sepertinya peternakan itu rusak parah saat gelombang terjadi, dan dia kehilangan lebih dari setengah monster yang dia pelihara.

"Baiklah, tapi apa burung kecil ini memang betulan seekor Filolial?"

Aku bertanya pada pria yang ada disana dan dia mengangguk.

"Ya, sudah pasti burung ini adalah bayi seekor Filolial."

Dia memegang burung kecil itu di tangannya, dan menjawab setelah dia dangan cermat mengamatinya.

"Ya, ini adalah jenis Filolial biasa, tapi mereka susah tenang tanpa sebuah kereta untuk ditarik."

"Cara merawat monster macam apa itu?"

"Kenapa, apa terdengar aneh?"

Hmmm... Kurasa kalau kau lahir dan besar disini, kau nggak akan merasa hal seperti ini misterius.

Kalau dipikir-pikir, mungkin itu adalah monster yang memiliki keinginan alami untuk melindungi sarang atau telurnya, dan para pelatih monster cuma mengajari para monster itu untuk mengarahkan keinginan mereka untuk melindungi pada kereta.

"Yah, kurasa itu bukan kekalahan. Malahan seperti kemenangan."

Kalau Filolial dewasa bisa dijual seharga 200 silver, dan aku membeli bayinya 100 silver, maka itu bukanlah hal yang merugikan.

"Cuit!"

Bayi Filolial itu berkicau sambil bertengger di kepalaku.

"Apa yang dimakan monster ini?"

"Kau harus memberi dia buncis rebus yang ditumbuk sampai jadi bubur. Sesuatu yang lembut. Setelah dia besar, dia nggak akan pilih-pilih. Mereka makanan apapun setelah mereka dewasa."

"Oke, makasih."

Aku bahkan mengejutkan diriku sendiri pada seberapa cepat dan tulusnya rasa terimakasihku, karena sejujurnya, sampai sekarang aku menganggap semua orang yang ada di dunia ini sebagai musuhku. Aku merasa baikan belakangan ini. Aku penasaran apakah itu karena apa yang dilakukan Raphtalia padaku saat di istana.

Ngomong-ngomong, mereka menjual buncis rebus di desa, jadi aku akan beli.

"Kita kasi nama apa dia?"

Raphtalia sedang menggoda burung kecil itu saat dia bertanya.

"Kenapa kita harus memberinya nama? Kita mungkin akan menjualnya."

Kalau kami memberi nama sesuatu, kami mungkin akan terikat. Itu cuma akan membuatnya lebih sulit untuk menjual sesuatu kalau lami melakukannya.

"Apa kamu akan memanggilnya 'anak ayam' dan 'Filolial'?"

"Hm...."

Dia benar, itu akan membuat semuanya tambah susah.

"Kamu benar. Kita panggil saja dia 'Filo'."

"Sungguh kreatif."

"Oh yang benar saja."

"Cuit!"

Burung kecil itu mengeluarkan kicauan yang keras dan puas, seolah dia mengerti kalau kami memberi dia nama.

Kami berterimakasih pada si peternak dan pergi. Lalu kami membeli beberapa buncis rebus, dan makan siang untuk kami sendiri, lalu berangkat.

"Hari ini kita akan kemana?"

"Cuit?"

"Yah, aku nggak betul-betul tau daerah sekitar sini yang bagus untuk leveling, jadi kurasa kita harus mencarinya sendiri. Lakukan saja seperti yang sudah kita lakukan selama ini."

"Baik."

Karena aku tau aku bisa mengandalkan Raphtalia, aku merasa pertarungannya akan lebih mudah daripada yang sebelumnya.

Filo berkicau diatas kepalaku. Kicauannya keras, tapi aku agak menyukainya.

* * * * *

"Besar sekali! Kodok itu besar sekali!"

Kami pergi ke area rawa di bagian barat Riyute untuk berburu monster, tapi aku nggak bisa menyembunyikan keterkejutanku pada monster pertama yang kulihat.

Yah, kau mungkin akan menjumpai kodok raksasa atau semacamnya saat kau bermain RPG, tapi kalau kau melihat kodok raksasa dikehidupan nyata, kau pasti akan sangat terkejut juga.

Jadi saat kodok raksasa ini, "Big Frog" mereka menyebutnya, melompat ke arahku, dan aku melihat bahwa tingginya kodok itu setinggi pinggangku, aku berteriak.

"Biar kuhadapi!"

"Tunggu! Raphtalia!"

Sebelum aku bisa menahan Big Frog, Raphtalia melompat ke depanku.

Saat bertarung, kami sudah setuju kalau aku yang memimpin. Kalau ini adalah sebuah MMORPG, itu masuk akal untuk melakukannya karena itu berbahaya untuk mendekati monster baru saat kau nggak mengetahui statistiknya. Gimana kalau monster itu lebih kuat daripada kami?

Kalau memang monster itu lebih kuat daripada kami, kami mungkin nggak akan lolos hanya dengan tergores saja. Itu mungkin adalah sebuah kesalahan yang harus kami bayar dengan nyawa kami.

"Hiya!"

Raphtalia mengabaikan teriakanku dan menyerbu si Big Frog dengan pedangnya.

Big Frog itu mengeluarkan teriakan yang memekakan telinga, seolah serangan Raphtalia telah mengejutkan dia.

Sialan! Apaan sih yang cewek itu pikirkan? Gimana dengan rencana kami? Harusnya aku yang menghadapi duluan dan menahan monsternya untuk dia!

Si Big Frog menggembungkan pipinya, dan menembakkan lidahnya yang setajam pisau pada Raphtalia.

"Awas!"

Aku berlari ke depan dan menangkis serangan itu dengan perisaiku.

Aku nggak boleh membiarkan Raphtalia terluka.

"Cuit!"

Filo kegirangan diatas kepalaku. Aku merasa seperti sesuatu berputar-putar, pukulan bayangan.

"Aku akan menahannya, jadi kamu tenanglah!"

"Tapi aku..."

"Diam!"

Apa yang terjadi? Rasanya kayak Raphtalia nggak sejalan denganku. Aku nggak pernah merasa seperti ini saat gelombang yang sebelumnya. Apa maksudnya ini?

Kalau Raphtalia terluka, aku akan merasa sangat lemah. Aku merasa kami seperti nggak menghormati kenangan dari orangtuanya. Aku membulatkan tekadku untuk melindungi dia, untuk bertindak sebagai ayah barunya.

Si Big Frog berbalik kearahku dan menembakkan lidah tajamnya kearahku.

Bagus! Aku bisa menangkap lidahnya. Lidahnya mengeluarkan suara seperti dentangan logam saat kutangkap dengan tanganku.

"Maju!"

"Baik!"

Raphtalia menyerbu kodok itu dengan pedangnya, matanya menyala, seolah dia sedang menunggu sinyalku.

Si Big Frog dengan mudah dan cepat tumbang, kami berdua menerima exp poin.

Bagus. Expnya lebih banyak daripada landak.

"Huff."

Raphtalia menatap kearahku, dan dia kelihatan kecewa. Kegigihannya mulai semakin baik, dan aku harus mengatakan sesuatu mengenai hal itu. Kalau dia nggak belajar menahan diri, maka kami berdua mungkin akan berakhir mati.

"Raphtalia, kita harus sedikit lebih berhati-hati... paham?"

"Tapi kita nggak punya banyak waktu sampai gelombang berikutnya tiba. Bukankah kita harus mengalahkan musuh sebanyak yang kita bisa? Bukankah kita harus naik level sebanyak yang kita bisa?"

"Kita punya waktu satu setengah bulan. Itu cukup banyak. Pelan-pelan saja. Kamu nggak mau berlebihan melakukannya dan berakhir terkapar, kan?"

"Kamu benar. Tapi aku.... aku ingin menjadi lebih kuat!"

Setidaknya dia setuju denganku... Tunggu, betul begitu kah?

Aku nggak kayak para pahlawan yang lain, yang mana mereka tau dimana monster-monster yang bagus berada. Jadi kami nggak punya pilihan lain untuk leveling secara efesien.

"Gugeeeeeeh!"

Apaan itu? Aku berbalik kearah suara itu dan melihat sesuatu yang besarnya dua kali lipat si Big Frog. Itu adalah Big Frog berwarna ungu, dan ada seekor Gray Salamander bersamanya—dan mereka berlari kearah kami.

"Pii!"

Filo berlari berputar-putar di kepalaku, kayaknya siap untuk bertarung.

Dia nggak akan banyak berguna dalam pertempuran, dan itu akan berbahaya untuk terus berada dikepalaku, jadi aku memasukkan burung kecil itu kedalam armorku.

"Pii!"

"Akan aku hadapi!"

"Tidak! Biar aku duluan!"

"Gimana kalau kamu terluka, Tuan Naofumi?! Bukankah kamu membeli aku agar aku bisa bertarung untukmu?!"

"Kalau monster-monster itu cukup kuat untuk melukai aku, coba pikirkan apa yang bisa diperbuat monster itu padamu. Aku membeli kamu bukan untuk membuatmu terluka! Aku mungkin berbeda saat itu... tapi sekarang kamu harus menjaga dirimu sendiri!"

"Tuan Naofumi...."

Aku mengalihkan tatapanku pada monster-monster itu, pada Amethyst Big Frog dan Gray Salamander, mengangkat perisaiku dan menyerbu mereka. Sayangnya tingkat seranganku tidaklah tinggi untuk menghasilkan damage. Mereka menyemburkan cairan yang kelihatan beracun dan berbahaya padaku, aku memblokirnya dengan perisaiku.

"Maju!"

"Baik!"

Raphtalia berlari kearah mereka dan menebas mereka dengan pedangnya. Mereka jatuh dengan mudah. Aku penasaran apakah senjata baru miliknya memang sekuat itu? Armornya lebih baik daripada yang kuduga. Aku harus menyerahkannya pada pak tua di toko senjata.

Aku memotong monster-monster itu dan membiarkan perisaiku menyerap bagian-bagiannya.

Daging kodok itu kelihatan buruk dan mungkin beracun. Aku memutuskan untuk mengabaikannya tanpa perlu repot-repot mencoba menjualnya.

"Pii!"

Filo merangkak keluar dari armorku, berjalan kearah monster yang telah dikalahkan, dan memasang pose menantang diatas mayat mereka, seolah dia sendiri yang barusaja membunuh mereka.

Aku ingin bertanya apa yang dilakukan burung itu, tapi dia kelihatan lucu, jadi aku membiarkannya.

Kami berjalan-jalan diarea itu selama beberapa saat, mengalahkan monster-monster sepanjang waktu itu. Kami naik level cukup efesien.

Saat malam datang, aku bisa merasa bahwa aku telah berkembang, dan Filo juga, hasilnya adalah:

Naofumi: Level 23

Raphtalia: Level 27

Filo: Level 12

Filo sama sekali nggak ikut serta dalam pertarungan, tapi masih menerima exp poin yang cukup untuk naik level dengan cepat. Kayaknya dia telah berkembang juga.

Itu bagus. Kudengar bahwa para demi-human muda menjadi dewasa seiring dengan peningkatan level mereka, jadi kurasa itu wajar untuk menduga para monster berkembang dengan cara yang sama.

Pasti memang begitu....

Burung kecil itu agak besar dan berat jadi harus dipegang dengan dua tangan. Burung itu juga, gimana menyebutnya, semakin bulat? Itu kayak sebuah bakpao kukus yang besar. Bulunya menjadi lebih besar dan menutupi seluruh tubuhnya sekarang, dan burung ini r berubah dari pink cerah menjadi pink yang agak gelap.

Monster User Shield II: persyaratan terpenuhi

Monster User Shield II:

Kemampuan belum terbuka

Bonus equip: penyesuaian status monster (kecil)

Aku nggak menyadari saat Raphtalia tumbuh didepan mataku, tapi aku malah menyadari perubahan dramatis yang terjadi pada burung kecil ini.

"Piyo."

Kicuannya bahkan berbeda. Dia berat, jadi aku menurunkan dia, dan dia berjalan dengan megah.

*kriuk....*

Aku mendengar perutnya keroncongan. Lalu suaranya semakin keras daripada aku sendiri dan Raphtalia. Aku membeli banyak makanan untuk dia, tapi kayaknya sudah habis. Si peternak bilang bahwa mereka bisa memakan apa saja, jadi aku terus memberi dia makan apapun yang kelihatan seperti makanan, seperti tumpukan jerami yang kami temukan di jalan. Dia memakan semuanya, dan masih kelihatan lapar. Itu pasti merupakan bukti dari seberapa cepat dia tumbuh.

"Um... Tuan Naofumi?"

"Aku tau... Para monster memang menakjubkan."

Nggak disangka bahwa dia telah tumbuh sebanyak ini hanya dalam waktu sehari... Nggak akan lama lagi sampai dia bisa kami tunggangi!

Itu bagus, dan sesuatu bisa dinantikan. Kalau dia tumbuh menjadi betul-betul besar tapi masih belum dewasa seperti seekor bayi, maka itu bisa menimbulkan masalah tersendiri. Aku membuka layar status dan mengatur pengaturannya menjadi ketat.

Kami kembali ke penginapan, dan aku bertanya pada pemilik penginapan dimana kami bisa menyimpan Filo. Dia menuntun kami ke kandang kuda, yang mana disana berbaris jerami yang bisa dipakai Filo tidur.

"Huh? Kenapa ada daging dan tulang Chimera disini??"

Dagingnya belum mulai membusuk, jadi itu pasti disimpan dengan baik. Atau mungkin dagingnya nggak membusuk karena monster itu berasal dari dimensi lain.

"Kami memutuskan untuk menaruhnya disini dan menunggu agar agak melembut. Harusnya itu membuat pengolahan selanjutnya lebih mudah."

"Huh...."

Tapi mereka nggak menggunakannya untuk makanan.... Dan mereka ingin mengolahnya.

"Lalu kami akan mengasapinya atau membuat dendeng. Setelah proses itu selesai, kami bisa mencari pembeli. Sudah ada beberapa orang yang singgah beli dan minta lagi."

"Kedengarannya bagus."

Chimera itu sangat besar, jadi mereka harus menggunakan banyak ruang untuk menyimpannya. Mungkin ukurannya setara dengan dua kali sapi yang sudah dewasa. Itu mungkin nggak dibuat untuk makanan, tapi kayaknya jumlahnya terlalu banyak untuk didedikasikan cuma pada para peneliti.

"Piyo."

*kriuk....*

Apa dia sudah lapar lagi? Aku sudah membeli makanan lagi saat kembali ke desa, dan sudah memberi dia makan. Tapi kurasa sudah habis. Astaga, kemana perginya semua makanan itu?

Pikee, Pikee, Pikee…

Apa ini suara tulangnya? Apa dia sudah tumbuh?

"Aku nggak bisa mempercayai seberapa banyak burung ini tumbuh dalam sehari. kayaknya sudah melampaui batas kewajaran, eh?"

Si pemilik penginapan terlihat kuatir.

"Dia cuma berlevel 12."

"Huh? Level 12?"

Si pemilik penginapan mengarahkan tatapan terkejut pada Filo.

"Tumbuh sebanyak ini hanya dalam beberapa saat setelah kelahirannya! Yah, kurasa dia sudah setara dengan level 20! Kau sungguh hebat, Pahlawan."

Yah.... Aku menggunakan penyesuaian pendewasaan, jadi pendewasaannya yang cepat kemungkinan karena hal itu. Setiap kali aku melihat statusnya, angkanya berbeda. Jadi Kurasa dia benar-benar berkembang dengan sangat cepat.

"Piyo!"

Filo berkicau dengan gembira. Dia akan berkembang dengan cepat.

Aku mengusap kepala burung itu sampai aku yakin dia sudah tidur. Setelah dia mendengkur, aku dan Raphtalia kembali ke kamar kami. Lalu aku kembali mempelajari sistem penulisan dunia ini. Ada banyak hal yang harus dikerjakan. Aku mulai bosan.

***

avataravatar
Next chapter