Cahaya bulan nampak redup di langit malam. Tubuhnya bersembunyi di balik awan yang tipis. Bintang juga terlihat lebih sedikit dari biasanya. Kerlap-kerlipnya tidak begitu kentara. Bersama secercah harapan, aku menembus dinginnya udara malam ini, karena efek dari gempuran hujan sejak tadi sore. Di tengah rinai gerimis, aku menggenjot pedal sepeda tua peninggalan Ayah menyusuri jalanan becek menuju kediaman Si Rentenir untuk memenuhi persyaratannya. Dan Tepat pukul 19.00 WIB, aku tiba di muka rumah Pak Nugraha.
Rumah dengan penampakan yang sangat wah. Dindingnya menjulang tinggi dengan arsitektur perpaduan bangunan klasik dan modern. Namun ciri khas bangunan joglo-nya lebih dominan. Di sekeliling bagunan rumah utama terpasang pagar besi kokoh yang setiap ujungnya dilindungi dengan kawat berduri. Benar-benar pengamanan ganda untuk menjaga rumah milik orang sekaya Pak Nugraha.
Aku memarkirkan sepeda tua ini di bawah pohon cemara yang tumbuh liar di pinggir jalan. Aku membiarkannya begitu saja, karena aku berpikir tak akan ada yang mau mengambil sepeda butut semacam itu. Kemudian dengan perasaan yang berdebar-debar, aku memencet tombol bel rumah Pak Nugraha.
''Ting ... Tong!''
Tidak ada reaksi.
''Ting ... Tong!''
Aku memencet kembali bel rumah tersebut, namun tetap tak ada reaksi dari pemilik rumah.
''Ting ... Tong!''
Sekali lagi aku memencet dan tak lama kemudian, aku melihat gelagat seseorang yang berjalan menghampiri pintu gerbang, tempat di mana aku sedang berdiri. Seorang laki-laki berbadan tegap dan berpakain seragam security ini perlahan membuka pintu gerbang. Lalu dengan sinar senternya dia menyoroti mukaku.
''Siapa kau?'' tanya dia.
''Aku, Juno!'' jawabku.
''Ada urusan apa kau datang kemari?'' tanya laki-laki bersuara berat ini lagi.
''Aku mau bertemu dengan Pak Nugraha!'' jawabku tegas.
''Sudah ada janji dengan beliau?'' ujar security itu.
''Sudah!''
''Baiklah ... kalau begitu mari ikuti saya!'' perintah laki-laki yang kutaksir berusia 40 tahuanan ini.
Aku mengangguk semangat. Kemudian setelah aku masuk ke halaman rumah Pak Nugraha, si security itu langsung mengunci pintu gerbang dengan rapat-rapat. Lalu dia memintaku untuk berjalan mengekorinya.
Dengan langkah yang panjang laki-laki yang name tag di dada kirinya bertuliskan Sutomo itu bergerak menuju pintu rumah utama. Setelah tiba di depan pintu, dia menghentikan langkahnya. Lalu ...
''Kau ... tunggu di sini dulu!'' perintahnya kepadaku.
''Iya, Pak!'' sahutku, dan aku menurutinya. Aku menunggu di sini. Di depan pintu.
Kemudian Si Security ini masuk ke dalam rumah. Cukup lama. Mungkin 3-5 menitan. Bahkan sampai aku gelisah, karena banyak nyamuk yang menghampiri tubuhku dan mau menikmati hidangan darah segarku. __Huh, menyebalkan! Benar-benar membuatku bosan.
''KREEEKKKK!!!" tetiba suara pintu terbuka. Dan sedetik kemudian, kepala Pak Security muncul dari balik pintu tersebut.
''Juno!'' ujar dia.
''Ya, Pak!'' jawabku.
''Silahkan masuk ... Juragan sudah menunggumu di dalam!'' titah Pak Satpam ini sembari membukakan pintunya lebar-lebar buatku.
''Terima kasih!'' kataku sembari melangkahkan kakiku memasuki rumah Pak Nugraha yang penampakannya seperti istana. Lantainya terbuat dari keramik berwarna emas yang mengkilap, berkilauan terkena cahaya lampu hias yang terang benderang menggantung di plavon yang berada pada bagian tengah. Dindingnya terbuat dari batuan marmer dan hiasan di sudut rumahnya banyak sekali terdapat ukiran serta patung-patung pualam yang berbentuk pria-pria telanjang.
''Halo, ganteng!'' seru Pak Nugraha langsung, ketika melihat kehadiranku. Kemudian dengan mimik muka yang sumringah laki-laki tua ini berjalan menghampiriku.
Aku hanya melepas senyuman kaku.
''Mari-mari sini ...'' kata laki-laki yang di leher dan pergelangan tangannya ini mengenakan perhiasan emas dan permata yang berkilauan.
''Jangan malu-malu!'' Pak Nugraha merangkul pundakku, ''anggap saja rumah kau sendiri!'' imbuhnya sembari mencolek daguku dengan gesture yang gemulai.
Aku cukup tersenyum dan menganggukan kepala.
''Ayo, kita bicara di kamarku saja!'' Pak Nugraha menarik lenganku dan membawaku ke sebuah kamar yang cukup luas dan besar. Kamar ini aromanya sangat wangi seperti bau minyak wewangian yang biasa digunakan untuk aromaterapi. Jadi, saat kita menghirupnya membuat pikran dan tubuh kita menjadi rileks dan segar.
Sama seperti di ruang tamu, di kamar ini juga dipenuhi dengan patung batu pualam yang mengeksplor bentuk seksi tubuh laki-laki.
''Santai saja, Jun ...'' ujar Pak Nugraha seraya mendudukan aku di atas ranjang tidurnya yang berkasur busa yang sangat empuk, ''hehehe ... kamu mau minum apa? Wine, whiskey, Beer atau Vodka?'' imbuhnya.
''Tidak, Pak ... aku tidak minum, minuman seperti itu'' jawabku.
''Coba saja ... enak, lho ...'' kata Opa-opa genit ini merayuku, ''tenang saja tidak bakal mabuk, kok ... 'kan minumnya sedikit,'' lanjutnya sembari menuangkan minuman berwarna merah ke sebuah cawan. Kemudian dia menambahkan beberapa keping es batu. Aku tidak tahu itu minuman jenis apa.
''Tidak usah, Pak ... terima kasih!'' tolakku, ketika laki-laki tua itu menyodorkan gelasnya ke arahku.
''Kenapa ... ganteng?'' Pak Nugraha menatapku dengan tatapan yang penuh dengan misteri. Genit, ganjen dan manja seperti perempuan penghibur.
''Aku tidak suka!''
''Baiklah ... kalau tidak mau, biar aku saja yang minum, hehehe ...'' Pak Nugraha mulai menyeruput minuman itu. Nampaknya segar seperti sirup, tapi aku masih enggan untuk mencicipinya.
''Pak Nugraha ... bagaimana kalau kita langsung saja membicarakan perjanjian kita,'' celetukku.
''Tidak usah buru-buru, gantengku!'' Pak Nugraha mencolek daguku lagi, ''pelan-pelan saja!'' tambahnya.
''Aku tidak suka bertele-tele, Pak ... katakan saja apa yang harus aku lakukan untuk melunasi hutang-hutang keluarga kami!'' ujarku dengan suara yang agak ketus.
''Hehehe ... rupanya kamu sudah tidak sabar ya, Ganteng ... mmm ... cucok iiihhh!'' Pak Nugraha mulai menampakan gelagat ngondek-nya.
''Iya ... katakan saja!'' kataku lugas.
''Baiklah ... jika kamu ingin aku menganggap hutang kalian lunas ...'' Pak Nugraha menatapku dari atas hingga ke bawah dengan sorotan mata yang mesum seperti seekor kucing melihat sebuah ikan asin.
Aku hanya mengeryit melihat perilaku laki-laki sok cantik ini.
''Syarat yang akan aku berikan gampang sekali ...'' kata laki-laki berkaca mata ini pelan.
Entahlah, tiba-tiba aku merasa jantungku berdebar-debar lebih kencang, aku takut syarat yang diberikan terlalu berat dan aku tidak sanggup untuk memenuhinya.
Pak Nugraha mendekatiku, jari jemarinya yang lentik mengusap-usap lembut dadaku, kemudian dia melebarkan bibirnya yang merah kehitaman itu.
''Aku ingin, kamu memuaskan nafsuku malam ini!'' kata Pak Nugraha yang lembut, namun mampu menggetarkan seluruh jiwa dan ragaku seperti suara geledek yang menggelegar di siang hari.
''Hah ... Apa!'' Aku mendelikan mataku seolah masih tak percaya dengan ucapannya itu.
''Hehehe ...'' Laki-laki bertubuh tambun ini hanya meringis manjah.
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
''Gimana, mudah sekali, bukan? Kamu mau memenuhi persyaratan itu?''
Aku jadi terdiam.
''Terserah kamu ... aku tidak akan memaksa ... aku cuma memberikan penawaran terbaik buat kamu jika kamu menginginkan hutang-hutang keluargamu lunas pada malam hari ini juga, hehehe ....'' Pak Nugraha tertawa iblis.
Benar-benar watak Pak Nugraha lebih sadis dan lebih jahat dari makhluk Setan Kober. Bagiku dia lebih menyeramkan, bila dibandingkan dengan makhluk berkepala buntung.
Namun aku tidak punya pilihan lain, bagaimanapun juga aku harus bisa menyelamatkan rumah warisan Ayah yang satu-satunya itu. Aku tidak bisa membayangkan, bila Pak Nugraha menyita rumah itu. Aku dan Ibuku tidak punya tempat tinggal lagi. Bila Pak Nugraha mengusir kami dari rumah itu, kami mau pergi ke mana? Sungguh, ini suatu dilema yang sangat berat buatku. Aku harus menyerahkan keperjakaanku kepada laki-laki tua kemayu itu atau aku akan menyengsarakan Ibuku, karena tidak memiliki tempat tinggal lagi. __Ya, Tuhan ... tolonglah aku untuk menghadapi masalah ini!