webnovel

Terpesona Karena Seragam Polisi

Eliza tidak terlalu lama menunggu kedatangan Dirga, Dirga hanya butuh waktu 25 menit untuk sampai di rumah sakit. Begitu sampai di rumah sakit, Dirga sudah melihat Eliza duduk di depan. Dirga turun dan menghampiri Eliza.

"El …" panggil Dirga.

Eliza mengangkat kepalanya, dan takjub seketika melihat apa yang ada di depan matanya. Tubuh Dirga yang tegap dibungkus seragam benar-benar membuat Eliza terpesona.

"El …" panggil Dirga lagi.

"Eh, Mas … sori … sori .…" Eliza tersipu malu.

"Gak lama kan tunggunya, aku tadi sudah cari jalan tercepat ke sini."

"Enggak kok Mas, malah sudah termasuk cepat kok."

"Ooh, bagus deh. Ya sudah yuk .…" ajak Dirga.

Eliza mengangguk, Eliza mengikuti Dirga dari belakang. Kali ini Eliza melihat tubuh Dirga lebih dekat, walaupun hanya bagian belakangnya saja. Tapi cukup jelas, badan itu terawat dengan baik. Mereka masuk ke dalam mobil Dirga yang berwarna merah.

"Kita kemana nih El?"

"Terserah sih, tapi jangan jauh-jauh banget dari rumah ya Mas, biar nanti pulangnya aku gak telat."

"Ehmm, memangnya kamu buka praktik jam berapa?"

"Jam 6 sore Mas."

"Ooh, ya sudah kita cari tempat yang dekat-dekat rumah kamu ya. Oh ya El, maaf ya aku pakai seragam, tadi aku gak enak saja kalau kamu menunggu terlalu lama. Jadi aku langsung jalan saja tadi," ujar Dirga.

Eliza hanya mengangguk dan tersenyum.

"El, kita singgah di SPBU sebentar ya. Aku mau ganti baju sebentar."

"Di SPBU?"

"Iya, kenapa?"

"Gak apa-apa sih, tapi kan gak steril Mas. Maksudnya, ya gitu deh .…"

Dirga tersenyum, dia cukup paham maksud dari Eliza. "Tapi lebih gak enak lagi nanti kalau aku masuk kafe pakai seragam ini El, pasti banyak yang lihatin. Kamu tahulah masyarakat kita gimana .…"

"Iya sih .…"

Mereka singgah di SPBU, Dirga langsung bergerak cepat. Mengambil pakaian gantinya dan pergi ke toilet SPBU. Tidak makan waktu banyak, Dirga kembali lagi dengan penampilan berbeda. Dengan kaos oblong dan celana jeans dipadukan dengan sepatu sneakers. Dirga menyusun barang-barangnya di bagasi, kemudian membawa satu kemeja di tangannya.

"Gak lama kan El?" tanya Dirga sembari masuk ke dalam mobil.

"Enggak kok."

"Bentar ya, tinggal pakai kemaja. Tadi lupa bawanya,"ujar Dirga.

Saat Dirga menggunakan kemejanya, tidak sengaja tangannya mengenai mata Eliza. "Aawww .…" Mata Eliza kelilipan.

"Eh, so-sori … sakit El? Aduh … maaf El .…" Sontak Dirga panik. "Kena mata kamu ya El, pedih ya? Sini coba aku lihat .…" Diantara kepanikannya, Dirga tidak sadar menyentuh wajah Eliza dan meniup mata Eliza.

Eliza berusaha mengelak, matanya memang sakit tapi dia merasa risih dengan cara Dirga juga. Namun Dirga masih tidak sadar, masih terus memegang wajah Eliza, " Gimana El? Masih sakit, mata kamu jadi merah nih. Maaf ya El .…"

Eliza tidak tahu harus mau berkata apa, mata mereka bertemu pada satu titik. Sekian detik mereka saling pandang. "Ehmm, aku gak apa-apa Mas," ujar Eliza sambil menurunkan tangan Dirga dari wajahnya.

"Eh, sori … sori … aku gak ada maksud untuk …."

"Sudah Mas santai saja," ucap Eliza memotong omongan Dirga. Eliza tidak mau membahas masalah itu lebih lanjut, karena itu akan membuat mereka merasa canggung.

Dirga mengangguk dan kembali meneruskan perjalananya menuju kafe di dekat rumah Eliza. Mereka masuk ke sebuah kafe dan duduk di sudut ruangan.

"Oh ya El, kamu tadi ke rumah sakit ada urusan kerjaan atau tugas kuliah?"

"Ehmmm, bukan. Aku ikut antar Eric ke IGD."

"Eric? Eric itu .…"

"Pacar aku," sahut Eliza cepat.

"Ooh, dia lagi sakit?"

"Iya, tadi dia gak sadarkan diri terus kita antar ke IGD dan mungkin sekarang sudah di ICU."

"Sakitnya parah?" Dirga berpura-pura tidak mengetahui masalah Eric.

"Iya gitu deh, dia kanker paru stadium lanjut. Sudah dibawa ke Jerman, tapi karena gak ada perubahan Eric minta pulang. Baru saja kemarin sampai, mungkin dia kelelahan dan kondisinya drop."

"Ooh, kamu gak jagain?"

"Karena dia akan dirawat di ICU, gak memungkinkan untuk aku ada di sana. Maksudnya di sana juga sudah ada keluarganya, jadi aku rasa aku pantau perkembangannya dari rumah saja."

"Ooh, dia sudah lama sakit?"

"Aku tahunya sih baru, tapi sepertinya sudah lama. Makanya sudah sampai stadium lanjut gitu."

"Itu alasannya kamu ambil spesialis paru ya El?"

"Iya, tadinya seperti itu. Aku ingin menjadi dokter pribadinya Eric."

"Loh kok tadinya? Memangnya sekarang?"

"Ehmmm, aku gak tahu Mas. Aku lihatnya Eric seperti tidak ada niat untuk sembuh, heran saja sudah sampai di Jerman tapi belum ada perubahan. Sepertinya Eric gak mengikuti proses pengobatannya."

"Jadi sekarang?"

"Entahlah Mas, aku juga gak tahu. Di satu sisi aku kasihan sama dia dan ingin menjadi bagian penyembuh untuk dia. Tapi di sisi lain, aku berpikir apa aku sanggup mendampingi dia terus dengan keadaannya yang seperti ini."

"Kamu mau menyerah dengan hubungan kalian?"

Eliza mengangkat kepalanya, dia menatap Dirga, "Gak tahu, aku gak ada gambaran sama sekali. Kalau Mas ada di posisiku, Mas akan lakukan apa?"

"Ehmmm, gimana ya … aku juga bingung kalau ada di posisi kamu. Pasti berat banget, tapi coba kamu pikirkan baik-baik sih. Jangan hanya mempertimbangkan keadaan pacar kamu, tapi pertimbangkan juga masa depanmu. Kamu sudah sampai di titik ini sekarang, pasti kamu masih ingin berlari lebih jauh lagi kan? Kamu bisa gak terus berlari dengan tetap bersama Eric?"

"Ehmmm jawaban Mas Arya gak beda jauh ya sama Karin, keliahatan banget sepupuan. Sampai jawabanpun saudaraan .…" canda Eliza.

"Oh ya? Karin ngomong seperti itu juga?"

"Iya, kami pernah juga cerita masalah ini."

"Hemmm, ya paling enggak bisa jadi bahan pertimbangan kamu kan?"

"Iya sih, makasih ya Mas .…"

"Sama-sama El, kalau misalnya suatu saat kamu butuh teman cerita kabari aku saja. Aku siap jadi pendengar setiamu."

Eliza tersenyum, dia merasa tersanjung. "Memangnya Mas Dirga punya waktu? Kata Karin, Mas Dirga itu sibuk banget .…"

"Sibuk bukan berarti gak punya waktu sama sekali kan? Aku pasti bisa cari waktulah untuk sekedar dengarkan kamu cerita."

Mereka sama-sama tersenyum, dan pandangan mereka kembali bertemu pada satu titik. Mulai ada perasaan mengagumi dari Eliza untuk Dirga, sementara Dirga semakin menggebu untuk mendapatkan Eliza. Melihat Eliza yang semakin ragu pada Eric, seolah memberikan sinyal pada Dirga untuk maju lebih cepat lagi. Ini kesempatan besar untuk Dirga.

"Oh ya El, kamu anak tunggal kan?"

"Iya Mas."

"Ehmm, orang tua kamu pernah gak sih mengingatkan kamu tentang pernikahan?"

"Pernikahan? Kok tanya masalah itu Mas?"

"Ehmmm mau tahu saja, soalnya aku juga anak tunggal dan selalu didesak untuk segera menikah. Aku bingung kasih jawabannya, siapa tahu kamu punya jawaban yang mantap biar gak ditanya bolak-balik .…"

"Ooh, ditanyas sih pernah, tapi gak dipaksa. Karena aku bilang aku mau fokus sama karir dulu."

"Terus kamu memang belum ada rencana menikah dalam waktu dekat ini?"

"Harusnya tahun ini rencana itu mulai dipersiapkan, tapi sayangnya Eric sakit. Jadi mungkin akan ditunda sampai waktu yang belum bisa ditentukan."

Dirga mengangguk-angguk, "Menikah denganku saja El," batin Dirga, seolah ingin berteriak kalau dia adalah sosok yang tepat menggantikan Eric di hati Eliza.