Semenjak kematian Alung, banyak sekali fenomena-fenomena janggal yang terjadi di kampung kami. Para warga, khususnya pemuda-pemuda lajang yang belum menikah kerap di hantui dengan penampakan Setan Kober. Makhluk jadi-jadian itu menemui mereka, baik secara nyata maupun lewat mimpi. Menurut penuturan meraka, hantu berkepala buntung itu menggoda dan menghisap sari pati laki-laki, hingga mereka lemas tak berdaya.
Tak hanya mereka, aku pun pernah mengalami kejadian ganjil semacam itu. Sosok kepala tanpa badan itu datang menemui aku melalui mimpi. Dengan wajah seramnya dia menyerangku dan hendak menjamah organ kelelakianku. Namun belum sempat makhluk menyeramkan itu menyentuh dan menyedot madu keperjakaanku, aku terlebih dulu terjaga dari mimpi buruk itu. Dengan nafas yang kembang kempis dan rasa ketakutan yang mencekam, aku berusaha berkomat-kamit melantunkan ayat-ayat suci Al-quran sesuai dengan kemampuanku, hingga rasa ketakutanku berangsur-angsur sirna dari dalam diriku.
Peristiwa-peristiwa aneh ini juga pernah menimpa Paijo, Narta, dan juga Candi. Mereka mendapatkan perlakuan yang sama dari makhluk bengis yang doyan menghisap organ vital laki-laki hingga kering.
Karena fenomena aneh ini sudah sangat meresahkan dalam kehidupan masyarakat kampung. Akhirnya kami mengundang paranormal untuk mengatasi kutukan teror dari imbas pesugihan Setan Kober tersebut. Dan alhamdulillah, sejak paranormal itu mengatasi teror ini, Setan berwujud kepala tanpa badan itu sudah tidak bergentayangan lagi. Namun demikian sang Paranormal juga mewanti-wanti buat para pemuda, agar segera menikah atau pergi merantau jauh ke luar kota.
Banyak pemuda yang menuruti perkataan paranormal tersebut termasuk sahabat-sahabatku. Dalam waktu tak seberapa lama Paijo dan Narta memutuskan menikah dengan pacar mereka masing-masing. Sementara Candi pergi merantau jauh entah ke mana. Hanya aku yang masih belum bisa menerima omongan paranormal tersebut. Jangankan menikah, pacar saja aku tidak punya. Dan aku juga tidak bisa meninggalkan kampung ini, karena aku adalah anak tunggal dan kedua orang tuaku masih membutuhkan keberadanku untuk merawat mereka.
Entah, apa kutukan itu masih menimpa kepadaku. Tiba-tiba saja Ayahku jatuh sakit, hingga bertahun-tahun. Biaya pengobatannya sangat banyak, sehingga Ibuku terpaksa menggadaikan rumah warisan Ayah satu-satunya sebagai jaminan Ibu untuk berhutang kepada seorang rentenir. Namun sayang sungguh sayang, meskipun kami sudah habis-habisan untuk biaya pengobatan sang Ayah nyawa beliau tetap tak bisa tertolong. Ayah menghembuskan nafas terakhirnya tepat pada usia 50 tahun.
Kepergian ayah benar-benar menyisahkan luka di keluarga kami. Aku dan Ibuku terjerat hutang yang jumlahnya sangat fantastis. Kian hari hutang itu semakin bertambah karena ada sejumlah bunga yang harus kami lunasi. Dan kami tidak mampu untuk membayar hutang-hutang tersebut. Aku yang sebagai anak satu-satunya juga tidak bisa berbuat banyak, karena pekerjaanku yang hanya sebagai kuli macul dan memiliki penghasilan yang tak seberapa.
Suatu hari, seorang laki-laki tua yang kukenal dengan nama Pak Nugraha, dan dia adalah seorang rentenir. Laki-laki parobaya itu datang ke rumahku untuk menagih hutang kepada kami. Dia memberikan ultimatum kepada kami agar kami harus segera membayar hutang berserta bunganya, jika tidak maka laki-laki berkumis tebal ini akan menyita rumah kami dan mengusir kami pergi dari rumah peninggalan Ayahku ini.
''Tolong, kasih kami waktu lagi, Pak ...'' ucapku memohon pada laki-laki tua itu.
''Hehehe ...'' Laki-laki ini tertawa meringis sambil memandangiku dengan tatapan yang aneh.
''Tolong, jangan sita rumah kami!'' kataku lagi.
''Hahaha ...'' Pak Nugraha tertawa masih dengan tatapan aneh kepadaku.
''Baiklah ... aku tidak akan menyita rumah kalian bahkan mungkin akan aku anggap lunas hutang-hutang kalian, jika kamu memenuhi satu persyaratan dariku,'' kata laki-laki ini dengan senyuman sinis yang menyebalkan.
''Apa syaratnya, Pak?'' tanyaku.
''Hmmm ... nanti akan aku pikirkan!'' kata Pak Nugraha sembari mengelus-elus dadaku dengan manja.
''Oke ... selama tidak memberatkan aku dan Ibuku, aku akan memenuhi persyaratan itu,'' timpalku.
''Bagus ... aku suka itu!'' Pak Nugraha manggut-manggut dengan sorot mata yang genit memperhatikan seluruh tubuhku. Gelagatnya seperti laki-laki hidung belang yang mesum menatap perempuan tuna susila, ''Baiklah ganteng ... aku ingin kamu menemui aku di kediamanku malam ini. Kita membicarakan ini di sana. Kamu tidak keberatan, bukan?'' imbuhnya sambil mencubit gemas pipiku.
''Oke ... aku setuju!'' sahutku.
''Emmm ... cucok!'' ujar laki-laki tua ini ganjen sembari mengkerlingkan matanya di depanku.
Aku hanya menghembuskan nafas dalam-dalam melihat tingkah laku laki-laki kemayu yang satu ini.
''Baiklah, kalau begitu aku akan pergi dulu ... jangan lupa temui aku pukul 7 malam!''
Aku menganggukan kepala. Kemudian laki-laki yang kuperkirakan berumur 55 tahun ini membalikan badannya dan pergi meninggalkan rumahku dengan menggunakan kendaraan mewahnya.
Setelah kepergian sang rentenir itu, tanpa basa-basi aku memeluk tubuh Ibuku yang sedari tadi hanya duduk terdiam membisu, karena beliau tak tahu musti berbuat apa. Beliau hanya bisa menangis dan menangis saja.
''Tenanglah Ibu, aku akan berusaha mencari dana buat melunasi hutang kita pada laki-laki tua itu!'' ujarku sambil mengusap lembut kedua pipi Ibu.
''Iya, Nak ...'' sahut Ibu pelan seraya membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
__Aku sayang Ibu ... kataku dalam hati.